BAB 23

1076 Words
Ririn sepertinya sudah mulai menangis karena dirinya sangat ingat dengan apa yang dia lakukan sebelumnya, dia memang telah membuang celana yang berlumuran darah haidnya juga pembalutnya ke sembarang tempat. Dia sungguh tidak menyangka kalau hal itu bisa membuat mereka celaka seperti saat ini. “Bang, udah, Bang. Jangan marahin dia, dia kasihan.” kata Degel. Degel mencoba menghentikan Bang Opung karena Bang Opung terlihat terus memarahi Ririn. Degel sangat tahu kalau Ririn salah, dan sepertinya dia juga salah karena dia tidak memberikan peringatan kepada Ririn untuk tidak membuang sampah sembarangan, terlebih sampah itu adalah sampah bekas haid. Itu adalah sesuatu yang sangat tabu. “Dia yang udah bikin kita dikejar-kejar sama penghuni sini, Gel.” kata Bang Opung. “Iya, tapi jangan dibentak-bentak, dia cewek, Bang.” kata Degel. Dalam keadaan terisak, Ririn mengamati bagaimana Degel membelanya, entah mengapa di saat seperti ini, dia merasa kalau hatinya menghangat. Karena dia yang memang sangat membutuhkan dukungan langsung mendapatkan dukungan dari Degel. Laki-laki yang sejak awal mendaki selalu berdebat dengannya. Mendebatkan segala hal, dari hal kecil hingga hal yang besar.. “Tetep aja gua nggak terima, Gel. Gini aja, kita balik lagi ke tempat dia buang celana sama pembalutnya, kita ambil lagi. Kita bawa.” kata Bang Opung. “Yaudah, Bang. Iya. Mending kayak gitu aja.” kata Degel. Degel menatap Ririn yang masih menangis di tempatnya, “Maafin gua, gua nggak tau kalau nggak boleh buang sampah sembarangan.” “Iya, udah kejadian juga, mending sekarang lu naik di punggung gua, kita balik lagi ke tempat pertama lu buang itu semua.” kata Degel. Akhirnya Ririn pun langsung menganggukkan kepalanya begitu saja. Bagaimana tidak? Dia memang tidak punya pilihan lain, daripada mereka tidak pergi-pergi dari hutan mengerikan itu lebih baik mereka kembali ke tempat semula. “Tapi lu tadi abis jatoh, Gel.” kata Ririn. Dia sangat ingat kalau mereka berdua habis jatuh tadi. Degel terpeleset, entah terpeleset entah ada yang menarik karena posisi jatuh mereka sangat ganjil sekali. Mereka tidak menemukan ada batu yang membuat mereka tersandung namun mereka jatuh begitu saja seperti ada sesuatu yang menarik mereka sampai jatuh. Setidaknya, itulah yang ada di dalam pikiran Ririn saat ini. Dia tidak tahu bagaimana yang dirasakan oleh Degel. Namun, sepertinya Degel memang tulus ingin membantunya. “Nggakpapa, udah cepet naik buruan!” kata Degel kesal karena Ririn terus mendebatnya. Ririn akhirnya kembali naik ke punggung Degel. Rasanya tidak enak karena dia harus merepotkan laki-laki itu, namun mau bagaimana lagi? Ririn tidak bisa berjalan dengan normal. Kakinya begitu sakit, dan dia sangat membutuhkan pertolongan Degel. Kali ini mereka bertiga berbalik arah dan kembali ke belakang. Mereka kembali menuju jalan yang mereka lewati sebelumnya, Ririn mencoba mengingat-ingat dimana dia membuah ‘sampah nya itu. Kembali ke tempat semula tidaklah mulus, mereka juga harus menyaksikan banyak hal yang sangat tidak lazim untuk dilihat. Namun, diantara banyaknya hal gaib, satu hal yang begitu membuat mereka merinding, yaitu sesuatu yang beterbangan dengan suara tawa paling mengerikan, juga dengan tangan-tangan nakal yang tak berkepala. Degel rasanya ingin menangis, dia jadi teringat kepada Nyak dan Babenya. Bagaimanapun, dia merasa kalau apa yang dia lalui saat ini adalah buah dari perbuatannya, andi saja sebelum berangkat mendaki dia tidak mencuri uang kedua orang tuanya, maka hal ini tidak akan pernah terjadi. “Gel, gua takut. Takut banget.” kata Ririn. Ucapan Ririn menghilangkan lamunan Degel. Degel berdehem, dia mencoba agar konsentrasinya tidak terpecah. “Lo, dzikir aja dzikir yang banyak.” kata Degel. Hanya kalimat itu yang bisa keluar dari mulut Degel. Dia jadi teringat bagaimana kedua orang tuanya yang selalu memberikan ceramah kalau dimanapun dia berada, hendaknya selalu mengingat-Nya. Dan Dzikir adalah satu-satunya yang terlintas di benak Degel. Selama perjalanan, Degel terus berdzikir sambil memohon ampunan atas doa yang telah dia lakukan kepada kedua orang tuanya. Andai saja Degel tahu kalau hal ini akan terjadi, maka dia tidak tentulah tidak akan pernah mau melakukan itu. Hanya demi sebuah handphone mahal dia berani mencuri uang orang tuanya. Mengingat hal itu air matanya jatuh begitu saja. Hamba minta ampun, Ya Allah. -batin Degel. Tak lama kemudian, Degel sampai di sana. Tanpa menanyakan kepada Ririn, dia bisa sampai di sana, bukan apa-apa. Ketika Ririn hendak buang air, memang dia yang menemani Ririn jadi berbekal ingatakannya dan ntah dorongan dari mana akhirnya mereka sampai di sana. “Udah sampe, lu buang di mana?” tanya Degel. Ririn membuka matanya, dia memang sengaja memejamkan mata sedari tadi karena tak kuasa melihat penampakan-penampakan aneh. Ririn turun dari gendongan Degel. Kemudian dia langsung berjalan menuju ke arah dia membuah ‘sampah nya. Jantung Ririn berdegup dengan sangat kencang ketika melihat sesuatu yang merah tengah menjilati sampahnya. Ririn hampir pingsan. Mereka pun berdoa hingga makhluk itu pergi. Kemudian, Ririn langsung mengambilnya dan memasukkannya ke dalam plastik yang Degel berikan. Kemudian, mereka pun langsung berhadap-hadapan, “Kita minta maaf ya.” kata Bang Opung. “Saya minta maaf karena sudah buang sampah sembarangan. Saya janji saya nggak akan mengulangi lagi. Sampahnya juga sudah saya bawa, dan nggak akan saya tinggal di sembarang tempat.” kata Ririn sambil menangis. “Kami minta maaf, kami minta maaf karena sudah mengusik kalian.” kata Degel. Kemudian, mereka pun langsung pergi begitu saja. “Iya, kami menyesal.” kata Bang Opung. Setelahnya, mereka pun memutuskan untuk pergi dari sana dan melanjutkan perjalanan. Entah bagaimana Degel langsung teringat ketiga temannya, Rahmat, Kodel, dan Putri. Entah apa yang terjadi pada temannya itu. Sepertinya mereka lebih baik bersama. “Bang, kayaknya kita lebih baik cari Rahmat, Kodel, sama Putri.” Usul Degel. “Nggak, nggak mau. Gua nggak mau ketemu sama Kodel sama Putri.” Ririn langsung menjawab dengan cepat meski pertanyaan itu ditujukan kepada Opung. Ririn masih sakit hati dengan apa yang dilakukan oleh Kodel. Setelah apa yang Kodel lakukan kepadanya, sepertinya dia tidak akan pernah bisa memaafkan Kodel. “Rin, jangan egois. Kita punya kesalahan kecil saja, kita sampai segininya, gimana sama mereka? Gua takut hal yang enggak-enggak terjadi sama mereka. Gimana pun mereka teman kita, kita naik bareng, berarti turun juga harus bareng.” kata Degel. “Lu bener juga, Gel. Kayaknya emang gua yang salah dari awal, kalau gua nggak kepancing emosi, kita nggak akan kepisah kayak gini, ini salah gua.” kata Bang Opung. “Sekarang bukan waktunya salah-salahan, Bang. Mending kita cari aja sekarang.” kata Degel. Bang Opung pun langsung menganggukkan kepalanya. Ririn langsung turun dari gendongan Degel, “Kalau kalian mu cari mereka, cari aja, gua mau pulang sendiri!” seru Ririn.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD