Dalwi sudah meminta kepada Bang Opung dengan mati-matian agar Bang Opung memperbolehkan teman-teman organisasinya ikut mendaki. Alasan Dalwi melakukannya sebetulnya bukan karena rasa cintanya pada organisasi yang dia geluti.
Masuk jdi anggota HIMA tentulah tidak membuat dia rela mati-matian melakukan semuanya demi kampus. Dalwi adalah manusia bebas dan karen kebebasannya sehingga dia bisa diterima di mana-mana.
"Akhirnya gua bisa juga muncak gratis. Hahahaha. Gua tinggal minta hape yang kameranya bagus sama bokap nyokap gua, gua mau selfie-selfie di sana,” kata Dalwi.
Alasan Dalwi sebenarnya naik gunung hanyalah ingin bergaya dan memiliki banyak foto di puncak. Sebab, dia melihat kalau semua anak-anak yang naik gunung selalu memiliki pacar. dan dia kali ini merasa ingin sekali punya pacar.
Dia memang tidak memiliki tampang yang mendukung untuk mendapatkan pacar namun lihatlah bagaimana dirinya bergaya di puncak-puncak gunung yang begitu menyenangkan mata para gadis di instagrim.
"Gimana, Gel?" tanya Rahmat.
"Beres. lu nggak usah khawatir. gua udah bilang sama Bang Opung katanya lu semua boleh ikut. Dan ini nih gua udah nyatetain semua barang-barang yang kudu lo-lo bawa. Naik gunung itu sifatnya beregu bukan belagu jdi cukup bawa-bawa barang-barang yang ada di catetan aja ya? Soalnya ini gua sama Bang Opung juga udah dapet job desk masing-masing,” kata Dalei.
"Gaya bener lo,” kata Rahmat sambail tertawa.
"Makanya lu jangan proker mulu kerjaannya, hidup itu harus dinikmati. jangan mau diperbudak kampus,” kata Dalwi.
"Astaga dalem juga kata-kata lo,” kata Rahmat.
Dalwi hanya bisa tertawa dengan puas lalu dia pun memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Ada satu hal lain yang harus dia dapatkan selain bekal makanan. yakni, foto.
"Eh, Mat. jangan lupa bilangin si Bendum, buat bookingin tiket yang enak buat ke Jogja. jangan yang bikin punggung tegang,” kata Dalwi bercanda.
"Yeuuu lu kata kita pabis korup dana kampus bisa bayarin lu segitu? Ini aja buat baya pemateri masih kurang,” kata Rahmat.
"Becanda elahhh … gak asik amat,” kata Dalwi.
"Yaudah, gua pulang dulu. gua mau siap-siap,” kata Rahmat.
"Lah ... padahal yang siap-siap kayaknya gua dah. Kenapa jadi gua yang ditinggal?" kata Dalwi.
***
Rumah itu begitu ramai dengan suara televisi yang tengah menayangka siaran sinetron. Dalwi menggulirkan pandangannya menatap ibunya yang tengah memijat ayahnya sambil menonton tayangan televisi.
"Liat noh, Ba. Orangmah kayak itu, istrinye dibeliin anting, kalung, gelang, sama emas-emasan,” kata Ibunya Dalwi.
Dalwi mengamati tayangan yang ada di hadapannya dan benar saja di sana tengah menayangkan adegan yang menampilkan adegan ketika pemeran utama diberikan perhiasan oleh suaminya.
"Ya, kan gua juga pernah kasih bakal elu perhiasan,” kata ayahnya Dalwi.
"Yaelah, Ba. Mana perhiasan? Nyak kaga pernah tuh pake perhiasan-perhiasan,” kata Ibunya Dalwi.
"Lu ya bener-bener ... ngilang-ngilangin aja. Nah, itu emas yang gua kasih bakal mahar? Itu apaan ituuu?"
"Ah, Baba. Itu pan udah lu juga buat benerin angkot,” kata Ibunya Dalwi.
Dalwi mulai maju mundur ingin mengatakan keinginannya kepada kedua orang tuanya karena dia merasa kalau kedua orang tuanya sepertinya tidak memiliki uang.
"Nyak, Ba ..." panggil Dalwi. "Kaga usah berantem apa, perkara sinetron doang ajaan berantem." sambung Dalwi.
"Enyak lu nih, … ” kata Ayahnya Dalwi.
"Lah, kan Nyak cuma ngomong doangan,” kata Ibunya Dalwi.
"Ba, boleh kaga kalau Dalwi minta beli hape. Hape Dalwi ini udah rusak bener,” kata Dalwi.
Pada saat ini. Pikiran Dalwi tertuju pada saat dia menghancurkan ponselnya. Dia memang sudah selesai menghancurkan ponselnya dengan menjatuhkannya ketika membawa motor.
Dia memang sengaja melakukannya demi dibelikan ponsle baru oleh kedua orang tuanya. Dalwi tentulah sangat sadar dan sangat mengenal kedua orang tuanya yang sangat akan menolak kalau dirinya meminta ponsel padahal ponselnya masih bagus.
Jadi, inilah yang bisa dilakukannya. Merusak ponselnya dan berhrap kedua orang tuanya mau membelikannya ponsel. Katakanlah cara yang dilakukan Dalwi itu salah namun mau bagaimana lagi?
"Buset dah ... rusak kenpe? Perasaan tadi pagi masih bener-bener aja dah,” kata Ayahnya.
"Iya, lu rusakin yak?" tuduk ibunya.
"K-kagaaa ... orang tadi jatoh pas di motor,” kata Dalwi.
"Yaudah dibenerin aja di konter,” kata ayahnya.
Dalwi tidak sampai sana pikirannya. Dia hanya berpikir kalau ponselnya rusak maka dia akan mendapatkan ponsel yang baru. Dia tidak ingat kalau ponsel yang rusak masih bsia diperbaiki.
"Eh, kaga bisa Ba. Kalau bisa mah dari kemarin kali udah dibenerin,” kata Dalwi.
"Lah, katanya jatohnya tadi, kenapa mau benerinnya kemarin?" tanya ayahnya Dalwi.
"Perumpamaan Baaa ... perumpamaan, bahasa anak sekola itu,” kata Dalwi berbohong.
Mana ada perumpamaan seperti yang disebutukan oleh Dalwi? Dalwi tentulah hanya mengada-ada saja.
"Nggak sia-sia ye anak kite disekolahin,” kata Ibunya Dalwi bangga.
"Jadi, Nyak, Ba. Boleh kaga? Dua hari lagi Dalwi kudu muncak. Itu acara kampus Nyak Be. ada si Mamat juga kalau mau tau,” kata Dalwi.
Sudah dijelaskan bukan kalau kedua orang tua Dalwi memanglah sangat prcaya kepada Rahmat? Ya, ... seperti itulah, mereka memang menganggap Rahmat anak baik dan prestasinya banyak jadi kalau anaknya bergaul dengan Rahmat, mereka berharap anaknya tersebut menjadi seperti Rahmat.
Dalwi tentulah tidak memiliki prestasi. Prestasi biang onar memang ada, namun prestasi akademik nol besar.
"Coba liat henpon lu tong!" kata Ayahnya Dalwi.
Dalwi akhirnya mengeluarkan ponselnya dan membrithaukannya kepada ayahnya. Untung saja ponsel itu sudah rusak. Jadi, dia tidak bebrohong. kebohongannya hanya terletak pada alasan ponsle itu rusak.
"Nih, Be. Jelek banget kan?" kata Dalwi.
Ayahnya Dalwi langsung mengambil ponsel itu dari anaknya dan langsung mengamati ponsel tersebut, "Hadeh, Tong-Tong, henpon kok bisa sampe kayak gini." keluh ayahnya.
Dalwi hanya bisa menggaruk kepalanya begitu saja. Dia tidak mau lagi menjelaskan lebih jauh.
"Yaudah. gini aja. Lu besok muncak brapa hari? eh, ini mundak apaan dah?" tanya ayahnya Dalwi.
"Itu, Ba. Kegiatan naik gunung ramai-ramai." terang Dalwi.
"Ya ampun, Tong. lu mau naik gunung beneran?" tanya Ibunya Dalwi yang sangat geregetan dengan anaknya tersebut.
"Ya iyalah, Nak. Masa gunung-gunungan,” kata Dalwi.
Tuk!
Ayahnya Dalwi langsung menjitak kepala anaknya.
"Duh! Kenapa dijitak si, Ba?" tanya Dalwi.
"Pikiran lu Tong kotor bener,” kata Ayahnya Dalwi.
Dalwi memikirkan apa maksud oleh ayahnya tersebut. Namun, setelah memikirkan sesuatu selanjutnya dia menyadari sesuatu ayahnya salah paham.
"Ettt dah, Baba. Bukan gunung itu maksud Dalwi,” kata Dalwi mencoba menjelaskan.
"Terus gunung ape? Gunung ape?" tanya Ayahnya dalwi.
"Hus, berdua ngapain sih ngomongin gunung! Ngomongin gunung lagi gua cemplungin ke sumur ya padaan,” kata Ibunya Dalwi.
"Ettt, Nyak lu noh galak bener,” kata Ayanya Dalwi.
"Lah, istrinya Baba noh,” kata Dalwi.
Ibunya Dalwi yang mendengar percakapan yang tidak menyenangkan di telinga itu langsung menjewer telinga anak dan suaminya.
"Ehhh ... ampun, Nyak, ampun ..,” kata Dalwi dan ayahnya.
Ibunya Dalwi dulu memang anak silat, dan meski keliatannya remeh saja hanya dengan memegang telinga itu rasanya sangat sakit itulah mengapa mereka berdua bisa meringis seperti itu. Meringis yang sebenarnya. Tidak ada unsur kebohongan seperti menjewer anak kecil.
"Tong, di gunung itu banyak setannya,” kata Ibunya Dalwi.
"Yah, Nyak ... jangankan di gunung di sini juga ada,” kata ayahnya Dalwi.
"Mana, Ba?" tanya Dalwi.
"Lah, ini depan Baba,” kata Ayahnya Dalwi sambil menunjuk Dalwi dengan menggunakan matanya.
"Enak aja, anak gua dibilang setan,” kata Ibunya Dalwi.
"Nyak, Baba. Udah dulu dong, kita ngomong serius dulu. Kan Dalwi mau muncak jadi Dalwi butuh hape baru. Dan Nyak tenang aja, apa yang diomongin Baba bener. Di mana pun emang ada setannya, Nyak. Tapikan kita udah ngaji. Jadi kita ngajiin dikit nanti pasti pergi,” kata Dalwi.
"Gimana, Ba?" tanya Ibunya Dalwi menanyakan hal tersbeut kepada ayahnya Dalwi.
"Kalo dia nggak macem-macem selama di sono dan mau banyakin dzikir, kaga papa. Baba izinin, lagian itu kegiatan kampus kan? Sama si Mamat?" tanya Ayanya Dalwi.
Dalwi langsung menganggukkan kepalanya dengan sangat antusias.
"Bener, Ba. Apa yang Baba bilang itu bener,” kata Dalwi dengan semangat empat lima yang mengembara di d**a.
"Nah, yaudah. Lagian kesian kayaknya nih anak butuh liburan. Dari pada di sini mulu yang ada makin kesurupan,” kata Ayahnya Dalwi.
"Babaaa ..." protes Dalwi. "Yaduah jadi hapenya gimana?" tanya Dalwi.
"Gini aja. lu tinggal aja hapenya di rumah, ntar pokoknya Baba benerin. Nanti Baba usahain udah jadi pas lu pulang lagi,” kata Ayahnya Dalwi.
"Ah, Baba. Kan di sono nanti ada sesi foto. Trus kalo mau nelepon Nyak sama Baba gimana kalo nggak ada henpon?" tanya Dalwi.
"Yaelah kayak pernah nelpon Nyak sama Babanya aja,” kata Ayahnya Dalwi.
"Ya nelpon lah, Ba,” kata Dalwi.
"Kapan?" tanya Ayahnya Dalwi.
Dalwi hanya diam sebab dia tidak tahu kapannya. karena memang pada kenyataannya dia tidak pernah menghubungi kedua orang tuanya tersebut terlebih dahulu.
"Kan gak pernah kan?" tanya Ayahnya Dalwi.
"Kan ini jauh, Ba. Kalo biasanya kan pergi cuma ke kampus ajaaa ..,” kata Dalwi.
"Udah lu pinjem si Mamat atau temen-temen lu yang lain aja. Hapenya tetap Baba yang pegang. Biar Baba benerin. Lagian ya Tong, Baba sama Nyak lu ini bukan bos yang ongkang-ongkang kaki doang dapet duit. Kaga bisa tuh langsung beliin lu hape pas lu minta. Kalau harga hapenya seratus dua ratus ribu sih Baba jabanin,” kata Ayahnya Dalwi.
Dalwi kini mengerti kalau percakapan dengan kedua orang tuanya memanglah hanya cukup sampai di sana. Karena meski dilanjutkan tidak akan pernah mendapatkan jawaban.