Bab 3. Kejutan Lamaran

1513 Words
"Kamu udah gila?" Soni hampir tertawa mendengar ucapan Cia. Gadis itu langsung cemberut. "Kamu bercanda, kan?" "Aku nggak bercanda, Om. Aku serius!" seru Cia. Reno merentangkan tangannya di antara mereka berdua. Ia menatap Soni yang masih bingung dengan situasi lalu menoleh pada Cia. "Kalian saling mengenal?" "Ya." Keduanya menyahut cepat. Senyum terbit di wajah Reno. Ia lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Soni untuk berbisik. "Kalau benar gadis itu ingin menikah dengan Anda, kenapa nggak kita manfaatkan saja, Tuan? Ini kesempatan yang bagus. Dibandingkan dengan mencari wanita bayaran ... saya pikir lebih baik Tuan mempertimbangkan tawaran nona ini." "Sembarangan kamu!" gertak Soni. Ia tak mungkin menikah dengan mantan pacar adiknya. Ia mengibaskan tangannya pada Cia. "Kamu lupakan apa yang aku dan Reno bicarakan pagi ini. Kamu juga jangan bicara sembarangan." "Aku nggak ... Om! Aku serius! Kita sama-sama butuh pasangan," kata Cia dengan nada memohon. "Jangan mengada-ada. Kenapa kamu harus menikah dengan aku?" tanya Soni dengan kedua lengan terlipat di depan d**a. Cia tampak berpikir keras. Ia ingin berkata bahwa ia harus balas dendam dengan Bumi, tetapi ia cemas jika Soni tak akan sepakat karena Bumi adalah adiknya. Namun, alasan apalagi yang ia punya? Soni menatapnya dengan ekspresi sangsi sekarang. Ia harus jujur! "Aku mau Bumi ngerasain apa yang aku rasakan! Dia bisa nikah sama adek aku. Jadi, aku juga bisa nikah sama kakak Bumi," ujar Cia. Soni membelalak. "Kamu mau jadikan sebuah pernikahan untuk ajang balas dendam?" "Ya. Lagian ... Om juga butuh pernikahan untuk menutupi gosip itu. Kita sama-sama butuh, jadi mendingan kita bikin kesepakatan," kata Cia. Ia mengikis jarak di antara dirinya dengan Soni. "Kalau Om nggak mau nikah sama aku ... aku bakal sebarin gosip baru kalau Om mau nikah demi nutupin rumor gay tadi." Kedua mata Soni melebar sempurna sementara Reno langsung terbatuk. Soni merasa dipermainkan olah Cia. Apalagi Cia langsung nyengir di depannya. "Kamu nggak boleh kayak gitu, Ci." "Makanya, kita nikah aja," kata Cia tak mau kalah. Soni hampir bicara, tetapi Reno lebih dulu berdehem. Ia mengedikkan dagu pada Soni dan mereka merapat. "Tuan, saya pikir lebih baik kita pertimbangkan apa yang dikatakan nona ini. Mungkin, kalian bisa bikin kesepakatan. Lagian, kalian udah saling kenal, kan?" "Masalahnya Cia ini mantan pacar adek aku," bisik Soni. Reno menelan keras. Ia menoleh pada Cia yang masih nyengir tidak jelas di belakang mereka. "Tapi, Tuan, gimana kalau nona itu beneran nyebarin gosip baru? Apa kita nggak tambah pusing?" "Ah, sial! Lagian, kenapa pula anak itu ada di sini?" Soni mengacak rambutnya frustrasi. Ia merasa masalahnya sudah bertambah gara-gara ketahuan oleh Cia. "Buruan, Tuan. Kalian bisa bikin kesepakatan pernikahan. Biar sama-sama enak, kalau perlu bikin perjanjian di atas kertas," saran Reno. Obrolan keduanya terputus ketika Cia berdehem dan menarik-narik lengan jas Soni. "Jadi, gimana, Om? Mau aku sebarin rencana pernikahan palsu Om, atau kita aja yang nikah?" Soni menggeram. "Aku nggak bisa nikah beneran sama kamu. Aku mau kita nikah pura-pura. Tapi kamu harus bisa tutup mulut dan berperan dengan baik." "Tenang, Om. Kalau sama Cia semuanya aman." Cia tersenyum lebar. Satu langkah sudah selesai. Meskipun ia masih penasaran dengan gosip bahwa Soni adalah pria gay, ia memutuskan untuk tak bertanya saat ini. "Jadi, kapan Om mau ngelamar aku? Lebih cepat lebih baik!" "Kita bikin surat perjanjian dulu. Aku nggak percaya kamu bisa jaga mulut kamu yang seenaknya itu," gerutu Soni. "Temui aku setelah kamu ... kamu ngapain ke sini?" Cia menarik sedikit amplop cokelat dari tasnya. "Aku kan udah bilang, aku mau ngelamar kerjaan di sini." Cia menepuk bahu Soni dari depan. "Ya udah, Calon Suami, aku turun dulu." Soni mendesis kesal. Ia tak percaya harus terlibat dengan gadis aneh seperti Cia. "Temui aku di ruangan aku setelah kamu selesai. Kita harus menandatangani surat perjanjian!" "Oke." Cia mengangguk senang. *** Cia pulang ke rumah dengan penuh kelegaan. Ia berhasil menjerat Soni ke dalam rencananya. Ia merasa lebih bersemangat untuk membalas rasa sakit hatinya pada semua orang. Jadi, ia tidak mengeluh ketika ia harus menahan panasnya matahari ketika naik ojek. Ia bahkan bersenandung riang memasuki rumah. "Sayang, kamu udah laper lagi?" Cia berhenti menggumamkan lagu karena ia mendengar suara Bumi. Dan ia kembali dilanda rasa kesal. Apalagi ketika ia menemukan Tantri sedang duduk di sofa ruang tengah dengan Bumi yang duduk di sebelahnya. Bumi tengah membelai perut Tantri dan sesekali menciuminya. "Geli, Sayang," ujar Tantri sambil tertawa kecil. Cia ingin muntah melihat pasangan suami-istri baru itu. Ia berkacak pinggang seraya mendekat. "Ngapain kalian mesra-mesraan di sini? Kenapa kalian nggak bulan madu?" Cia kemudian menggeleng. "Ah, nggak penting juga bulan madu orang udah dicicil duluan bikin bayinya." "Jangan sembarangan kamu kalau ngomong!" seru Tantri. "Nggak sembarangan. Emang bener kok!" Cia tak mau kalah. Ia lalu menatap Bumi. "Harusnya kamu bawa tinggal istri kamu di rumah kamu sendiri?" Cia lalu tertawa kecil. "Ah, iya. Aku lupa, kamu baru lulus kuliah dan masih pengangguran. Mana punya rumah!" "Kamu ngapain sih ganggu kami berdua?" Bumi berdiri dengan ekspresi kesal dan Cia sangat senang. "Mendingan kamu urus aja masalah kamu sendiri." "Ya, kamu nggak usah khawatir, Bum." Cia melayangkan tatapan sengit pada mereka berdua. Ia tak tahan dengan mereka, hatinya masih sakit dan ia hanya bisa bertahan dengan rencana balas dendamnya. Cia dan Soni telah membuat kesepakatan. Mereka akan menikah, setidaknya selama enam bulan dan pernikahan itu mungkin bisa diperpanjang hingga setahun jika mereka masih membutuhkan pernikahan itu. Cia tak protes, ia menyetujui semuanya dengan cepat. Cia juga telah mencari informasi mengenai gosip tentang Soni di kantor. Rupanya benar, karena Soni terkenal sebagai duda dingin yang tak pernah dekat dengan wanita, Soni dikabarkan sebagai pria gay. Entah bagaimana gosip itu bermula, tetapi banyak orang yang mengira Soni berpacaran dengan temannya. Ini memang gila, Cia tak percaya dengan semua itu. Ia harap begitu, karena ia akan malu sendiri jika menikah dengan pria gay. *** Malam itu ketika semua orang duduk di meja makan, Cia harus menahan rasa kesalnya karena Bumi dan Tantri yang bersikap manis di depannya. Ia muak setengah mati hingga kehilangan nafsu makannya. Namun, ia tak ingin lemah. Ia akan mengumumkan rencana pernikahannya pada semua orang sekarang juga. Jadi, Cia pun berdehem untuk meminta atensi. "Pa, aku mau ngomong penting." "Ya? Kamu mau ngomong apa?" tanya Gito. Ia menatap Cia yang baru saja meletakkan sendok. "Jadi ... minggu depan ... aku mau dilamar," kata Cia mengumumkan. Gito membelalak. Sulis menjatuhkan kembali sendoknya. Sementara Bumi langsung tersedak dan Tantri sibuk mengambilkan air minum untuk Bumi. Cia tersenyum. Ini baru kejutan awal. "Aku mau nikah. Bulan ini juga." "Kamu sedang berkhayal?" tanya Gito tak percaya. Inilah yang membuat Cia selalu kesal dengan ayahnya. "Papa selalu nggak percaya sama aku. Kalau aku bilang aku mau nikah, berarti aku emang mau nikah. Dan minggu depan, dia mau datang melamar aku." "Kamu mau nikah sama siapa, Ci?" tanya Tantri yang juga tak bisa menutupi rasa terkejutnya. Cia tersenyum penuh kemenangan. "Yang jelas, pria itu jauh lebih baik daripada suami kamu." Cia melayangkan tatapan mencela pada Bumi. "Kamu akan menyesal sudah mengkhianati aku, Bum." "Kamu 'kan nggak punya pacar, gimana ceritanya kamu bisa nikah?" tanya Sulis. "Ya. Aku nggak punya pacar karena pacar aku diambil sama Tantri. Tapi ... aku punya calon suami. Kalian liat sendiri nanti kalau dia udah datang. Pokoknya, aku bakal bikin pesta pernikahan yang meriah, beda sama Tantri kemarin," kata Cia dengan senang. Ia beruntung karena pernikahannya dengan Soni akan dilangsungkan dengan pesta besar. Semua orang harus tahu bahwa CEO dari Fortuna Company akhirnya menikah. Semua orang masih bertanya-tanya ketika Cia meninggalkan ruang makan. Ia tidak cukup kenyang dengan makanan yang masuk ke perutnya karena ia hampir tidak makan. Namun, ia merasa cukup kenyang karena ia berhasil membuat semua orang terkejut. Seminggu lagi, semuanya akan benar-benar terkejut! *** Seminggu berlalu dalam kehidupan Cia. Semuanya berjalan sesuai dengan rencananya. Ia menerima gaun mahal yang menawan untuk ia kenakan di acara lamaran malam ini. Tentu saja, Soni yang mengirimkannya. Ia juga berdandan dengan sangat cantik. Ketika ia keluar dari kamar, ia bertemu dengan Bumi dan Tantri. Kamar mereka bersebelahan, jadi jika keluar bersama-sama, mereka bisa langsung bertatap muka. Bumi terlihat ingin bicara pada Cia, tetapi suara bel sudah terdengar di lantai satu. "Kalian penasaran dengan siapa aku mau nikah?" tanya Cia dengan nada pongah. Ia menyeringai kecil. "Ayo turun!" Cia menuruni tangga dengan langkah anggun. Ia menatap salah satu asisten rumah tangga mereka tengah membuka pintu dan memberi hormat pada tamu-tamu yang berdatangan. Cia mulai berdebar karena lamaran ini terlihat seperti lamaran yang sesungguhnya. Mereka membawa banyak sekali bingkisan dan bahkan ia sendiri kaget. "Wah, ini semua hantaran dari calon suami kamu?" tanya Tantri dengan nada tak percaya. Cia hanya bisa tersenyum canggung. Ia menunggu Soni muncul dengan waswas. Dan akhirnya pria itu masuk diikuti orang tuanya. Soni bertemu tatap dengan Cia lalu tersenyum. Ia mengangguk pada Gito dan Sulis yang tak bisa mengedipkan mata mereka. "Selamat malam, saya datang ke sini dengan kedua orang tua saya untuk melamar putri kalian, Alicia Devina Sari." Ucapan Soni berhasil membuat semua orang tak bisa berkata-kata. Namun, di antara semua orang, Bumi lah yang paling terkejut. Ia menatap Cia yang tersenyum malu-malu lalu pada Soni yang berwajah datar. Kini, ia merasa dipermainkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD