BAB 6

1605 Words
Sepanjang malam Dalwi tidur tidak nyenyak mungkin karena merasa bersalah sudah mencuri uang dari ibunya atau justru karena rasa merinding yang datang dan pergi begitu saja? Entahlah. Baru kali ini rasa tak nyaman singgah tak kunjung pergi. Dalwi bahkan heran kenapa tadi terasa ada yang memegang kaki dan menarik selimut seakan-akan tidak mengizinkan perbuatan panjang tangan Dalwi dilakukan. Keesokan harinya, Dalwi bangun dengan tubuh yang terasa pegal semua. “Duh, nape badan pegel semua, nih? Gua kualat kali, yak?! Dah, gua cepet-cepet mandi aja, langsung cabut!” ujar Dalwi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya berusaha menenangkan diri sendiri dan menganggap hal itu hanya kebetulan semata. Padahal semua yang terjadi dalam kehidupan manusia bukankah sebuah hal yang berkesinambungan dengan kejadian yang sebelumnya? Dalwi bertugas bangun dari tempat tidur, menata kasurnya yang biasanya berantakan, lalu menuju kamar mandi untuk mandi terlebih dahulu dengan cepat. Tentu saja semua dilakukan tergesa-gesa karena pria itu takut ketahuan mencuri uang ibunya. Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, dia siap untuk pergi. “Nyak, Ba, aye cabut dulu, yak! Mau berangkat, salim dulu biar afdol.” Dalwi pun mencium punggung tangan kedua orang tuanya bergantian. Meski di dalam hati terasa tidak nyaman karena uang yang diambil secara diam-diam demi mendapatkan ponsel terbaru. “Iye, Tong. Ati-ati di jalan. Jangan meleng kalau jalan, ntar nyemplung empang,” celetuk ayahnya Dalwi yang belum tahu sama sekali putranya justru mencuri uang demi kredit handphone. “Iye, Ba, Nyak. Dah, dulu, ye.” “Iye, Tong.” “Wassalamualaikum.” “Wa’ailaikumssalam,” jawab Nyak dan Baba bersamaan. “Nyak, Be, maafin aye, ya. Aye terpaksa ambil ituh duit. Aye pingin punya ponsel kamera bening macam punya Dul. Maafin aye,” batin Dalwi sambil berlalu pergi meninggalkan rumah dengan sejuta rasa bersalah dalam hati. “Balik .... Balikin ....” Suara lirih entah dari mana terdengar lagi. Seolah-olah mengisyaratkan untuk Dalwi mengembalikan uang. “Busyet, dah! Ini jurig ngapa ganggu mulu? Udah, diem! Gua juga butuh ini duit buat beli ponsel!” Dalwi menggerutu sambil berjalan terus menuju konter handphone untuk bertemu Dul. Dalwi dan Dul sudah membuat janji terlebih dahulu untuk kredit handphone. “Lah, datang beneran lu!” Dul heran uang dari mana yang Dalwi bawa. “Ya beneran, lah! Gua kalau ngomong nggak ngibul! Ini duit DP nya lima ratus ribu, kan?” Dalwi mengeluarkan uang itu dari dalam kantong celananya. “Eh, beneran. Lu dapat duit dari mana? Duit gede gini langsung dapet dalam waktu semalam. Nyuri duit ya, lu?” Dul masih memberondong Dalwi dengan banyak pertanyaan karena merasa penasaran. “Dah, Bang nggak usah tanya mulu. Buruan ini mana handphonenya?” Dalwi tidak mau membahas hal itu karena takut ketahuan sudah mencuri uang dari ibunya. “Nih, sama persis punya gua.” Dul menyodorkan handphone yang masih berada di dalam dusbook kepada Dalwi setelah mengisi data kredit ponsel dan menyerahkan uang muka terlebih dahulu. Senyum mengembang terlihat jelas dari Dalwi yang akhirnya mendapatkan ponsel impian dan bisa dibawa saat mendaki gunung untuk berfoto bersama teman-teman dan memfoto pemandangan. “Sip banget! Ini yang gua pingin!” “Tong, elu dapet duit dari mana, sih? Gua jadi penasaran. Emangnya Enyak Babe lu kasih gitu aja duit segitu?” “Bukan urusan lu, Bang! Pokoknya sekarang gua dapat ini handphone.” Dalwi tidak mau membicarakan hal itu dan langsung membuka ponsel lamanya untuk memindahkan simcard ke ponsel baru. “Ati-ati, ntar kualat lu! Nggak berkah kalau duit nyuri, mah!” Dul masih saja memperingatkan Dalwi. Namun diabaikan begitu saja oleh Dalwi. Setelah selesai memindahkan simcard ke ponsel baru, Dalwi segera berpamitan kepada Dul. “Dah, gua pamit dulu, ye. Gua mau ke Stasiun Senen. Terima kasih, Bang Dul!” Dul hanya terdiam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya merasa heran. Kalau benar uang itu Dalwi dapat dari mengambil tanpa memberitahu orang tuanya terlebih dahulu pasti nanti akan terjadi masalah. Padahal orang tua tidak mengizinkan untuk membeli sesuatu bukan karena tidak peduli melainkan karena memang terkadang permintaan anak tidak sesuai dengan kebutuhan, melainkan hanya keinginan semata. Saat perjalanan menuju Stasiun Senen, tiba-tiba ponsel baru milik Dalwi berdering. Dalwi belum hafal dengan nada dering ponsel baru tersebut. Sesaat Dalwi mengabaikan, tetapi akhirnya sadar itu nada dering ponselnya. Segera diangkat panggilan telepon itu. “Hallo?” “Hola halu gundulmu! Tong, lu tahu duit Nyak lima ratus ribu ilang? Lu ambil, ya?!” “Lah, Nyak nuduh aye?” “Bukan nuduh tapi emang elu yang ambil, kan? Dul habis telepon tanya soal duit elu pake buat uang muka hape. Lu ini, ya, Tong, kebangetan! Busyet, dah! Duit Nyak malah lu colong! Kagak takut kualat lu, Tong?!” Dalwi tidak bisa mengelak karena memang dia yang mengambil uang tersebut dari ibunya. Mau bagaimana lagi tidak bisa dihindari untuk mendengar ceramah serta makian dari ibunya melalui ponsel. Dalwi lebih baik tidak banyak bicara dan mengiyakan saja apa yang dikatakan oleh ibunya agar permasalahan tidak semakin panjang. Tak lupa, dia juga minta maaf meski tahu tidak akan dimaafkan. “Maafin aye, Nyak. Aye khilaf.” “Khilaf, khilaf, apaan khilaf?! Lu kebangetan! Itu duit mau buat beliin pesenan orang!” “Maafin aye, Nyak.” “Kualat lu, Tong! Nyak sumpahin elu ketemu genderuwo!” “Iye, Nyak. Iye, maaf.” “Iye, iye aja! Dasar lu, Tong! Kebangetan!” “Iye, Nyak. Udah dulu, Nyak. Aye udah sampai ini di Stasiun Senen.” “Dasar anak nggak tahu diuntung, lu, Tong!” Dalwi menutup panggilan telepon dari ibunya daripada makin runyam. Apalagi saat ini sudah sampai di Stasiun Senen untuk bertemu dengan teman-temannya yang sudah janjian naik gunung bersama. Dalwi mencoba menenangkan diri dan melupakan sejenak permasalahan yang terjadi karena uang muka ponsel itu. “Dasar Dul cepu! Kalau nggak cepu, paling Nyak belum tahu duitnya ilang.” Dalwi menggerutu panjang perjalanan hingga akhirnya sampai di Stasiun Senen dan bertemu dengan teman-temannya. “Nah, ntu Degel udah nongol!” celetuk Opung sambil menunjuk ke arah Dalwi yang datang sendirian. “Eh, iya. Untung udah beli tiket duluan, sekarang rame banget ini.” Putri tidak sabar menunggu sejak tadi. Mereka sudah lengkap karena Degel yang terakhir ditunggu. “Sori, gua tadi mampir ke sodara dulu, baru ke sini,” ucap Dalwi beralasan. “Ya udah, buruan ayo naik kereta. Gua udah beli tiket duluan, jadi lu tinggal ganti aja,” ujar Rahmat yang terlihat tidak sabaran juga. “Iye, iye, terima kasih. Berape duit? Ini gua ganti.” Dalwi tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal karena malu dengan yang lain. “Dah, ayo, cabut! Gua udah bosen berdiri mulu.” Kodel lanjut berjalan bersama Ririn sedangkan Opung, Rahmat, Putri, dan Dalwi mengikuti di belakang. Mereka pun masuk ke dalam kereta sesuai dengan nomor bangku dan gerbong yang tertulis di tiket. Saat hendak masuk ke dalam kereta, Dalwi tidak sengaja melihat seorang wanita berwajah pucat yang menatap dengan misterius ke arahnya tanpa berkedip sama sekali. Dalwi tidak merasa ada yang aneh dan tetap melanjutkan langkah kaki masuk ke dalam kereta. Namun tiba-tiba terdengar suara yang berbisik, “Balik. Dalwi ... Balik ... Jangan pergi. Balik ....” Dalwi langsung menengok ke kanan dan ke kiri mencari dari mana asal suara itu, tetapi tidak ketemu. “Ngapa lu?” tanya Opung yang nantinya satu tempat duduk dengan Dalwi. “Eh, nggak apa, Bang. Cuma rasanya ada yang aneh aja.” “Nggak apa kalau namanya pengalaman pertama emang gitu. Ntar gua yang pimpin jadi pasti aman. Gua udah apal rutenya!” Opung mencoba menenangkan Dalwi yang sejak tadi terlihat tidak nyaman. Mereka pun duduk di kursi masing-masing. Dalwi di samping Opung merasa ada yang tidak beres. Mulai dari kejadian tadi malam, hingga saat ini duduk di kereta pun rasanya ada yang mengganjal. “Pertanda apa, nih? Gua jadi makin bingung,” batin Dalwi. Saat duduk dan kereta belum berangkat, semua orang sibuk berbicara satu sama lain. Namun di telinga Dalwi, ada hal yang tak beres karena lagi-lagi suara bisikan itu terdengar jelas. “Balik. Jangan pergi. Pulang ....” Dalwi makin bertanya-tanya dan mencoba melihat ke sekeliling. Terkejut saat Dalwi menatap ada wanita berwajah pucat yang tadi berpapasan sebelum naik ke dalam kereta. “I-itu ... Pasti bukan orang,” gumam Dalwi yang mulai sadar wanita itu bukan manusia. Saat Dalwi menoleh ke jendela kereta, ada kakek tua berwajah pucat yang menggelengkan kepalanya seolah memberikan isyarat untuk tidak melanjutkan perjalanan seperti dengan suara bisikan yang sejak tadi terdengar. Wajah kakek tua itu tidak memperlihatkan ekspresi apapun tetapi sangat pucat dan Dalwi tahu kalau itu bukan manusia. “Eh, lu napa? Busyet, dah, dari tadi macam orang bengong Mulu,” kata Opung menepuk pundak Dalwi membuat terkejut. “Ah? Nggak apa, kok. Gua cuma salah lihat doang.” Dalwi berpura-pura tidak melihat apa-apa agar teman-temannya tidak takut. “Iya, tuh! Ngapain dari tadi bengong macam pong pong -an aja, lu! Lupa bawa apa? Atau lu mau boker?!” celetuk Kodel sambil tertawa menganggap bercanda apa yang dialami Dalwi. “Kagak! Dah, gua nggak apa. Habis ini kereta juga jalan, kan?” Dalwi menutupi semua yang dia dengar dan lihat agar pendakian ini berhasil dilakukan. Kalau dia bilang lebih dahulu, takutnya tidak jadi mendaki karena ada dua wanita juga pasti takut. “Ya udah, Degel nggak apa, kok. Paling dia cuma capek,” kata Ririn membuat yang lain manggut-manggut saja. Saat itu Kodel duduk dengan Ririn dan berhadapan dengan Putri dan Rahmat. Sedangkan Opung duduk dengan Dalwi setelah kursi mereka berempat. Kodel masih saja curi-curi waktu memandang Putri sambil senyam-senyum tebar pesona buat wanita itu klepek-klepek. Dalam otak Kodel ada niat buruk tersimpan. Kereta pun melaju. Mereka berenam semakin antusias untuk mendaki gunung. Iya, Cuma berenam karena ada pantangan mendaki gunung dengan jumlah ganjil, bukan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD