Kisah Pendakian Terakhir

BAB 3

Pada hari itu juga, seorang ustaz pun di datangkan ke rumah Dalwi dan ternyata setelah ustaz memegangi tubuh Dalwi, beliau melihat kalau Dalwi bukan menderita sakit biasa. Sakit yang ia derita bukanlah sakit biasa, menurut pengakuan dari orang yang mengobati dirinya, ia ‘ketempelan’ hantu.

Untungnya, setelah dibacakan ayat suci oleh Ustaz tersebut, akhirnya keesokkan harinya Dalwi sembuh dan bisa kembali beraktivitas normal.

“Udah masuk lu, Gel?” tanya Bowo.

“Udah lah.” Kata Dalwi dengan senang hati.

“Nah, gitu dong masuk. Kan bisa ngerjain proker lagi. Bantu-bantu bikin property.” Kata Rahmat.

“Anjir, Wo. Liatin temen lu. Kaga ada simpati-simpatinya heran sama gua. Pantesan gak punya temen.” Kata Dalwi.

Bowo hanya terkekeh begitu juga dengan Rahmat. Rahmat memang bercanda, tidak benar-benar ingin mengatakan hal tersebut, hanya bergurau saja.

“Tapi nanti emang ada rapat sih.” Kata Bowo.

“Gua nggak mau ikut ah. Gua mau ke warkop aja nongkrong ama anak futsal.” Kata Dalwi.

“Yah, jangan gitu dong, Gel. Acara bentar lagi nih, tapi proposal belum ada satupun yang tembus, baru wardih aja. Wardih juga kasihnya beberapa set produk kecantikan dia bukan duit.” Kata Rahmat.

“Tuhkan, tuhkan, ini nih yang gua malesin, setiap hari ngomongin proker mulu. Orangmah udah tau suntuk ya cari hiburan gitu.” Kata Dalwi.

“Hiburan? Kayaknya gak mungkin deh. Gua abis dapet teguran dari prodi.” Kata Rahmat.

“Eh, serius lu? Tumben dapet teguran. Teguran kenapa?” tanya Dalwi. Bowo menatap Rahmat penuh minat.

“Iya katanya, acara gua semuanya percuma diadain karena yang datang dari anak-anak prodi kita sedikit. Kita kebanyakan ngundang orang dari luar sampe gak bisa gaet temen-temen kita sendiri.” Kata Rahmat.

“Temen-temen kita perasaan pada ikut dah.” Jawab Dalwi.

“Lah, itu temen nongkrong lu emang ada yang ikut?” tanya Rahmat.

“Kaga.” Kata Dalwi sambil nyengir lebar.

“Nah, itu. Temen-temen lu sebenernya yang bikin proker gua dicap gagal.” Kata Rahmat.

“Makanya, Mat. Orangmah lu deketin tuh temen-temen kita yang ada di warkop. Orangnya asik-asik lagi kalau lu mau tau.” Kata Dalwi.

Dalwi memang tidak berbohong, teman-teman tongkrongannya memang baik bahkan solidaritasnya peril diacungi jempol. Bahkan, kalau boleh dibandingkan, solidaritas anak-anak yang ikut adalam oraganisasi himpunan mahasiswa yang digeluti oleh Rahmat dan kawan-kawan sangatlah kalah jauh dengan rasa solidaritas anak-anak futsal yang hobinya nongkrong di warung kopi depan.

Semua orang mengetahui kalau selama ini ada kesenjangan antara anak-anak yang aktif dalam organisasi dengan anak-anak yang sering nongkrong. Hal itu sebenarnya terjadi karena kakak-kakak senior mereka yang terlihat sebuah masalah.

Sebenarnya masalahnya hanya satu, ketidakadilan yang membuat salah satu pihak merasa cemburu karena terus dianaktirikan. Namun, nantilah pembahasan itu akan dijelaskan pada beberapa part selanjutnya.

“Gimana cara deketinnya, Gel? Gua aja udah pernah coba nongkrong di situ. Tapi obrolan kita emang gak nyambung.” Kata Rahmat.

“Lu liat lah gua. Gua mana aja nyambung tuh. Gua kasih tau kuncinya ya. Kalau lu mau diterima di suatu kelompok, lu tuh harus bisa ngambil hatinya. Jangan kayak gini. Kalo lu aja ogah deket-deket sama mereka. Mereka juga kaga bakalan mau lagi deket-deke sama lu.” Kata Dalwi.

Sebuah penjelasan yang masuk akal dan dikemas dengan menggunakan Bahasa berdialek Betawi khas Dalwi. Rahmat terdiam dan mencoba mencerna kata-kata yang dikatakan oleh Dalwi.

“Tumben lu, Gel. Bisa bener juga.” Kata Bowo yang berada di samping Rahmat sambil terkekeh.

“Anjir, ya iyalah, gua nih sebenernya pinter. Cuma gua kadang suka pura-pura oon aja.” Kaya Dalwi.

“Gaya bener lu.” Kata Rahmat.

“Lah, kan bener.” Kata Dalwi.

“Gua mau sih deketin anak warkop. Tapi gimana ya gua nggak ngerti caranya.” Kata Rahmat.

“Bantuin tuh, Gel. Lu kan deket sama anak-anak warkop.” Kata Bowo.

“a***y kenapa jadi gua.” Kata Dalwi.

“Kan lu yang deket ama mereka panjul.” Kata Rahmat

Dalwi menghela napas sebentar. Lalu seketika dia teringat akan sesuatu. Ia berpikir sejenak. Ia teringat kalau hari rabu besok anak-anak warkop akan naik Gunung, ia pun berniat untuk memberitahukan hal itu kepada Rahmat dan Bowo.

“Rabu besok anak-anak warkop mau muncak. Kalo lu pada mau ikut, ikut aja. Kali aja bisa deketin anak-anak warkop.” Kata Dalwi.

“Serius lu?” tanya Rahmat.

“Ya kayaknya si begitu. Coba aja sono lu ngomong sendiri kalo nggak percaya.” Kata Dalwi.

“Iya, iya. Gua percaya.” Kata Rahmat.

“Nah, lu kan yang kenal, Gel. Lu aja yang bilang.” Kata Bowo.

“Nah, kalo gua yang bilang, bayarin gua ongkos muncak ya?” kata Dalwi.

“Anjir.” Kata Rahmat dan Bowo bersamaan.

“Ya kalo nggak mau juga kaga papa. Gua sih udah bilang Bang Opung mau ikut.” Kata Dalwi.

Bang Opung adalah seorang senior yang dituakan di wakop dan di grup futsal jurusan mereka karena selain senior yang tidak lulus-lulus, dia juga memiliki banyak kenalan sehingga banyak orang yang tidak berani untuk melawannya.

“Yaudah, ayo deh gakpapa.” Kata Rahmat.

“Yaudah, kita ikut aja bertiga.” Kata Dalwi.

“Yaudah, ide bagus tuh. Sekarang kita ketemu dulu kali ya sama Bang Opungnya?” kata Rahmat.

“Nah, itu ide bagus. Ayo, dah, kita ke warkop.” Kata Dalwi.

Mereka pun langsung berjalan ke arah warkop karena dia merasa tidak mau menyia-nyiakan waktu mereka. Dalwi pun kini merasa senang karena dia bisa muncak tanpa mengeluarkan uang. Apalagi yang lebih indah dari sesuatu yang sifatnya gratisan bukan?

Bowo tak sengaja melihat jam yang ada di pergelangan tangannya. Lalu terkejut.

“Eh, gua lupa kalau gua ada matkul. Kayaknya gua gak bisa ikut ke warkop dah. Gua nitip nama aja gimana, Mat, Gel?” kata Bowo yang teringat dirinya tidak bisa ambil absen lagi karena absennya sudah terlalu banyak dan sekali saja dia absen atau tidak masuk kelas, dia tidak akan bisa ikut ujian tengah semester bahkan UAS.

“Yeu, gimana sih lu. Yaudah sana dah.” Kata Dalwi.

Bowo langsung terkekeh.

“Yaudah sono lu.” Kata Rahmat.

“Oke, gua cabut duluan ya. Salam buat Bang Opung.” Kata Bowo.

Lalu Bowo pun kembali ke kampus dan mulai menuju kelasnya untuk mengikuti pelajaran. Sedangkan, Dalwi dan Rahmat langsung berjalan kaki menuju warung kopi tempat anak-anak futsal nongkrong.

“Woi, Bang!” seru Dalwi yang menyapa Bang Opung yang kebetulan sedang ada di dalam warkop tersebut dengan senang hati.

“Kemana aja lu baru keliatan?” kata Bang Opung.

Dalwi dan Bang Opung pun langsung bertosan ala pria dan begitu juga dengan Rahmat, namun yang difokusi oleh Bang Opung adalah Dalwi. Dalwi tahu kalau Bang Opung juga sebenarnya malas kepada Rahmat karena kakak kelasnya itu tahu kalau Rahmat adalah ketua himpunan.

“Iya nih, gua ketempelan kemaren jadi sakit.” Kata Dalwi sambil terkekeh.

“Lah, mau aja tuh makluk nempelin lu. Manusia aja ogah.” Kata Bang Opung sambil tertawa.

“Adalah, itu buktinya gua ampe sakit dikekepin.” Kata Dalwi.

“Anjir, ada-ada aja lu.” Kata Bang Opung.

“Bang, Rabu jadi muncak?” tanya Dalwi.

“Jadilah, lu jadi ikut?” tanya Bang Opung.

“Jadi, Bang. Ini temen gua mau ikut juga kaga papa kan ya, Bang?” tanya Dalwi.