Bab 4. Kita Nikah, Om!

1493 Words
Cia berdebar lebih keras ketika Soni bersalaman dengan ayah dan ibu tirinya. Jelas, Gito masih tak bisa berkata-kata dan hanya bisa mempersilakan keluarga Soni untuk duduk. Rasanya sangat janggal, dua minggu lalu mereka menerima lamaran dari Bumi dan kini, Soni datang untuk melamar Cia. Apalagi keduanya adalah saudara. "Jadi ... Nak Soni beneran mau melamar Cia?" tanya Gito sangsi. Soni mengangguk. Sebenarnya, ia merasa cukup kesulitan untuk membujuk kedua orang tuanya untuk ikut datang ke sini. Semuanya terasa tidak benar karena Soni tiba-tiba berkata mau menikah dan gadis yang hendak dinikahi itu tak lain adalah mantan pacar adiknya. Namun, Soni berhasil meyakinkan orang tuanya bahwa Cia adalah gadis baik yang berbakat—tentu saja ia sedikit melebih-lebihkan karena ia tidak terlalu mengenal Cia. Dan beruntung, kedua orang tua Soni akhirnya memberikan restu. Apalagi mengingat Soni yang telah menduda selama hampir delapan tahun. "Kenapa Kakak bisa melamar Cia?" celetuk Bumi tak tahan lagi. Ia bahkan tak pernah melihat Cia dekat dengan Soni. "Ya, kayaknya kami berjodoh," tukas Soni. "Tapi ... tapi ... kok bisa?" Bumi masih tak mempercayai semua ini. "Bumi!" tegur Joko, ayah Bumi dan Soni. "Kakak kamu mau menikah, harusnya kamu ikut senang." "Masalahnya, kenapa harus Cia?" tanya Bumi lagi. Ia mengendus sesuatu yang tak masuk akal di sini. Apalagi Cia baru patah hati karenanya. Tak mungkin Cia langsung mau menikah dengan Soni. "Itu bukan urusan kamu," sahut Soni. Ia memiringkan kepalanya lalu menatap sang adik dengan lurus. "Aku hanya merasa ternyata aku cocok dengan Cia. Makanya, setelah dia putus dengan kamu, aku memantapkan diri aku untuk menikahi Cia." Bumi mendengkus. "Apa kamu sengaja?" Ia menanyai Cia. Cia hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum penuh kemenangan. Apalagi ketika ia melihat wajah masam Tantri. Ia sangat senang. "Kamu nggak usah kepo. Yang jelas aku mau nikah sama kakak kamu." Cia melempar senyum ramah pada kedua orang tua Soni. Ia sudah mengenal mereka karena ia cukup lama berpacaran dengan Bumi. Ia tahu, ayah dan ibu Soni sangat ramah. Gito menggeleng pelan. Ia menatap Cia penuh perhatian lalu kembali memberikan perhatian pada Soni dan keluarganya. "Baik, saya sebagai orang tua Cia menerima niat baik atas kedatangan kalian ke rumah kami. Tapi ... sebelumnya saya ingin bertanya dulu dengan Cia." Soni mengangguk. "Ya, silakan, Pak." "Ci, kamu yakin mau menikah dengan Soni?" tanya Gito dengan setengah berbisik. Ia duduk di sebelah Cia, jadi ia tak ingin Soni tersinggung. "Kamu sadar nggak, umur kalian itu berbeda cukup jauh?" "Iya," celetuk Sulis. "Kamu yakin mau menikah dengan duda?" Cia mengangguk pada ayah dan ibu tirinya. "Aku udah 22 tahun dan om Soni ... dia baru 35 apa 36 tahun lah. Itu bukan masalah. Yang penting, dia mau serius sama aku." "Tapi dia duda!" Gito tak tahan lagi. "Nggak masalah. Tante Sulis pas nikah sama Papa, Papa juga berstatus duda. Emangnya apa yang salah dengan duda?" gerutu Cia. Ia menoleh pada Soni saat ini. "Aku menerima lamaran Om. Aku mau kita nikah secepatnya." Soni mengangkat alisnya lalu mengangguk kecil. Ia menunggu reaksi kedua orang tua Cia. Gito dan Sulis tampak bercakap-cakap. Ia tahu apa yang dipikirkan oleh mereka. Ia sudah lama menduda dan Cia masih gadis. Ini memang perbedaan yang sangat nyata. "Kalau Cia dan Nak Soni emang udah punya niat serius yang baik, kami berdua nggak bisa mencegahnya. Kami menerima lamaran Nak Soni untuk menikahi putri pertama kami," kata Gito. Cia bersorak dalam hati. Ia begitu lega ketika melihat wajah penuh kekecewaan Bumi dan Tantri. Ia lantas mengulurkan tangannya pada Soni untuk berjabat tangan. Ia membungkuk lalu meletakkan tangan itu di keningnya. Ia melakukan hal yang sama pada tangan calon ayah mertuanya. "Tolong, jaga Soni dengan baik, Nak," bisik Joko pada Cia. "Ya, Om tenang aja," balas Cia. Ia sangat gugup ketika bersalaman dengan Desti, calon ibu mertuanya. Namun, wanita itu tersenyum padanya bahkan memeluknya. "Soni anak kami yang baik, Tante harap kamu bisa jadi istri yang baik juga untuk Soni," kata Desti. Cia mengangguk gugup. Tatapan Desti seolah menusuknya dan ia merasa tak enak karena ia hanya bermain-main dengan pernikahan kontrak mereka. Namun, bibir Cia dengan cepat berkata, "Ya, Tante. Saya akan menjadi istri terbaik." Acara lamaran itu berakhir dengan pulangnya keluarga Soni. Kini, Cia berada di atas awan. Keluarganya masih terkesima dengan semua hantaran yang diberikan oleh Soni. Tentu saja, itu tak sebanding dengan apa yang dibawa oleh Bumi ketika melamar Tantri. Soni bahkan berkata akan membuat pesta besar di gedung mahal untuk pernikahannya dengan Cia. Cia tahu itu hanya pertunjukan. Dan ia sangat senang jika ia harus berperan sebagai tokoh utama. "Aku nggak percaya kamu ngelakuin ini, Ci! Kamu hanya main-main dengan kakak aku?" tanya Bumi ketika ia memiliki kesempatan bicara dengan Cia. "Kenapa? Kamu cemburu?" Cia melotot sempurna pada Bumi. "Kamu bisa berselingkuh dan menikahi adik tiri aku. Kenapa aku nggak boleh nikah sama kakak kamu?" "Kamu mungkin merasa wah karena bisa menikah dengan kak Soni, tapi ... kamu nggak tahu apa-apa soal dia," ujar Bumi dengan nada mencemooh. Cia tidak berjengit meskipun hatinya bertanya-tanya. Yah, ia memang tidak mengenal Soni. "Kamu harus tahu kenapa dia berlama-lama menduda," lanjut Bumi lagi. Pria itu tersenyum, setengah menahan tawanya pecah. "Kakak nggak bisa menjalin hubungan sama cewek." "Itu cuma gosip!" gertak Cia. "Ehm, gosip kalau dia gay?" Bumi mendesis sekarang. "Itu cuma secuil dari gosip yang beredar. Tapi sebenarnya ... dia emang nggak bisa berhubungan sama cewek karena asetnya mati. Impoten! Dia nggak nikah-nikah karena itu!" Wajah Cia memerah sempurna. Itu tak mungkin. Soni terlihat gagah dan meskipun sudah 36 tahun, Soni juga sangat tampan. "Kamu jangan sembarangan kalau ngomong!" "Aku tahu kakak aku gimana. Jangan lupa, aku ini adeknya." Bumi tersenyum penuh kemenangan. "Kamu mungkin mau balas dendam sama aku, tapi kayaknya kamu bakal terjerumus dalam permainan kamu sendiri. Mana enak nikah sama orang yang nggak bisa bangun asetnya." Tawa Bumi masih terdengar ketika pria itu meninggalkan Cia yang membeku di tempatnya berdiri. Ia menoleh sengit pada Bumi. "Itu nggak mungkin! Sialan! Aku harus buktiin sendiri!" *** Pernikahan Cia dan Soni pun akhirnya dilangsungkan sepuluh hari setelah lamaran. Pernikahan itu membuat iri hampir semua tamu karena pesta yang digelar Soni sangat meriah. Cia tersenyum sepanjang waktu meskipun ia bisa merasakan tatapan Bumi yang mencemooh padanya. Tadinya ia merasa menang karena bisa membalas Bumi dengan menikahi kakaknya. Namun, keadaan ini membuat Cia merasa kalah. Cia masih bertanya-tanya apakah benar Soni tidak bisa membangunkan asetnya? Itu tidak masuk akal. Itu tak boleh terjadi. Sebab Cia masih memiliki rencana. Jika Bumi berbahagia dengan kehamilan Tantri, maka ia juga harus bisa hamil dengan Soni. Itu baru balasan yang setimpal. Jadi, malam itu ketika Cia berada di kamar hotel bersama Soni, ia ingin menggoda pria yang kini telah menjadi suaminya. Tentu saja, ia memiliki persiapan. Ia sudah membeli lingerie seksi yang pasti akan membuat semua mata pria membelalak. "Om, aku mandi dulu, ya," kata Cia. "Ya." Soni hanya menanggapi singkat Cia. Ia lelah tersenyum sepanjang hari. Ia mulai melepaskan jas dan semua aksesoris di tubuhnya. Cia mendengkus di sebelah Soni. "Bantuin dong, Om! Aku nggak bisa buka kebayanya." Soni menoleh. Ia melihat Cia sedang menjulurkan tangannya ke punggung untuk menjangkau resleting. Namun, tangan pendek itu tak bisa mencapai. "Harusnya kamu dibantu sama MUA tadi buat lepasin semua. Emangnya kamu bisa?" "Ya makanya, bantuin!" Cia merengek dengan cemberut. "Oke." Soni tak ingin berdebat dengan Cia yang ia duga sangat cerewet itu. Ia menurunkan resleting kebaya Cia hingga ia bisa melihat punggung mulus Cia. Ia tak ingin melihat terlalu lama, jadi ia segera mengulurkan handuk. "Ini, sanggulnya gimana?" "Aku bisa, ih. Ini aja dicopot hiasannya," kata Cia. Soni mengangguk patuh. Ia membantu Cia melepas semua hiasan di kepalanya lalu gadis itu bernapas dengan penuh kelegaan. "Jangan lupa make up kamu dihapus, itu kayak ondel-ondel." "Mana ada kayak ondel-ondel!" gerutu Cia. Ia memang memilih make up bold, tetapi ia tak menyangka Soni akan mengatainya seperti itu. Apalagi Soni hanya menatapnya datar. Sungguh pria yang dingin! "Buruan sana mandi, gantian." Cia mengangguk. Ini malam pertamanya, ini kesempatan ia menggoda Soni untuk membuktikan ucapan Bumi tidak benar. Jadi, ia segera mandi sebersih dan sewangi mungkin. Lantas, ketika Soni bergantian mandi dengannya, ia langsung bersiap. Soni dibuat terkejut ketika ia keluar dari kamar mandi. Ia sudah memakai baju tidur panjang dan berharap bisa tidur nyenyak karena sangat lelah. Namun, di atas tempat tidur tergolek Cia yang hanya memakai lingerie berwarna merah. Ia tak berkedip selama beberapa detik. Ia bisa melihat lekuk tubuh indah Cia, dadanya tampak membusung dan padat dengan pucuk yang terlihat menggoda di balik kain tipis itu. "Kamu ngapain?" tanya Soni. "Kok ngapain, sih?" Cia memiringkan tubuhnya. Ia menopang kepalanya dengan lengan yang tertekuk. Dengan begitu, lekuk tubuhnya jelas lebih terekspos. Ia juga mengedipkan satu matanya pada Soni yang langsung berjengit. "Ini malam pertama kita, Om." Soni mendengkus ketika Cia melambaikan tangan padanya. "Kamu pikir ... kita bakalan tidur bareng?" "Tentu aja. Pengantin baru 'kan kayak gitu. Walaupun kita cuma nikah pura-pura, tapi kita tetap pengantin baru." Cia kembali melambaikan tangannya. "Sini dong, Mas Suami, Cia udah nggak sabar mau ngelakuin ritual malam pertama kita."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD