Bab 6. Memandikan Cia

1553 Words
Cia terbangun dari tidurnya ketika matahari sudah tinggi. Ia merasa sangat lelah dan baru ingat bahwa kemarin ia baru saja menikah dengan pesta meriah dan dihadiri banyak sekali tamu. Cia pun menoleh ke sebelahnya, tak ada Soni. "Ke mana Mas Suami aku?" gumam Cia. Dengan malas-malasan, Cia pun mendudukkan dirinya. Ia membiarkan selimut merosot dari tubuhnya. Itu membuat Cia sangat kesal dan malu. Ia sudah mempersiapkan lingerie seksi, tetapi ini tak ada gunanya. "Mungkin, aku harus bujuk Om Soni buat bulan madu," gumam Cia. Cia menoleh ke pintu kamar mandi ketika Soni keluar dari sana. Cia tersenyum lebar, ia menekuk kakinya, meletakkan tangannya di atas lutut dan menumpu dagunya dengan tangan. Ia memiringkan kepalanya agar bisa melihat Soni dengan lebih jeli. "Kenapa Om mandi nggak ngajak-ngajak Cia?" tanya Cia. Ia menaikkan alisnya dua kali ketika Soni menatapnya dengan ekspresi geli. "Kamu bukan anak kecil, kamu bisa mandi sendiri," tukas Soni seraya membuka kopernya. Pria itu mengeluarkan baju ganti dengan cepat. "Tapi, aku istri Om. Dan suami-istri biasanya ... yah, mandi berdua," kata Cia cekikikan. "Itu yang dilakukan oleh pasutri normal. Dan kita bukan pasutri kayak gitu," sahut Soni. Ia mengedikkan dagunya ke kamar mandi. "Buruan kamu mandi, nanti kita harus sarapan bareng orang tua kita." Kedua mata Cia membola. "Om harus bisa akting mesra sama aku? Paham?" "Kamu nggak usah khawatir. Aku udah siapin baju baru buat kamu. Buruan mandi," kata Soni. Cia mengangguk. Jika itu artinya ia bisa menunjukkan kemesraan di depan Bumi dan Tantri, ia akan bersemangat. Cia menurunkan kakinya ke lantai lalu berjalan menuju Soni untuk menerima baju gantinya. Cia tak tahu bahwa diam-diam Soni menelan saliva ketika melihat tubuhnya yang hanya dibungkus oleh lingerie tipis. Soni baru bernapas lega ketika Cia masuk ke kamar mandi. Ia menatap pintu itu berlama-lama lalu menggeleng. "Apa dia beneran bukan perawan? Harusnya gadis perawan nggak bertingkah kayak gitu. Beneran nggak tahu malu pakai baju kayak gitu." Soni menunggu Cia dengan merapikan setelannya. Ia baru menyisir rambut ketika tiba-tiba ia mendengar sesuatu yang keras di kamar mandi. Lalu, teriakan Cia pun mulai mengisi pendengarannya. "Kamu kenapa, Ci?" tanya Soni. "Om! Tolongin aku!" Cia tak hanya berteriak, tetapi gadis itu terdengar seperti sedang menangis kesakitan. "Dia kenapa, sih?" Soni mendekati daun pintu. "Buka pintunya, kamu kenapa?" "Aku jatuh. Kepleset, Om!" isak Cia di balik pintu. "Tolongin dong, aku nggak bisa bangun." "Hah?" Soni memutar gagang pintu, tetapi pintu itu terkunci dari dalam. Ia mendesis pelan. "Kamu yakin, nggak bisa bangun?" Cia menangis lebih keras dan mau tak mau Soni pun percaya. Ia mendobrak pintu itu dan terkesiap ketika melihat tubuh polos Cia tergeletak di atas lantai dengan posisi janggal. Soni hampir membalik badan dan menutup mata, tetapi Cia terus melambaikan tangan. "Om, bantuin," rengeknya. "Kenapa kamu bisa kepleset, ya, Tuhan!" Soni menyambar handuk untuk menutupi tubuh Cia. Ia membantu gadis itu duduk. "Kepleset sabun, Om," kata Cia terisak-isak. "Kaki aku sakit banget." Soni menatap ke arah lantai di mana ada banyak ceceran sabun. "Lagian kenapa kamu pakai sabun banyak banget?" "Aku mau jadi istri yang wangi, Om!" gerutu Cia. Soni menggeleng. Ia memeriksa pergelangan kaki Cia yang kemerahan. "Kamu terbentur nggak?" tanyanya ketika melihat rambut Cia yang berantakan. Cia mengangguk. "Ehm, bahu sama kepala aku sakit, Om." "Kamu harus bilas dulu badan kamu, pakai baju dan keluar. Nanti aku urut kaki kamu," kata Soni setengah jengkel setengah heran. "Tapi aku nggak bisa mandi sendiri, Om. Aku sakit," rengek Cia. Gadis itu begitu cemberut. "Mau berdiri aja aku nggak bisa." "Ya udah berendam aja, kenapa kamu nggak berendam di bathtub sih tadi?" tanya Soni. Cia menoleh ke bathtub lalu menggeleng. Ia menarik kakinya ke d**a lalu menunduk. Ia memiliki pengalaman buruk dengan bathub dan ia tak akan pernah masuk ke sana. "Kenapa? Kamu kenapa?" tanya Soni ketika ia justru melihat mendung di wajah Cia. Istrinya sungguh sangat aneh. "Aku nggak mau mandi di bathtub. Aku mau pakai shower aja, Om," lirih Cia. "Ya udah, aku ambilin kursi," kata Soni. Soni tak habis pikir. Ia meninggalkan Cia yang masih terlihat aneh lalu membawa masuk lagi sebuah kursi kayu kecil yang ada di kamar. Ia membersihkan ceceran sabun lebih dulu karena tak ingin ada insiden lain. Lalu ia membantu Cia berdiri. Gadis itu dengan tertatih berjalan ke kursi. "Duduk. Kamu udah keramas dan pakai sabun?" tanya Soni. Cia mengangguk. "Aku nyalain shower-nya, kamu bilas badan kamu sendiri, ngerti?" Cia mengangguk lagi. Ia mendongak pada Soni yang memegangi selang shower lalu mengarahkannya ke punggungnya. Cia tersenyum malu-malu karena merasa ini sangat konyol. "Om, nyiramnya yang bener dong. Aku di sini." Cia menarik tangan Soni agar menyirami tubuhnya dengan tepat. Itu semua karena Soni tak mau menatap tubuhnya yang polos. "Kamu lakukan aja sendiri. Itu kamu bisa," kata Soni. "Ya, jangan dong, Om. Aku butuh bantuan buat pakai baju nanti. Kaki aku sakit, inget?" Cia merengek tak keruan sementara ia mengusap tubuhnya seperti cacing kepanasan. Soni menggigit lidahnya dengan geram. Karena ingin menyelesaikan ini secepatnya, mau tak mau ia mengarahkan tatapannya pada tubuh Cia. Ia harus menelan keras setiap kali Cia bergerak. Dan Cia terus bergerak, sungguh sial. "Udah, pakai handuk. Buruan ganti baju, nanti kamu malah masuk angin. Aku juga jadi basah lagi gara-gara mandiin kamu," kata Soni seraya mengambil handuk lagi. "Mandiin apaan? Om mah cuma nyiramin aku," gerutu Cia. Ia membungkus tubuhnya dengan handuk pemberian Soni. Ini adalah acara mandi paling aneh dalam hidupnya. "Om, bantuin berdiri! Aku nggak bisa." "Ya, bentar. Kamu ganti baju di kamar aja, di sini basah semua," kata Soni. Ia berdecak jengkel ketika Cia dengan manja menjulurkan tangannya. "Om gendong aku, dong. Biar cepet ke kamar," katanya. Soni mendengkus keras. Ia melingkarkan lengannya di pinggang Cia. Aksinya membuat Cia langsung cemberut karena Soni tampak enggan menggendong tubuhnya. Dengan langkah tertatih, ia berjalan keluar dari kamar mandi. Soni mendudukkan Cia di tepi ranjang. Ia masuk kembali ke kamar mandi untuk mengambil baju ganti Cia lalu membawanya ke ranjang. "Buruan dilap itu, nanti basah kasurnya. Kamu juga buruan pakai baju. Aku juga harus ganti." "Ya ampun, Om. Aku nggak bisa dong pakai baju sendiri. Ini kaki aku nyeri," ujar Cia seraya menarik lengan Soni. "Jadi? Kamu mau aku pakaikan baju kamu? Nggak malu?" ledek Soni. "Ya ... malu. Dikit!" ujar Cia dengan pipi memerah. Namun, ia memang masih merasa sakit dan tak yakin bisa berdiri atau tidak sekarang. "Kan sama suami, nggak apa-apalah." Soni menggeleng geram. Ia dengan gelisah mengambil celana dalam Cia lalu berjongkok di depan gadis itu. Ia mendengar Cia terkekeh pelan dan satu per satu kaki Cia masuk ke sana. Lengan Cia melingkar di bahu Soni ketika ia berdiri. Tentu saja, Soni harus menahan napas ketika ia menaikkan kain segitiga itu hingga ke pinggang Cia. Soni membuang napas panjang, ia menjulurkan tangannya ke bra hitam Cia lalu berusaha memakaikan benda itu di d**a Cia. "Ah, ya ampun, geli, Om!" Cia memekik seraya menarik tangan ke dadanya. Aksi itu membuat tubuh Cia limbung dan ambruk ke ranjang. Soni yang masih memegangi Cia pun turut tertarik ke atas tubuh Cia. "Aih!" Soni menegakkan dirinya cepat. Ia tak tahan lagi jika harus menyentuh tubuh Cia. "Kamu pakai baju sendiri. Aku juga harus ganti baju." Cia masih mengaduh kesakitan, tetapi Soni justru melenggang masuk ke kamar mandi lagi. "Sial, itu om kenapa tega banget sih sama istri sendiri?" Cia menggerutu. Ia merapikan tali bra-nya lalu segera memakai gaun yang disiapkan oleh Soni. Beruntung, ia bisa memakainya meski harus meringis sesekali. Di kamar mandi, Soni berkali-kali membasuh tubuhnya. Belum genap 24 jam menikah ia sudah dibuat kalang kabut oleh Cia. Gadis itu sungguh luar biasa, pikir Soni. Ia sengaja berlama-lama di kamar mandi hingga ia ingat bahwa mereka harus turun untuk sarapan bersama. Jadi, Soni pun segera keluar dari kamar mandi. Ketika ia masuk kamar, ia dibuat kaget lagi dengan Cia yang tengah mengipasi rambutnya secara manual. "Kamu ngapain?" "Aduh, untung Om udah keluar. Bantu kipasin dong. Aku mau keringin rambut aku, Om. Itu hair dryer-nya mati. Aku nggak mau masuk angin gara-gara rambut aku masih basah," kata Cia seraya mengedikkan dagu ke arah meja rias. "Ah, kamu ini ada-ada aja. Capek dong kalau aku harus kipas-kipas kayak tukang sate. Mendingan kamu sisiran terus kita turun. Pasti mama sama papa udah di bawah," kata Soni. "Bentar. Aku belum pakai skincare sama make-up," ujar Cia. Soni menggeleng geram. Ia menatap Cia yang baru saja membuka tas kecilnya. Ia membuang napas berkali-kali karena sangat tidak tahan dengan istrinya. Ia harus sabar. Setelah beberapa saat, akhirnya Cia pun menoleh padanya. "Aku udah cantik, Om." Gadis itu berkedip-kedip pada Soni dengan punggung telapak tangan kanan menempel di dagunya. Soni berdiri. "Yuk. Mama juga udah mau turun katanya. Orang tua kamu pasti juga udah." Cia mengangguk. Ia mengulurkan tangannya pada Soni. "Gandeng. Kaki aku kasih sakit buat jalan." "Oke." Soni tak protes sebab ia memang harus menunjukkan pada orang lain bahwa ia telah menikah. Ia membiarkan Cia memeluk lengannya sembari mereka berjalan ke luar kamar. Keduanya tak bicara selagi lift membawa turun mereka. Cia mengeratkan pelukannya di lengan Soni ketika pintu lift terbuka. "Om, jangan cepat-cepat, dong. Aku sakit kalau jalan!" gerutu Cia. Ucapan Cia tak sengaja didengar oleh Joko dan Desti yang baru saja keluar dari lift sebelah. Desti melihat bagaimana Cia berjalan dengan tertatih untuk menyamai langkah Soni. Wanita itu menggelengkan kepalanya. Ia langsung salah paham karena mengira Soni dan Cia baru saja menghabiskan malam pertama mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD