Bab 7. Cia Susah Jalan

1502 Words
"Soni!" panggil Desti. "Mama." Soni dan Cia bersamaan membalik badan. Cia meringis pada mertuanya yang berjalan mendekati mereka. "Pagi, Ma, Pa." "Ehm, pagi," tukas Joko. Desti berdecak. Ia menatap Cia yang memakai gaun hijau sage dan tas selempang kecil. Cia terlihat begitu segar dengan rambut masih agak basah. Imajinasi Desti langsung bekerja. "Son, kamu jangan keterlaluan sama istri kamu." "Hah?" Soni menatap ibunya dengan bingung. Ia lalu menoleh pada Cia yang juga sama-sama membelalak. "Mama tahu kalian pengantin baru, tapi jangan kasar-kasar. Masa Cia sampai sakit begitu buat jalan," kata Desti setengah berbisik. Cia menutup bibirnya dengan telapak tangan sementara Soni menggeleng pada ibunya. Cia sangat malu sekarang karena ia belum melakukan apa-apa dengan Soni, tetapi ibu mertuanya sudah salah paham. "Kamu harus memperhatikan kenyamanan istri kamu juga. Dia masih kecil, lho. Kamu ini harusnya bisa bersikap lembut sama istri kamu," ujar Desti lagi. Soni ingin menenggelamkan dirinya di lautan. Ini tidak benar. Ia belum menyentuh Cia sebanyak itu dan ia memang tidak berniat melakukannya. "Aku nggak gitu, Ma," sahut Soni ingin menjelaskan. "Udah-udah," ucap Joko. Ia mengibaskan tangannya di udara. "Malu ngomongin kayak gitu di sini. Ia lalu merangkul pinggang Desti. "Biar aja, namanya juga pengantin baru, Ma. Kayak dulu Mama enggak aja." "Tapi, kasihan Cia, Pa. Nyampe sakit buat jalan," tukas Desti yang tak bisa membayangkan seperti apa kelakuan Soni di atas ranjang. Ia menggeleng lagi pada Soni. "Mama tahu kamu udah kebelet karena udah cukup lama sendiri, tapi jangan keterlaluan gitu." Soni memerah sempurna sekarang. Gara-gara ia menduda terlalu lama, ibunya jadi berpikir terlalu jauh. "Ma, aku nggak ...." "Aku nggak apa-apa kok, Ma," celetuk Cia. Ia meringis rikuh dengan obrolan ini. Namun, ini bagus juga karena mereka mengira pernikahannya dengan Soni berjalan dengan baik. Ia juga tak perlu malu karena malam pertamanya yang gagal total. Toh, semua orang mengira ia sudah melakukan ritual itu. "Aku emang lebay kalau sakit, Ma. Aku emang manja." Desti tertawa kecil. Ia menatap gemas menantunya. "Iya, perempuan biasanya gitu. Mama maklum. Kalau kamu sakit, harusnya tadi kamu istirahat aja di kamar. Jangan dipaksakan berjalan." "Aku nggak apa, Ma. Sumpah. Aku pasti bisa lari nanti, tenang aja," ujar Cia melebih-lebihkan. Desti tertawa lebih keras sekarang. Walaupun Cia sudah lama berpacaran dengan Bumi, Desti sangat jarang mengobrol dengan Cia. Ia baru tahu bagaimana sosok Cia yang ternyata sangat ceria. "Udah, ayo makan. Kita harus sarapan," kata Soni mengingatkan ibunya. "Oh, ya. Ayo." Desti dan Joko berjalan lebih dulu dan disusul oleh Cia dan Soni. Cia memeluk lengan Soni dan ia senang kali ini Soni berjalan dengan perlahan. Sebab, kakinya memang masih terasa sakit karena terpeleset tadi. Ketika Cia masuk ke restoran yang telah disewa oleh Soni untuk sarapan mereka sekeluarga, Cia melihat ada orang tuanya dan juga pasangan Bumi dan Tantri. Cia melebarkan senyumnya agar semua orang tahu ia sangat berbahagia dengan pernikahannya. Dan ia berharap, Soni juga memiliki ekspresi yang sama. Sayang, Soni hanya memasang wajah datar dengan senyum tipis yang hampir tak kelihatan. Meja itu bundar, Cia dan Soni duduk berdampingan. Di sisi kanan Soni ada orang tuanya, di sisi kiri Cia ada orang tuanya dan di seberang mereka berdua ada Bumi dan Tantri. "Udah dari tadi, Pa?" tanya Cia pada Gito. "Ya, lumayan. Hotelnya bagus banget. Tadi kami udah lihat-lihat di sekitar," kata Gito. Desti tertawa kecil. "Maaf, kami terlambat. Tadi, kami ngobrol dulu sama pengantin baru ini di lobi. Kayaknya, pengantin baru kita terlalu bersemangat sama malam pertama mereka, makanya tadi Mama kepo." Cia nyengir lebar. Ia masih agak malu dengan obrolan salah paham mereka. Dan di sebelahnya, Soni langsung berdehem lalu meneguk air putih. Bumi menatap Cia dengan ekspresi tak percaya. Yah, dengan rambut pasca keramas dan cengiran malu-malu itu membuat Bumi berspekulasi. Ia tidak yakin Cia dan Soni sudah melakukannya. Soni adalah pria kaku. Bumi ingat Soni pernah mengonsumsi obat untuk kesehatan pusakanya. Dan Bumi yakin Soni mengalami impoten. "Apa kak Soni udah sembuh?" Bumi berpikir dalam hati. "Tapi, kenapa dia harus lama-lama menduda kalau emang dia udah sehat? Aneh banget." Bumi ikut-ikutan meneguk air putihnya. "Ah, ngapain aku peduli sama pernikahan Cia dan kakak. Itu bukan urusan aku." Bumi mencoba untuk tak peduli, tetapi ketika mereka mulai makan, mau tak mau Bumi terus mencuri tatap ke arah Cia yang tak canggung menyuapi Soni. Dan Soni tertawa. "Makasih, Cicia Sayang," ujar Soni. Ia mengusap bibirnya dengan sapu tangan lalu tersenyum usai menerima suapan dari Cia. Cia tersenyum senang mendengar panggilan Soni untuknya, ini benar-benar sempurna. Soni bisa berakting sesuai yang ia inginkan. Bahkan, di luar ekspektasi! Melihat wajah masam Bumi sangat membuat Cia bahagia. "Kamu juga harus makan," kata Soni. Ia memotong pancake di piringnya. Ia menyuapi Cia dan merasa geli sendiri karena gadis di sebelahnya langsung mengunyah dengan menggemaskan. "Enak banget sarapan kita, Om. Aku mau lagi," kata Cia. Ia membuka mulutnya dan Soni mau tak mau menyuapi lagi. Semua orang tersenyum melihat tingkah mesra pasangan pengantin baru itu. Semuanya kecuali Bumi yang merasa begitu muak melihat Cia. Selama ini, Cia memang manja padanya. Ia bosan, ia tak suka lagi. Namun, melihat kakaknya bisa membuat Cia sesenang itu, ia tiba-tiba merasa tak nyaman. Apakah ia cemburu? Seharusnya tidak. Ia hanya cemas. Soni selalu mendapatkan segalanya. Kesuksesan, kasih sayang orang tua mereka dan banyak lagi. Kini, Soni bahkan menikahi gadis yang pernah sangat ia sukai. Bumi menjadi kesal karenanya. "Kamu kenapa, Mas?" tanya Tantri ketika ia menyadari tatapan Bumi terus terarah pada Cia dan Soni. Bumi menoleh pada Tantri dan tersenyum. Ia menggeleng. "Nggak apa-apa, Tan. Buruan makan, apa kamu mual?" "Nggak kok. Ini enak," jawab Tantri setengah berbisik. Dalam hati, ia sungguh kesal karena Bumi justru mencuri tatap pada Cia. "Kamu juga mau disuapin?" tanya Bumi dengan nada bercanda. "Nggak ah, malu," jawab Tantri. "Ya, udah." Bumi mengangkat bahunya. Di seberang, Soni terlihat sedang menyodorkan gelas jus jeruk ke bibir Cia. Bumi membasahi bibirnya. Ia penasaran, apakah bibir Cia sudah diambil oleh Soni? Kenapa ia semakin kesal? "Son, kamu bukannya ambil libur seminggu ini," celetuk Joko. "Kalian udah ada rencana bulan madu ke mana?" Cia yang tersipu karena pertanyaan ayah mertuanya. Ia mungkin gagal di malam pertama, tetapi jika ada kesempatan bulan madu berdua, ah, mungkin ia bisa menggoda Soni. "Aku cuma libur tiga hari sama kemarin, Pa. Rabu aku udah kerja lagi," tukas Soni. Yah, ia dan Cia menikah di hari Sabtu. Ucapan Soni sontak membuat Cia agak kesal. Soni mungkin adalah pekerja keras, pikirnya dalam hati. "Ya, dua hari cukuplah," ujar Joko lagi. "Ehm, ajak Cia ke vila kita di Puncak," saran Desti. "Kamu bisa berangkat abis ini, dan kalian bisa pulang Selasa sore." Soni mengangkat bahunya. Ia menatap Cia yang masih nyengir seperti orang gila. Ia tak ingin menginap di vila dengan Cia. "Gampang deh. Kita makan aja dulu." Soni kembali memotong pancake. "Kamu masih laper, Sayang?" Cia mengangguk. Ini pagi yang sempurna. Soni memperlakukannya dengan manis, sementara Bumi terlihat masam. Ia juga mulai membayangkan melakukan bulan madu bersama Soni di Puncak. "Bum, kamu juga harus mulai kerja," kata Joko lagi. "Kamu udah nikah dan harus mikir gimana menafkahi istri kamu." "Aku kerja," tukas Bumi. "Ya, kamu udah kerja. Papa tahu, tapi Papa mau kamu mulai kerja di perusahaan. Senin depan, kamu harus datang ke kantor," kata Joni dengan tatapan lurus ke arah Bumi. Cia tahu, Bumi membantu usaha kuliner temannya. Namun, ia tak tahu bahwa Bumi akan bekerja di perusahaan keluarga mereka. Ia juga sedang melamar di sana walaupun hanya sebagai desainer magang. Apakah ia akan diterima dan berkerja di bawah atap yang sama dengan Bumi? "Tapi, Pa ... aku nggak mau jadi asisten manajer," kata Bumi dengan nada protes. "Kamu harus mulai dari situ. Kakak kamu dulu malah mulai dari karyawan kontrak biasa," tukas Joko dengan nada kesal. "Kamu harus bersyukur dan mulai bekerja Senin depan." Cia tersenyum sempurna ketika ia tahu jabatan Bumi sangat jauh di bawah Soni. Ia sudah menghina Bumi karena masih menganggur dan belum punya rumah sendiri. Kini, ia bisa lebih sering meledek Bumi karena ia menikah dengan CEO perusahaan di tempatnya bekerja. Sungguh sempurna! Di sebelah Bumi, Tantri juga terlihat kesal. Cia semakin lebar tersenyum. Yah, ia tak akan menyesali Bumi lagi. Sebab, kini ia memiliki pria yang jauh lebih baik daripada Bumi. "Jadi, kalian mau siap-siap sekarang?" tanya Desti ketika Soni berdiri. Cia merasa linglung. Karena ia melamun sambil makan, ia tak tahu apa yang diobrolkan oleh semua orang. Namun, ia ikut-ikutan berdiri lalu menggandeng Soni. "Ya. Kami mau ke Bogor abis ini," jawab Soni. Cia kembali nyengir. "Asyik! Honeymoon!" Ia berseru di dalam hatinya. "Ingat pesan Mama, Son. Kenyamanan istri kamu yang terpenting," kata Desti seraya nyengir. "Jangan sampai Cia kesak—" "Aku ngerti, Ma." Soni memotong ucapan ibunya sebelum ia lebih memerah. "Ayo, Cicia Sayang. Kita ke kamar dulu siapin baju-baju kita. Cia mengangguk. Ia berpamitan pada semua orang lalu mengikuti Soni dengan langkahnya yang masih tertatih. Bumi membelalak karena ia baru memperhatikan cara berjalan Cia yang janggal. Ia mengepalkan tangannya ketika melihat Soni merangkul mesra pinggang Cia. Apakah mereka benar-benar telah tidur bersama? Cia dan Soni? Bumi tak bisa berpikir jernih saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD