"Atas dasar apa kamu mau ngelaporin aku ke polisi, Mbak?"
Aku mencebik kecil saat Lira menunjukkan tampang sok lugu.
Tak ingin menggubris pertanyaan tak penting darinya, melihat ponsel Lira yang terjatuh, menarik minatku untuk segera menyambarnya. Sungguh, rasa penasaran atas siapa orang yang tadi bertelepon ria dengan adikku, benar-benar membuat pikiranku terganggu. Namun, belum sempat aku meraih ponselnya, dengan gerakan super cepat Lira mengambilnya terlebih dahulu.
Sial!
"Sini pinjam hapenya!" Untuk pertama kali, aku mengintimidasi adikku dengan mata melotot dan suara yang pasti terdengar lantang. Peduli apa dengan tanggapan Lira, aku cuma ingin menuntaskan rasa penasaranku tentang dengan siapa adikku bertelepon ria barusan.
"Buat apa, sih, Mbak?" Jelas sekali Lira keberatan dengan permintaan dariku yang tak biasa ini.
"Pokoknya sini!" ucapku lantang. Sungguh, aku bersyukur karena Mama sedang pergi arisan dan Ayah tengah bekerja di kantor. Jadi, aku sedikit lebih bebas berekspresi. Termasuk ketika menekan Lira seperti sekarang ini.
"Enggak!" Lira menolak tegas untuk memberikan ponselnya meski aku berusaha keras untuk memaksa.
"Sini!" Aku yang merasa posisi kami sekarang imbang, nekat menarik benda pipih itu dari tangan adikku.
Untuk beberapa lama, drama berebut ponsel terjadi. Aku berusaha mati-matian mengambil alih ponsel dari tangan Lira, dan Lira sendiri berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan ponsel dalam genggamannya.
"Sini!"
"Enggak!
"Aku bilang, sini!"
"Enggak!"
Tak ada yang mau mengalah saat drama rebutan ponsel terjadi, hingga akhirnya, ponsel di tangan Lira terlempar ke tembok dan … jatuh. Layar ponsel iPhone keluaran terbaru itu terlihat retak.
Membuat wajah Lira menggelap dengan mata menyala merah saat mungkin menyesali ponselnya sudah dalam kondisi mengenaskan.
"Puas kamu, Mbak? Udah bikin LCD hape aku rusak?" Lira menggerutu kesal saat mengambil ponselnya yang kemungkinan memerlukan biaya banyak jika ingin memperbaiki.
Ck! Payah!
"Hari ini kamu masih selamat karena hape kamu rusak. Lain kali, jangan harap bisa lolos!" Aku memperingatkan sebelum beranjak dari kamar adikku yang terlihat masih kesal karena ponsel kesayangan jadi korban.
"Ish! Apaan sih nggak jelas banget."
***
"Mas … hape aku rusak …." Seperti anak kecil yang tengah mengadu, Lira berucap manja saat menyambut Galang yang baru pulang bekerja.
"Rusak kenapa? Jatuh?" tanya Galang dengan begitu santai ketika adikku masih menunjukkan tampangnya yang menjengkelkan.
"Iya, jatuh." Lira menatapku tajam, tapi anehnya dia seperti tak tertarik menceritakan ihwal bagaimana ponselnya bisa terjatuh dan LCD-nya retak.
"Ya udah, habis mandi, kita siap-siap, ya, buat beli hape baru." Galang, lelaki yang tahun ini genap berusia 27 tahun, terlihat mengusap lembut rambut adikku untuk menenangkan.
"Yeay. Makasih, Sayang. Cinta, deh," ucap Lira sambil memeluk mesra sang suami sebelum berjalan menuju kamar dengan saling bergandengan tangan.
Huh! Norak!
Sejam kemudian, pasangan yang entah kenapa terus memilih tetap tinggal di rumah ini, meski pengantin lelaki sejatinya sudah menyiapkan rumah baru, pamit pergi pada Mama setelah mereka berpakaian rapi.
"Hati-hati, ya." Mama berpesan dengan begitu lembut ketika anak bungsunya berpamitan padanya yang sedang duduk di ruang keluarga.
"Ma, Indah juga sekalian minta izin, ya?" Aku nekat mendekati Mama meski tak 100 persen yakin wanita paruh baya ini bakal dengan mudah memberikan izin. Padaku yang rasanya diperlakukan sedikit berbeda semenjak hari itu.
"Buat?" tanya Mama dengan kedua alis yang tampak bertaut.
"Pergi ke rumah Resti, adiknya ulang tahun."
Mama menggeleng, menyatakan dengan sangat jelas bahwa beliau tak mengizinkan.
"Jangan coba-coba mengelabui Mama, ya, Ndah. Hari ini adik Resti yang ulang tahun, besok siapa lagi?" ujar Mama penuh kewaspadaan.
"Enggak, Ma. Beneran."
Aku mendesah resah saat merasa kepercayaan Mama terkikis semenjak hari itu. Hari di mana dua keluarga dihebohkan oleh fotoku dan Darren sampai ke tangan calon mertuaku yang kini menjadi mertua adikku.
Ah, aku harus mencari cara.
Selang beberapa menit kemudian, Resti menelepon diriku melalui panggilan video . Menuruti apa yang menjadi pintaku agar Mama percaya.
"Assalamualaikum … maaf, Tante. Hari ini emang Indah diundang sama Maura buat datang ke acara ulang tahunnya. Tante mau bukti?"
Resti mengarahkan kamera ponselnya ke ruang tamu rumah Resti yang sudah dihias sedemikian rupa. Membuat Mama terdiam sambil mengamati ketika Resti memutuskan melakukan video call.
"Kalau Tante khawatir terjadi apa-apa sama Indah, Tante tenang aja. Indah aman, kok di rumah Resti," ucap Resti menyakinkan ketika mamaku terdiam untuk beberapa lama.
"Ya sudah."
Akhirnya, Mama memberi izin.
Ya, Resti memang selalu punya cara untuk menaklukkan hati mamaku. Membuatku berpikir kenapa tak Resti saja yang jadi anak Bu Lili.
Ya ampun! Pikiran macam apa ini, Indah?
Aku pun pamit pergi ke rumah Resti, beberapa saat setelah membungkus kado berisi bando lucu dan aksesoris khas remaja lainnya dalam sebuah kotak yang dihias dengan pita warna pink.
Acara ulang tahun Maura yang kebanyakan mengundang teman-teman sekolahnya, berlangsung cukup meriah. Membuatku tak berhenti tersenyum ketika melihat kedekatan antara Resti dan adiknya.
Mereka tampak begitu hangat dan … ceria.
"Ih … Kakak!"
Resti tertawa puas saat berhasil mengoleskan potongan tart berwarna pink ke pipi Maura beberapa saat setelah sang adik menyuapkan potongan tart pada sang kakak.
"Asik banget, ya, punya kakak cewek. Jadi nganan aku."
"Iya, apa lagi kakaknya seasik Kak Resti, pasti seru banget, tuh."
Kudengar teman-teman Maura yang berdiri tak jauh dariku, berbisik. Memperbincangkan kedekatan antara Resti dan sang adik.
Tanpa diminta, dadaku terasa sesak secara tiba-tiba.
Dulu, hubungan kami pun sehangat itu. Namun, semua berubah semenjak aku mengenalkan Galang sebagai seseorang yang spesial hari itu.
"Hei! Jangan ngelamun, dong. Ada suguhah itu dinikmati! Bukan dicuekin!"
Resti membuatku yang tengah menatap kosong ke arah kolam renang, tertegun.
"Kenapa? Lagi banyak pikiran? Ada tugas yang belum dikerjain padahal udah dekat DL?" Resti memberondong diriku dengan begitul banyak pertanyaan.
Aku menggeleng lemah.
"So?"
"Aku tadi mergokin Lira lagi nelpon seseorang," ujarku pelan.
"Terus?" Resti terlihat penasaran. Gadis berusia sebaya denganku ini lantas menarik kursi, seperti siap menyimak apa yang akan aku sampaikan.
Aku lantas menceritakan apa yang terjadi antara aku dan Lira pagi menjelang siang tadi. Tak ada yang aku kurangi atau lebihkan. Semua sesuai dengan porsinya dan apa yang sebenarnya terjadi. Membuat Resti mengangguk berulang kali, tapi lantas anggukan itu beralih menjadi gelengan dan decakan sebal yang tak kalah sering.
"Hadeuh. Kamu tuh, ya, nggak bisa apa mainnya alus dikit? Barbar banget perasaan," gerutunya dengan wajah kesal begitu aku menuntaskan cerita.
"Habisnya gimana. Aku emosi, Res," ujarku berusaha membela diri.
"Dikira aku nggak emosi ngadepin kamu yang gesrek dan tanpa pertimbangan begini? Dikira aku nggak gemes plus kesel? Kesel, lah!"
Aku mendengkus kecil melihat betapa Resti terlihat emosi saat menatapku.
Memang dia temanku, tapi kenapa selalu mengolok diriku dengan ucapan-ucapan pedas begitu?
Menyebalkan memang kadang-kadang dia ini!
"Kamu yang sabar aja, ya. Aku udah menyusun rencana pokoknya, tunggu aja Arman sampai ke Jakarta, yes."
"Ah iya, lah," ujarku sambil mengangguk.
Lebih baik cari aman, daripada harus berdebat dengannya. Karena tak mungkin aku bakal menang.
***
Pulang dari rumah Resti, aku yang merasa stok kebutuhan khusus wanita di rumah telah habis, memutuskan untuk mampir ke swalayan sembari mencari minuman yogurt yang tengah viral di media sosial.
Setelah mendapatkan minuman yogurt yang kucari, troli lantas aku dorong ke tempat yang memang menjadi tujuan utama aku datang ke sini.
Aku yang sedang mengambil pembalut wanita di rak yang bersebelahan dengan rak yang menyediakan kebutuhan khusus ibu dan bayi, dibuat terkejut saat mendapati lelaki yang telah membuatku gagal menikah, berdiri tepat di sampingku.
Ya ampun!
Darren!
Bisa-bisanya dia ada di sini?
"Hai, Indah Putri." Dia menyapa sambil menorehkan senyum ketika tatapan kami bertemu.
Meski ingin sekali memaki, aku memilih diam dan pura-pura tetap fokus dengan apa yang menjadi tujuanku.
Tahan, Indah. Jangan barbar di tempat umum! Bisa-bisa nanti Resti mengejekmu lagi bodoh untuk yang kesekian kali.
Tahan … tahan!
"Kamu serius nggak pengen mengulang keromantisan hari itu?" tanya Darren santai tapi mampu membuat pendengaranku rasa terganggu.
"Serius nggak pengen lagi?" ulangnya tanpa rasa berdosa.
Keterlaluan memang! Seringan itukah dia memandang dosa dan menormalisasi hubungan luar nikah?
Astaghfirullah!
Aku yang jengah, berniat meninggalkan dirinya pasca dua pack pembalut wanita, masuk ke dalam troli.
"Tunggu!"
Aku tercengang saat Darren tiba-tiba menahan tanganku. Bukankah dia sangat nekat?
Jika sudah begini, bisakah aku menahan kesabaran?
"Lepasin!" Aku menatap nyalang padanya yang dengan sesuka hati mencengkram kuat pergelangan tanganku.
Darren menggeleng.
"Aku teriak, nih!" ancamku dengan nada serius. Akan tetapi, Darren seperti tak terpengaruh.
"Tol—."
Darren membekap mulutku secara tiba-tiba. Membuatku begitu salah tingkah saat beberapa pengunjung pasar swalayan lain menatap ke arah kami dengan pandangan aneh.
"Darren! Apa yang kamu lakukan? Siapa gadis ini?"
"Dia … calon istriku, Kak Gea," balas Darren enteng saat seorang wanita yang usianya kutaksir hampir menginjak 30 tahun, muncul dan menegurnya.
Aku membelalak.
Apa maksudnya dia mengatakan lelucon konyol di depan wanita yang sedang menggendong anak kecil ini?
Apa dia sedang mengigau?
"Kamu serius, De?" tanya seorang wanita yang sebelumnya dipanggil dengan sebutan Gea oleh si b******k yang telah menghancurkan mimpi indahku.
"Ya."
Aku terkesiap saat Darren meremas lembut tanganku ketika memberikan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan wanita cantik di hadapanku.
Ya ampun!
Tidak!
Ini pasti cuma mimpi!