“Yaudah, Bang. Langsung lu gendong aja Si Ririn, biar gua aja yang pegangin tasnya.” kata Degel begitu saja.
Meski Degel adalah laki-laki namun dia paham kalau beban tas yang ada di belakangnya saja sudah berat, bagaimana mungkin dia bisa menahan beban tubuh Ririn yang tentu lebih berat dari tasnya. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan adalah meminta Bang Opung untuk menggendong Ririn. Dia lebih baik membawa tas Ririn yang dia rasa beratnya tidak seberapa.
“Elu berani nyuruh gua, Gel?” tanya Bang Opung.
Ya beranilah, emang lu siapa sampe gua kaga berani sama lu? -batin Degel.
Degel tentulah hanya mengatakan hal itu dalam hati, karena dia tidak memiliki keberanian untuk mengatakan langsung. Bagaimanapun Bang Opung adalah seniornya dan merupakan orang yang sangat dihormati orang teman-teman tongkrongannya. Mencari masalah kepada Bang Opung sama saja seperti bunuh diri. Dan Degel cukup waras untuk melakukan itu.
“Hehehe, canda, Bang.” kata Degel sambil cengengesan.
Degel pun langsung melepaskan tasnya, dan berjongkok di depan Ririn. Bang Opung langsung mengambil tas Degel dan langsung menggendongnya di depannya karena di belakangnya sudah ada tas miliknya.
Dua tas yang ada pada Bang Opung beratnya tidak seberat Ririn meski sangat merepotkan saat membawanya.
“Ayo, naik, lu!” titah Degel.
“Tapi …” Ririn merasa tidak enak hati, sehingga dia pun hendak menolak tawaran Degel.
Hal itu tentu membuat Degel merasa kesal karena dia sudah tidak mau lagi menunggu. Bayangan putih dan sesuatu tak kasat mata yang mengintai mereka seakan terus menguliti mereka, hal itu membuat Degel merasa takut setengah mati.
“Lu mau naik apa gua tinggal?” ancam Degel.
“Iya, iya, iya! Ngeselin banget sih, nggak ngerti banget orang lagi sakit.” kata Ririn.
Meski menggerutu namun Ririn pun langsung naik ke punggung Degel, dia masih menggendong tasnya membuat Degel merasakan beban berat yang bertambah. Degel mengangkat Ririn, namun seketika karena terlalu banyak beban di belakangnya sehingga dia memutuskan untuk menurunkan Ririn, “Tas lu siniin!” kata Degel.
“Kenapa?” tanya Ririn yang tidak mengerti mengenai apa yang dilakukan oleh Degel.
Degel mengambil tas Ririn dan langsung menggendong depan tas tersebut, kemudian dia berjongkok lagi dan meminta kepada Ririn untuk naik ke punggungnya lagi. Ririn tak menolak, dia langsung naik ke atas punggung Degel, dia memang kasihan melihat bagaimana Degel kesulitan namun dia tidak bisa berjalan, dia juga merasa ketakutan.
“Udah kan? Ayo, cepet!” seru Bang Opung.
Kaki Degel bergetar hebat saat ini melihat sesuatu yang memegangi kaki Bang Opung. Bang Opung terlihat berjalan dengan susah payah, begitu juga dengan Degel.
Pegangan Ririn pun semakin erat ke leher Degel. Mereka pun langsung berlari dengan sangat kencang, hingga Degel merasakan beban yang sangat berat di belakangnya. “GEl …” kata Ririn.
Degel merakaan bagaimana tubuh Ririn menggigil, ntah di bagian mana dirinya ada yang memberitahu Degel kalau Ririn akan mengatakan sesuatu yang sangat tidak masuk akal namun nyata adanya.
“Kenapa?” tanya Degel dengan susah payah, “Ini kekencengan, bisa mati gua gara-gara tangan lo.” kata Degel.
Ririn menangis, “Gel, sumpah gue ada yang narik, Gel.” kata Ririn.
Degel rasanya ingin menutup mulut Ririn. Namun kedua tangannya sibuk memegangi kaki Ririn agar bisa berjalan.
“Sttt … diem aja, Rin, lo alihin pikiran lo.” kata Degel.
Kaki Degel mulai bergetar hebat dan terasa begitu berat hingga akhirnya dia terjatuh karena berjalan tanpa hati-hati dna buru-buru.
DUG!
“Aduh!” pekik Degel dan juga Ririn yang jatuh di atas tanah yang sudah mulai berubah menjadi kubangan-kubangan kecil.
Hujan yang lebat membuat licin jalanan dan mulai membuat mereka menggigil kedinginan. Degel tidak menyangka kalau dirinya bisa merasakan perasaan seperti ini. Mata Degel dan Ririn tak henti-hentinya melihat hal-hal yang tak seharusnya mereka lihat. Bagaimana pun mereka berdua, bahkan bertiga dnegan Bang Opung sadar kalau mereka hanyalah manusia yang juga memiliki rasa takut.
“Kalian kenapa?” tanya Bang Opung.
Itu adalah sebuah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban karena dengan melihat kondisi Degel dan Putri yang tergeletak di atas rumput lumpur itu, Bang Opung tahu mengenai apa yang terjadi tanpa diperjelas.
Bang Opung mengecek keadaan Degel. Degel terlihat seperti kesakitan, dia meringis sambil memegangi lengan kirinya, karena ketika jatuh mereka jatuh ke bagian kiri sehingga beban lengan sebelah kiri langsung bertambah dan menyebabkan kesakitan.
Bukan hanya Degel, Ririn pun merasakan tubuhnya kesakitan. Bang Opung yang memang sudah tidak bisa lagi menahan mengenai apa yang ada di dalam kepalanya pun langsung duduk di hadapan Degel. Kemudian, membantu Degel berjalan. Mereka mencari sebuah tempat untuk berteduh terlebih dahulu.
“Sekarang kalian jujur sama gua. Apa yang udah kalian lakuin?!” kata Bang Opung.
Kali ini Bang Opung tengah menatap Ririn dan juga Degel secara bersamaan, mereka berada di bawah pohon mangga yang sangat lebat daunnya. Meski begitu mereka tidak ada yang mau menengok ke atas karena sejak mereka berada di sana, mereka merasa kalau ada yang mengawasi mereka dari atas.
“Maksud Bang Opung apa?” tanya Ririn yang lebih dahulu menanyakan mengenai apa yang dimaksud oleh Bang Opung, dia juga takut kalau Bang Opung berpikiran yang sangat jauh.
“Iya, apa yang kalian lakuin sampai semua yang ada di sini ngikutin kita? Kalau kalian nggak aneh-aneh pasti kita udah sampe nih. Mereka ngikutin kita pastiu karena sesuatu. Jangan-jangan kalian mesum.” kata Bang Opung.
“Ya ampun, Bang. Ya enggak lah. Gila aja kali kayak begitu. Gua mah orang baik walaupun tampangnya preman.” kata Degel.
“Iya, lagian ngapain coba m***m sama Degel? Unfaedah.” kata Ririn dengan kesal.
“Siapa juga yang mau m***m sama lu?” tanya Degel.
“Heh! Udah-udah! Gua minta kalian buat intropeksi, buat inget-inget apakah kalian pernah melakukan hal yang dilarang atau nggak. Atau lu … lu lagi dapet kali ya, Rin?” tanya Bang Opung.
Ririn terdiam begitu saja, apa yang dikatakan oleh Bang Opung memang benar, dia memang sedang datang bulan. Ririn menganggukkan kepalanya begitu saja, “Iya, Bang. Gua emang lagi dapat.” kata Ririn.
Bang Opung seketika seperti mengetahui mengenai apa yang terjadiu, dan satu-satunya hal yang paling masuk akal adalah ini, “Lu buang di mana bekas pembalut bekas darahnya?” tanya Baron.
Ririn menoleh ke arah Degel.
“Lo beneran buang sembarangan?” tanya Bang Opung yang hendak menghajar Ririn langsung ditarik oleh Degel.
Degel memang tidak suka dengan Ririn, namun dia merasa kalau dalam situasi seperti ini dia harus menghentikan Bang Opung .