Ketika Ayah dan Darren Bertemu

1013 Words
Jantungku seperti hampir melompat ke mulut saat tanpa aba-aba, Darren meraih pinggangku dan merangkulnya dari samping tanpa tahu malu. Kelewatan sekali dia! Apakah memang seperti ini caranya dia dalam memperlakukan wanita? "Ish! Apaan, sih!" ucapku ketus. Sontak aku melepas dengan kasar rangkulan tangan Darren yang melingkar tak tahu diri di pinggangku. Bukankah dia laki-laki paling tidak punya etika yang pernah kau temui selama hidupmu, Indah? "Kurang ajar banget!" desisku sambil melotot tajam. Melihat kemarahanku, Darren terlihat menanggapi santai, sedangkan wanita cantik bernama Gea yang dalam gendongannya ada seorang anak balita, justru tersenyum padaku sambil geleng kepala. "Kalian pasangan yang serasi. Kakak prefer kamu sama yang ini, sih, De. Daripada cewek-cewek kamu yang sebelumnya," ucap wanita berhidung mancung itu sesaat setelah menatapku sekilas. Deg! Aku membelalak lebar mendengar kata demi kata yang terucap dari wanita yang dipanggil dengan sebutan 'Kak Ge' oleh laki-laki b******k satu ini. Ya ampun! Cewek-cewek dia yang sebelumnya? Ada berapa? Meski sangat ingin berteriak serta menolak tegas pendapat wanita cantik bertubuh tinggi itu, aku memilih diam daripada harus menjadi pusat perhatian. Malu! "Ya udah, De. Bang Leo udah nungguin Kakak di bawah. Kamu terusin aja, ya, belanja barengnya sama calon istri. Jangan lupa bayarin." Wanita bermata agak sipit itu terkekeh kecil sebelum meninggalkan aku dan Darren yang masih saja berdiri bersisian di samping rak pembalut wanita ini. "Siap, Kak Ge," balas Darren santai. Wanita itu pun benar-benar berlalu. Meninggalkan aku dan Darren yang masih saja berdiri kaku di sini. Di satu tempat yang tak pernah aku harapkan menjadi tempat pertemuan antara aku dan dirinya seperti ini. Apa lagi saat dia mengakui aku sebagai calon istri, sungguh, hal gila apa lagi ini? "Kamu lagi mabuk atau ... mengigau, heh? Kenapa harus ngakuin aku sebagai calon istri di hadapan kakakmu itu, ha?" tanyaku sarat emosi. Jika mengingat lagi tentang saat di mana aku terbangun dengan kepala berat dan mendapati b******n ini tertidur di sampingku, emosiku memang langsung memuncak. Darren diam, seperti tak tertarik untuk menjawab pertanyaan bernada olok-olokan yang kulontarkan. "Sudah selesai belanjanya? Itu aja?" tanyanya sambil mengawasi isi dalam troliku. "Ambil saja barang-barang di sini sebanyak mana yang kamu mau, nanti aku bayarin," ujarnya ringan. Masih sambil menahan emosi yang kian membuncah, aku mendelik padanya. "Apa kau pikir aku seorang p*****r, ha? Setelah kamu berhasil merampas apa yang paling berharga dariku lalu semudah itu kau ingin menggantinya dengan materi?" tanyaku sambil mengetatkan rahang saat kedua mataku melotot tajam padanya. Sungguh, jika mengingat lagi tentang aku yang tak lagi suci setelah kejadian hari itu, hatiku selalu terasa diremas kuat dan sempat juga terbersit keinginan untuk mengakhiri semuanya. Namun, aku bersyukur karena masih ada iman dalam dadaku. Bukankah Allah maha pengampun dan maha penerima taubat? Darren mendengkus lirih. "Btw … beli pembalut? Udah datang bulan emang?" tanyanya kemudian. Aku benar-benar tidak habis pikir, pada dia yang selalu saja tertarik membahas tentang hal lain saat aku bertanya dan memperolok dirinya. Astaghfirullah. Da-datang bulan? Ya ampun, kenapa aku lupa tak mengecek kalender? Aku yang berdiri kaku dengan tangan mencengkeram pegangan troli, mendadak merasakan tengkuk leher dan telapak tanganku dingin. "Syukurlah kalau nggak jadi," ucap Darren kemudian. Aku yang tiba-tiba cemas setelah ditanya perihal tamu bulanan, buru-buru mendorong troliku ke arah kasir dengan cepat. Apakah aku harus membeli testpack setelah ini? Ya Allah, cukupkanlah sudah aibku sampai pada hilangnya mahkota sebelum pernikahan, jangan Engkau tambah lagi dengan cobaan yang lebih berat. Kedua kakiku bagai tak memijak bumi saat menunggu giliran untuk melakukan p********n di depan kasir. Sungguh, bayang kehamilan di luar nikah adalah momok menakutkan yang sukses membuat mood-ku hancur berantakan sore ini. Jangan sampai aku hamil, ya Allah. Jangan sampai. Setelah membayar barang belanjaan yang tidak seberapa banyak, aku buru-buru turun lewat tangga eskalator. Semenit setelah menjejakkan kaki pasca keluar dari pintu swalayan, aku dibuat terkejut ketika melihat kilat dan mendengar suara petir menggelegar. Tak berselang lama, hujan besar turun. Membuat perbedaan suasana pada sebagian orang yang mungkin tak membawa persiapan menghadapi hujan seperti diriku. Baru hendak memesan taksi online, aku dibuat tertegun saat menyadari ada seseorang yang merampas ponselku dari belakang. "Nggak usah repot-repot pesen taksi online, aku bisa nganter kamu pulang, kok," ujarnya santai saat ponselku telah beralih ke tangannya. "Aku nggak mau!" Aku menolak penuh ketegasan sambil berusaha mengambil kembali ponselku dari tangannya. "Harus mau." "Enggak!" Darren mendengkus kecil sesaat setelah menyimpan ponselku di saku celana bahan yang dia kenakan sore ini. "Jual mahal juga kau rupanya, ya? Apa kau yakin akan ada yang mau tulus menerimamu setelah tau kalau kau pernah tidur sekamar dengan seorang lelaki, ha?" Bergemuruh hatiku mendengar pertanyaannya yang jelas-jelas sudah sangat merendahkanku. Dia yang membuatku terhina dan dia pula yang menghinaku? "Ayo, ikut aku. Aku antar kamu pulang." Darren mengambil kunci dari saku jaket yang dia kenakan, sebelum dirinya menarik paksa diriku ke arah di mana mobilnya diparkirkan. "Aku nggak mau!" Aku yang takut peristiwa pahit hari itu terulang kembali, terus berusaha memberontak, tapi tak dipedulikan. "Tapi masalahnya … aku masih punya banyak stok foto kita yang lebih hot. Rasanya ide bagus kalau aku mengirimkannya pada mamamu sekarang," ucapnya sambil terus menarik langkah ke arah parkiran. "Hei! Apa kau mengancamku?" "Bisa juga kalau kau ingin menyebutnya begitu," balasnya ringan dan sama sekali tanpa beban. Aku yang dalam posisi serba salah, akhirnya pasrah saat Darren memaksaku masuk ke dalam mobilnya. Aku terus merapalkan doa begitu Darren mulai menjalankan mobilnya. "Ha-ha lagi berdoa, ya, biar gak dibawa ke hotel lagi?" Tanpa rasa berdosa, Darren menertawakan aku yang jelas-jelas dalam posisi ketakutan. Dengan hati berdebar, aku tak berhenti memohon perlindungan dari sang pemilik kehidupan agar diriku terselamatkan sore ini. "Sudah sampai." Aku terkesiap saat Darren mengagetkanku dengan ucapannya. Dia … benar mengantarkan aku sampai ke rumah? Bukan ke hotel seperti hari itu? Alhamdulillah. Tapi tunggu! Dari mana dia tahu persis alamat rumahku? Mataku membelalak lebar saat aku yang baru turun dari mobil Darren, mendapati Ayah tengah berdiri kaku di depan pintu gerbang saat menatap kepulanganku. "Dari mana kau, Indah?!" tanya Ayah dengan mata menyala merah saat menatapku. Aku yang sedang kebingungan mencari jawaban, dibuat terkejut ketika menyadari seseorang tiba-tiba meraih tangan kiriku dari belakang. Darren? Mau apa dia?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD