Bab 5. Unboxing Cia, Om!

1516 Words
Soni hampir tertawa mendengar Cia. Apalagi ketika ia melihat gadis itu duduk dan meliukkan tubuhnya ke kanan. Satu tangan di pinggang dan satu lagi menumpu tubuhnya di atas ranjang. Soni tak bisa membohongi dirinya sendiri bahwa Cia terlihat sangat seksi dan menawan. Namun, ia sangat terkejut dengan aksi gadis muda itu. "Kamu tahu pernikahan kita hanya pura-pura, kamu nggak usah ngarep yang lebih," ujar Soni. Cia langsung cemberut. "Om kok gitu sama istri sendiri?" Cia berdiri lalu mendekati Soni. Namun, pria itu langsung menghindar dengan tangan terjulur ke depan. "Om! Aku mau malam pertama!" "Kamu kenapa ngebet banget, sih?" Soni menghindari Cia dengan memutar ranjang. "Aku capek, kita ketemu ratusan orang lebih tadi, harusnya kamu juga capek. Kita tidur aja." "Tapi, Om, aku udah siap-siap ini. Udah seksi. Emangnya, Om nggak mau unboxing Cia?" tanya Cia. Ia duduk lagi di tepi ranjang ketika Soni hampir berbaring. Ia menjulurkan tangannya ke d**a Soni dan pria itu langsung begidik. "Om ... apa benar gosip yang kemarin? Om nggak lurus ya?" "Sembarangan kamu!" gertak Soni. "Jadi kenapa?" tanya Cia tak sabaran. Ia membusungkan dadanya di depan Soni. "Om nggak mau ini?" "Astaga, Ci. Kamu ingat dong, kita punya perjanjian!" seru Soni. Ia berdiri lalu berjalan cepat ke meja. Ia membuka tas lalu mengeluarkan sesuatu dari sana. Berkas kontrak mereka. "Aku udah baca itu," kata Cia ketika Soni mengulurkan berkas itu padanya. "Baca lagi. Di situ tertulis kalau kita sepakat nggak bakal ada kontak fisik selama masa pernikahan kita," ujar Soni. "Tapi ... tapi, Om kemarin bilang kita harus gandengan, harus tampil di depan umum kayak suami-istri," protes Cia. Soni menelengkan kepalanya ke kanan. "Ya, kontak fisik hanya di depan umum. Bukannya kamu mau ngomporin mantan kamu dengan pernikahan itu. Dan aku perlu menunjukkan pada orang-orang kalau aku nggak gay. Kita cuma perlu akting di depan semua orang." Cia merengut. Ia tak membaca sedetail itu. Jadi, dengan kesal ia pun bersila di atas ranjang sementara Soni mulai berbaring dengan jarak yang cukup aman jadi Cia. Soni menatap Cia dengan geli. Gadis itu tampak lucu karena memakai lingerie seksi dan sedang membaca berkas dengan ekspresi serius. "Jadi, kita nggak bakal ngelakuin itu, Om?" tanya Cia ketika ia selesai membaca poin-poin perjanjian itu. Soni mengangguk. "Ya, jadi kita tidur aja. Jangan bikin aku tambah capek." "Ih, mana bisa gitu, Om. Aku harus hamil dari pernikahan ini!" Soni membelalak. Ia sampai duduk lantaran kaget. "Kenapa? Kenapa kamu nyampe kepikiran hamil segala?" Ia mengepalkan tangannya dengan geram. Ia tak menyangka akan menikahi gadis seaneh Cia. Bahkan ia sampai membatin, "Pantes aja Bumi selingkuh. Mana betah punya cewek centil dan gatel gini." "Aku mau balas Bumi. Dia bisa hamilin adik tiri aku. Jadi, aku juga harus hamil sama Om!" jawab Cia penuh semangat. "Gitu baru balas dendam yang adil!" Soni merasa Cia sudah gila. "Kamu perlu baca lagi berkas perjanjian itu, Ci! Kita cuma nikah selama 6 bulan!" "Tapi 'kan bisa diperpanjang sampai setahun, Om," kata Cia tak mau kalah. "Kalau tingkah kamu kayak gini, siapa yang mau perpanjang kontrak?" Soni menggeleng gemas. "Udah, matiin lampu. Kita tidur dan jangan sentuh-sentuh aku atau aku bakalan nyuruh kamu tidur di luar." "Ya jangan, Om!" gerutu Cia. Ia tak bisa membayangkan jika ia tidur di kamar lain dan ketahuan oleh Tantri atau Bumi atau siapa pun yang juga menginap di hotel ini. Soni menarik selimut. Ia menutupi dirinya, membelakangi sisi ranjang kosong lalu menatap Cia yang sedang menekan saklar. Ia menelan keras ketika melihat tubuh seksi itu bergerak-gerak dengan indah. Ia memejamkan matanya kemudian. Soni membuka matanya ketika ia merasakan bobot tubuh Cia mendarat di ranjang. Ia tak berani membalik badan atau menoleh, lebih baik berpura-pura tidur saja. Namun, Soni penasaran apakah Cia juga bersiap untuk tidur. Jujur saja, Soni sangat gelisah karena ia sudah lama tak tidur dengan wanita di atas ranjang. Soni menunggu hingga sekitar lima menit—yang terasa seperti satu jam—untuk membalik badannya. "Astaganaga!" Soni langsung meraba d**a sekaligus memundurkan kepalanya karena ternyata Cia tidak memejamkan mata sama sekali. "Aku tahu Om kepo sama Cia," ujar Cia dengan nada manja yang dibuat-buat. Gadis itu berbaring dengan posisi miring dan menatap Soni dengan teduh. "Mungkin, Om malu ngelakuin itu kalau lampunya nyala. Sekarang, udah gelap. Om bisa mulai." Soni mendesis pelan. Ia tak menyangka akan digoda oleh gadis menyebalkan seperti Cia. Dan gadis itu adalah istrinya sendiri. Istri yang aneh. Ia jadi curiga apakah sebelumnya Cia sudah pernah melakukan itu dengan Bumi? Kenapa gadis ini begitu gatal padanya? Mau tak mau ia merasa kesal sendiri. Kenapa juga ia harus penasaran dengan Cia? "Kamu udah tahu kalau aku nggak mau ngelakuin itu," kata Soni. Cia mencebik. "Jadi gosip itu juga benar?" "Gosip yang mana lagi, sih?" tanya Soni jengkel. "Kalau Om impoten dan nggak bisa ngelakuin itu sama cewek," kata Cia seraya menatap tubuh bawah Soni yang tertutup oleh selimut. "Punya Om nggak bisa bangun?" "Ya." Soni menjawab spontan. Ia memutuskan untuk berbohong karena ia memang tak mau melakukannya dengan Cia. Pernikahan ini hanya sandiwara dan Cia adalah tokoh utamanya. Ia tak mau terjerumus dalam permainan Cia. Ia bukan pria yang suka memanfaatkan situasi. Cia terduduk seketika. Wajahnya pasti memerah saat ini. "Jadi ... jadi beneran punya Om ... nggak bisa bangun?" "Ya. Walaupun kamu adalah istri aku, kamu nggak perlu capek-capek godain aku. Karena itu semua nggak mempan," kata Soni sengit. "Selama ini hanya mantan istri aku bisa membangkitkan pusaka aku." Cia merengut dengan tangan terlipat di depan d**a. "Om tenang aja, kalau Cia yang pegang pasti bisa bangun." Soni menggeram. Ia tak bisa meremehkan Cia karena gadis itu terlihat sangat gigih. Dan ia semakin yakin bahwa Cia bukan gadis perawan karena sangat tak sabaran. Astaga, ia sungguh ingin memindahkan Cia ke kamar sebelah. "Nggak usah aneh-aneh. Kamu harus ingat perjanjian kita atau semuanya berakhir," kata Soni mengingatkan. "Be-berakhir?" tanya Cia membelalak. "Ya. Kita bisa bercerai kalau salah satu dari kita melanggar perjanjian," ujar Soni dengan senyuman miring di wajahnya. Ia lalu menepuk bantal Cia. "Lebih baik kamu tidur sekarang. Kalau kamu mau mesra-mesraan, besok pagi waktunya. Kita tunjukkan di depan keluarga besar kita." Cia ingin merobek surat perjanjian itu sekarang juga. Tidak! Ia hanya ingin menghapus poin yang tak ia sukai. Ia menatap Soni yang kembali berbaring dengan punggung menghadap ke arahnya. Cia sangat kesal. Dengan jengkel, Cia pun berbaring dengan posisi memunggungi Soni. Entah bagaimana, ia merasa terluka dengan penolakan Soni. Ia ingin menjadikan pernikahan ini sempurna meskipun sesaat. Namun, kini rasanya semua tak berjalan seperti yang ia bayangkan. Cia masih ingat bagaimana Bumi dan Tantri bermesraan, tertawa berdua dan juga betapa bahagianya mereka karena adanya janin di perut Tantri. Ia sangat muak sekaligus iri. Ia ingin menunjukkan pada mereka bahwa ia juga bisa memiliki kebahagiaan sekaligus bayi. Cia memukul ranjang dengan geram. Aksinya berhasil membuat Soni terkejut. Cia membalik tubuhnya dengan cepat. Ia tak ingin melewatkan malam pertamanya dengan garing. Ia beringsut ke arah Soni lalu memeluknya dari belakang. Soni merasakan hawa panas ketika ia merasakan tubuh Cia di punggungnya. Ia bisa merasakan dua gundukan kenyal berada tepat di sana, menempel dengan lembut. Apalagi ketika Cia bergerak-gerak untuk mencari posisi yang nyaman—mungkin. "Kamu nggak bisa menjauh?" tanya Soni dengan kepala terangkat. Tangannya berusaha menyingkirkan lengan Cia yang melingkar di dadanya. "Nggak mau. Aku mau tidur kayak gini." Cia menempelkan kepalanya di punggung Soni. "Kalau Om emang belok, aku pasti bisa ngobatin Om. Aku yakin Om bisa jadi orang normal lagi." "Aku udah bilang aku bukan gay! Dan kalau kamu terus bahas itu, aku bakal nyuruh kamu tidur di sofa," gerutu Soni. "Lepasin, Ci." Cia menggeleng. Ia mendekap Soni lebih erat hingga ia bisa merasakan pria itu meletakkan kepalanya lagi di bantal. Ia lalu mendengar Soni membuang napas panjang. "Aku ini istri Om, jangan jahat-jahat kenapa?" "Kamu hanya istri pura-pura. Kita saling memanfaatkan, jadi jangan ngarep banyak dari aku," ujar Soni. Akhirnya ia menyerah untuk menyingkirkan tangan Cia. Sebab tangan itu sangat lengket dan Cia tak lagi menempelkan dadanya di punggung. Itu lebih menenangkan. Pada akhirnya, Soni tak bisa tidur setelah beberapa menit ia berada dalam posisi yang tak mengenakkan itu. Soni berdehem pelan ketika ia menyadari Cia sudah tertidur. Ia baru melepaskan tangan Cia dari tubuhnya. "Aku nggak percaya, dia akhirnya molor," bisik Soni. Ia mendudukkan dirinya lalu menatap Cia yang kini terbaring dengan posisi telentang. Bibirnya terbuka sedikit dan napasnya sangat teratur. Mau tak mau, Soni tersenyum tipis. Ia yakin, Cia juga kelelahan usai pesta yang berlangsung seharian itu. "Kamu mau kita menjalani pernikahan yang normal?" Soni kembali berbisik. Ia menata bantal dan guling Cia di sisi ranjang yang kosong. "Sayang sekali, aku udah lama nggak percaya dengan sebuah pernikahan. Apalagi ... kamu sendiri yang bilang ini hanya pernikahan untuk ajang balas dendam. Aku nggak bisa ngelakuin itu sama cewek yang nggak tulus mencintai aku." Soni mengangkat hati-hati tubuh Cia lalu membaringkan di bantalnya sendiri. Ia meletakkan guling di antara mereka lalu kembali berbaring dengan posisi membelakangi Cia. Ia mencoba memejamkan matanya, tetapi ia tak bisa. Ini sangat tidak nyaman untuknya. "Baru beberapa jam aku nikah, aku udah stres dan nggak bisa tidur!" gerutu Soni. Entah apa yang akan menunggunya besok pagi, ia tak bisa membayangkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD