"Siapa dia, Indah?" tanya Ayah terdengar dingin dan kaku dengan raut wajah yang sama sekali tak bersahabat ketika menatap tajam pada Darren yang masih saja menggenggam erat tanganku sebelum aku menghempaskannya dengan kuat.
Aku yang gugup sekaligus takut, merasakan degup jantungku terdengar sampai ke telinga. Kencang sekali detakannya.
"Eum di-di-dia …."
Aku terbata-bata saat hendak menjelaskan perihal Darren pada Ayah yang tampak bernapas cepat saat menatap lekat padaku.
Bukankah Ayah menanyakan siapa Darren barusan?
Lantas, aku harus menjawab apa? Sedangkan kedatangannya ke rumah ini saja, aku tak tahu apa maksudnya.
Ya Allah .... aku harus menjawab bagaimana sekarang?
Tunggu! Apa ini artinya … Ayah tak begitu mengenali wajah Darren yang memang potongan rambutnya berbeda dengan laki-laki dalam foto yang membuat Ayah murka?
Waktu itu ... rambutnya memang lebih panjang dibanding sekarang, wajar saja kalau Ayah tak mengenali dirinya.
"Perkenalkan, Om. Saya … Darren." Laki-laki bertubuh tinggi yang berdiri di sampingku mencoba memperkenalkan diri dengan menyebutkan namanya di hadapan ayahku.
Wajah Ayah masih terlihat tegang saat Darren menyodorkan tangannya dengan penuh keramahan.
"Ada hubungan apa kamu sama anak saya?" tanya Ayah dengan ekspresi dingin dan tanpa menyambut uluran tangan Darren. Laki-laki misterius yang masih membuatku tak habis pikir dengan maksud kedatangannya ke rumah saat ini.
"Sebenarnya saya—."
Belum sempat Darren berucap lebih panjang, kedatangan Lira dan Galang yang muncul dari balik pintu gerbang, membuat perbedaan situasi.
Aku tak mengerti kenapa sepasang mata Lira membelalak lebar manakala melihat Darren yang masih berdiri kaku di sampingku.
"Sebenarnya saya ke sini …."
"A-ayah." Lira terlihat berucap gugup saat memanggil dan mendekati ayah kami.
"Ada apa, Lira?" tanya Ayah sambil memalingkan wajah ke arah putri cantiknya.
"M-Mbah Uti ... nelpon. Kata Mama, Lira suruh manggil Ayah," balas Lira masih tampak gugup. Terlihat jelas olehku, kedua pipinya yang putih, tampak merah entah untuk alasan apa.
"Om, tujuan saya ke sini sebenarnya ingin me—."
Lagi-lagi, belum sempat Darren menggenapkan kalimatnya, Lira buru-buru mengalihkan perhatian Ayah dengan menyerobot ucapan Darren.
"Ayah, buruan. Kasian Mbah Uti udah nungguin Ayah dari tadi," ujar adikku seraya menarik pelan lengan pria paruh baya yang menjadi cinta pertamaku.
Entah untuk alasan apa, Darren berdecak sebal saat Lira seperti berusaha mengalihkan perhatian Ayah berulang kali.
"Buruan, Ayah."
"Jika ada hal penting yang ingin disampaikan, datang ke sini besok malam, ya."
Darren mengangguk kaku saat akhirnya, Ayah memberikan keputusan jika beliau lebih memilih menuruti putrinya dibandingkan mendengarkan ucapan Darren.
Ayah lantas masuk bersama Lira yang seperti berusaha keras membuat Darren gagal berbincang dengannya.
"Ini hape kamu."
Aku yang sedang melamun, tersentak ketika Darren menepuk pundakku sebelum menyerahkan ponsel.
"Ah, iya, makasih."
"Ya," ujarnya lantas menatapku sekilas.
Terlihat Darren mengacak rambutnya dengan kesal sesaat sebelum menaiki mobilnya.
Ada apa dengan dia sebenarnya?
Apa yang ingin dia sampaikan pada Ayah tadi?
Lalu, kenapa Lira seperti berusaha mati-matian mencegah Ayah berbincang dengan Darren?
Benarkah kecurigaanku selama ini memang nyata?
Darren lantas berlalu. Meninggalkan sejuta tanya yang terus berkelebat dalam pikiran.
"Apa kau serius telah jatuh cinta padanya, Indah?" Pertanyaan Galang membuyarkan lamunanku. Rupanya, dia memilih tetap berdiri pada posisinya saat Lira berhasil membujuk Ayah masuk bersamanya tadi.
"Semudah itukah kau memalingkan hatimu pada buaya darat tak tahu diri itu, Indah?" Gigi Galang bergemeletuk saat bertanya dan matanya menyorot tajam padaku. Aku tak mengerti kenapa tangannya sampai terkepal ketika memberiku pertanyaan tak penting ini.
Kenapa dia harus peduli? Bukankah dia sendiri pun dengan mudah mudahnya setuju menikah dengan adikku?
"Apa urusannya denganmu, ha? Urus saja istrimu sendiri!" balasku ketus.
"Sampai kapan pun, aku nggak akan pernah membiarkanmu jatuh ke dalam pelukan playboy kelas kakap itu, Indah!" desis Galang sambil menahan tangan kiriku yang membawa sekantong plastik belanjaan berisi pembalut wanita dan yogurt yang kubeli di pasar swalayan tadi.
"Hei! Kalau Darren playboy kelas kakap, lalu apa kamu pikir kamu lebih baik darinya?" balasku sambil menghempaskan tangannya dengan kasar.
"Apa kau serius benar-benar membelanya? Atau jangan-jangan … kau sudah mabuk kepayang padanya setelah kejadian hari itu?"
"Cukup! Aku muak!" Aku memilih mempercepat langkah saat merasa indera pendengaranku menolak keras apa pun yang diucapkan oleh bekas calon suamiku.
Ya, cuma bekas. Tak lebih.
***
"Kenapa tadi kamu kayak sengaja nggak ngasih waktu buat Darren ngomong sama Ayah, ha?" tanyaku sesaat setelah memastikan hanya ada aku dan Lira di meja makan setelah makan malam kami berakhir malam ini.
"Mbak Indah, apaan, sih?" balas Lira sok lugu.
"Oh … jadi cowok tadi yang nganter kamu itu namanya Darren?"
Aku mencebik bibir saat merasa adikku sekarang lebih pantas disebut aktor dibanding saudara kandung untukku.
"Halah! Nggak usah sok polos begitu, Lira! Aku tahu semua ini ide gilamu, iya, kan?" Aku menuduh dengan begitu transparan.
"Kamu jangan asal nuduh sembarangan begitu, ya, Mbak. Aku tuh nggak kenal siapa dia."
Aku mendengkus kecil.
Dasar ratu drama!
Tak ingin memusingkan tentang Darren, Lira atau siapa pun, aku pun berjalan menuju kamar untuk merebahkan diri.
Namun, belum sempat mataku terpejam. Bayangan menjijikan antara aku dan Darren tiba-tiba memenuhi kepala.
Ya Allah, ampunilah hambaMu yang berdosa ini.
Baru hendak menarik selimut, tanganku tiba-tiba terasa dingin saat melihat ke atas nakas dan mendapati jika hari ini sudah masuk pertengahan April.
Ya ampun!
Sudah seminggu aku telat datang bulan? Momok mengerikan yang sempat terlupakan beberapa waktu, kembali datang mengganggu ketenangan.
Apa yang terjadi padaku ya Allah?
Kepalaku mendadak terasa berat saat membayangkan sesuatu yang tak pernah kuinginkan, benar-benar terjadi.
***
Paginya, kepalaku masih saja terasa berat ketika menyadari perut dan tenggorokanku telah membuat masalah begitu aku bangun di waktu Subuh.
Tanpa bisa dihindarkan, rasa mual tak tertahankan yang baru pertama kali aku rasakan seumur hidupku, memaksa diriku untuk memuntahkan apa yang mengganjal di tenggorokan.
Ya Allah, apa yang terjadi denganku?
"Indah, apa kamu baik-baik saja?" tanya Mama terlihat cemas, saat sarapan di meja makan, aku mati-matian menahan rasa mual yang datang tak tahu diri tanpa permisi.
Tanpa peduli bagaimana kedua orang tuaku menanggapi, aku nekat bangkit saat rasa mual ini kembali datang dan tak bisa ditahankan.
"Kamu baik-baik saja, Ndah?" Aku yang baru keluar dari kamar mandi yang letaknya tak jauh dari dapur, kaget bukan kepalang saat mendapati Mama berdiri di depan pintu.
"Indah … Indah baik-baik saja, Ma. Indah cuma masuk angin, serius."
"Tapi Mama rasa … kamu harus pergi ke dokter kandungan siang nanti."
Aku membelalak lebar.
Jadi … Mama pun punya pemikiran yang sama denganku?