BAB 7

2317 Words
Sepanjang perjalanan rasa aneh dan mengganjal semakin menyiksa hati Dalwi. “Napa perasaan gua jadi campur aduk macam gado-gado, yak? Apa karena gua udah nyuri duit Nyak? Atau karena lihat penampakan tadi? Gua jadi nggak yakin mau naik gunung. Tapi kalau bilang ke temen lain, pasti pada nggak mau lanjut,” batin Dalwi sambil menatap kaca jendela kereta api karena merasa bimbang dengan perasaan sendiri dan semua hal yang terasa aneh terjadi. Dalwi ini duduk sebelah Bang Opung dan di dekat jendela. Dalwi sama sekali belum buka handphone karena memang tidak ada perlu, jadi mereka berbincang saja tentang banyak hal. “Degel, tadi lu telat mampir mana dulu?” tanya Bang Opung yang sedang mengeluarkan permen rasa mint dari kantong. “Oh, tadi ketemu Bang Dul, terus baru ke sini. Sorry, Bang. Tadi udah pada nunggu gua, ya?” “Kalau nunggu, sih, semua nunggu. Cuma tadi gua perhatiin, lu, kok, mikir ape gitu. Atau perasaan gua aja? Biasanya kalau orang mau naik gunung punya firasat buruk, mending skip aja, nggak jadi naik daripada ada hal-hal buruk yang kejadian,” ujar Bang Opung seolah-olah tahu kalau Dalwi memang mendapatkan firasat buruk. “Bang, emangnya ada gitu cerita soal firasat buruk sebelum mendaki gunung?” Dalwi mencoba mengalihkan pembicaraan sambil mengulur waktu agar segera sampai ke tujuan. “Lah, ada! Makanya gua tanya sama lu. Misal lu ngrasa aneh atau apa gitu, mending nggak usah jadi muncak. Jadi gini, dulu ada cerita orang muncak harusnya delapan orang, tapi yang tiga nggak jadi berangkat karena udah firasat buruk, tuh. Akhirnya yang lima orang tetep berangkat muncak. Tahu nggak endingnya gimana?” Bang Opung bicara dengan nada serius sambil menatap Dalwi. “Gimana endingnya, Bang? Gua nggak tahu. Belum denger cerita begituan,” jawab Dalwi yang makin penasaran. “Ilang semua. Lima orang itu ilang dan sampai sekarang belum ketemu. Tiga orang yang nggak jadi muncak itu selamat soalnya nggak abai sama firasat buruk. Sedangkan yang lima itu ilang karena nekat muncak. Serem, kan?” “Hih, serem, Bang. Nape juga cerita beginian padahal mau naik gunung. Gua aja merinding takut. Ntar pada batal muncak, gimana?” ujar pria itu sambil minta permen dari Bang Opung. “Kalau nggak jadi, ya, balik, lah. Gimana sih, lu? Bercanda ... Bikin santai aja. Kalau cerita orang ilang, emang ada. Makanya kalau naik gunung nggak boleh ganjil jumlahnya.” Bang Opung memang sudah pro sama gunung yang dituju, jadi dia merasa aman saja untuk mendaki karena tidak ada firasat buruk juga. “He he ... Iya, Bang.” Dalwi pun beringsut tidak jadi mengutarakan rasa aneh di hati sejak kemarin dan mengubur perasaan tak nyaman itu dalam-dalam. Mungkin rasa tak nyaman itu karena mencuri uang ibunya, bukan karena mau naik gunung. Mereka pun memutuskan untuk tidur setelah lelah berbincang. Perjalanan sembilan jam lebih lima puluh dua menit cukup lama untuk berbicara terus menerus. Saat terlelap, Dalwi mengalami mimpi buruk secara singkat. Seolah-olah semesta sudah memperingatkan berkali-kali agar Dalwi tidak berangkat naik gunung, tetapi pria itu mengabaikan begitu saja. “Huh, huh, huh, sial! Ini gua di mana? Mimpi atau nyata? Kenapa jadi serem gini?” ujar Dalwi terengah-engah mencoba mengatur kembali pernafasan setelah berlari cukup jauh seperti di daerah yang penuh semak belukar. “Pulang ....” “Balik ....” “Jangan naik ....” Suara bisikan wanita itu makin terasa nyata di telinga. Seolah-olah mengejar Dalwi. Dia pun berlari lagi dan menerobos semak belukar hingga terluka di bagian tangan dan wajah. Dalwi masih terengah-engah, tetapi tidak ada waktu untuk berhenti karena suara itu memburu terus menerus. Seketika tubuh Dalwi terlempar dan terjatuh dari ketinggian. Rasanya semua nyata, tetapi beberapa saat kemudian .... “Bangun, Degel! Woi! Bangun!” kata Bang Opung sambil menggoyangkan bahu Dalwi yang terlihat penuh peluh di dahi akibat mimpi buruk. “Hah?! Huh ... cuma mimpi ....” Dalwi langsung bangun dan menyeka keringat dingin yang menetes di dahi hingga seluruh tubuhnya. “Mimpi apa, lu, Degel?” tanya Bang Opung khawatir. “Heran aja siang bolong mimpi dikejar jurig. Untung aja dibangunin lu, Bang!” “Dah, udah. Sekarang siap-siap. Ini udah mau sampai di Stasiun Purwosari. Lu nggak usah banyak pikiran. Santai aja mau naik gunung. Tenang, ada gua,” ujar Bang Opung mencoba untuk memenangkan Dalwi agar tidak banyak pikiran. “Hmm, iye, Bang. Gua juga heran kenapa mimpi buruk.” “Nggak usah bilang yang lain. Gua nggak mau anak-anak lain panik ngira ada apa’an. Oke?” Bang Opung jelas saja tidak mau pendakian dibatalkan begitu saja “Siap, Bang!” sahut Dalwi dengan semangat. Ya kali dia mau pendakian dihentikan atau tidak jadi padahal sudah mencuri uang ibunya demi bisa bawa ponsel keluaran terbaru. Kereta api pun berhenti di Stasiun Purwosari. Dalwi, Opung, Rahmat, Putri, Kogel, dan Ririn pun turun bersamaan. Ririn terlihat cemberut sejak tadi karena terpaksa ikut mendaki gunung karena Kogel yang ajak. Putri sebenarnya juga terpaksa ikut, tetapi masih mau berbicara dengan yang lain tanpa terlihat bad mood. “Jalan-jalan, dulu, yuk!” seru Putri sambil tersenyum manis. “Ya, ayok!” sahut lainnya bersamaan. Mereka pun berjalan-jalan di sekitar stasiun untuk melihat-lihat apa saja yang ada di sekitar sana. Saat itu pun Dalwi baru mengeluarkan ponsel barunya untuk digunakan berfoto selfie. Barulah teman-temannya mengetahui kalau Dalwi memiliki ponsel baru yang dilengkapi kamera canggih karena keluaran terbaru. “Eh, cie, hape baru, nih!” celetuk Rahmat yang mengamati ponsel di tangan Dalwi. “He he ... Iya, nih. Baru, fresh from the konter!” sahut Dalwi sambil tersenyum senang bisa memamerkan ponsel barunya. “Wah, merk Ipon tiga belas, tuh! Ciee mantap banget, Degel!” sindir Kogel yang bercanda sambil menggoda Dalwi. “Bening, loh, kameranya! Boleh pinjem, nggak?” tanya Putri yang langsung melihat ponselnya Dalwi. “Boleh, nih. Gua sengaja reyen ponsel baru gini buat foto-foto sama lu lu pada,” ujar Dalwi dengan senyum senang dan bangga. Teman-teman Dalwi pun bergantian untuk meminjam ponsel itu dan berfoto. Ada rasa bangga dan kebahagiaan tersendiri bagi Dalwi bisa membawa ponsel baru dan teman-temannya langsung bergantian meminjam untuk berfoto. Dalwi sampai lupa kalau itu ponsel hasil mencuri dan membuat ibunya marah. Saat berfoto-foto ria, Dalwi melihat kembali kakek berwajah pucat yang tadi ada di Stasiun Senen. Kakek itu lagi-lagi menggelengkan kepalanya seolah mengisyaratkan untuk tidak melanjutkan perjalanan. “Busyet, dah! Tuh, jurig napa masih nongol? Salah ape gua? Heran banget,” gumam Dalwi sambil mencoba memalingkan wajahnya untuk tidak melihat lagi ke arah kakek yang jelas bukan manusia. Makin lama rasanya seram juga kenapa Dalwi yang dilihatkan makhluk gaib sedangkan temannya yang lain terlihat biasa saja dan sama sekali tidak mengetahui adanya kakek itu. Dalwi memilih tidak melihat ke arah kakek itu lagi dan berpura-pura tidak melihat agar tidak terus-menerus diikuti. Dalwi mengabaikan begitu saja semua pertanda buruk yang ada. Setelah puas berfoto-foto selfi ria, mereka pun melanjutkan perjalanan menuju ke Simpang Klaten. “Nih, terus mau naik apa? Gua capek. Mana panas pula,” gerutu Ririn yang mulai lelah. “Habis ini naik bis arah Boyolali. Bentar lagi sampai, kok, tenang aje!” jawab Bang Opung yang masih sabar hadapi Ririn yang terlihat tak suka dengan perjalanan ini. “Sabar, ya, Sayang. Jangan marah mulu, ntar bibir lu manyun macam ikan koi,” sindir Kogel yang bukannya membuat Ririn tenang, malah justru makin kesal. “Ih, apa’an, sih?! Nyebelin amat! Dah, lah, gua males ama lu!” Ririn makin kesal dengan pacarnya yang tidak tahu situasi dan tidak pintar menenangkan perasaan. Mereka pun dapat bus untuk menuju ke Boyolali. Untung saja saat itu bus tidak begitu penuh dan mereka bisa duduk di kursi masing-masing. Saat berada di dalam bus, kernet meminta uang ongkos sambil bertanya. Maklum, mungkin karena terlihat jelas rombongan Dalwi dari kota besar. “Mau ke mana, Mbak, Mas?” tanya kernet bus sambil meminta ongkos. “Turun di RSUD Pandaran Surowedanan, Pak,” jawab Opung sambil memberikan uang ongkos bus yang sudah dikumpulkan bersama tadi sebelum naik bus. “Mau ke mana, Mas?” tanya seorang penumpang yang sejak tadi menatap Dalwi dan kawan-kawan dengan heran. “Mau muncak, Pak. Baik Gunung Merbabu,” sahut Dalwi sambil senyam-senyum sendiri. “Lah, mau ke sana? Kalau ke sana hati-hati, Mas, Mbak. Apalagi kalian dari kota lain.” “Lah, emang nape, Pak kalau dari kota lain? Emang orang Jakarta kagak boleh naik gunung Merbabu?” celetuk Kogel yang berasa agak ngegas karena tidak suka dengan petuah-petuah yang dianggap terlalu tahayul atau mengada-ada. “Boleh, Mas. Tapi alangkah baiknya ada orang lokal juga yang ikut. Lagi pula di sana utamakan kesopanan. Kalau bingung naik, bisa minta bantuan orang sekitar. Terus di sana juga jaga ucapan, Mas, Mbak,” ujar bapak-bapak yang tiba-tiba saja jadi ceramah. Kogel merasa kesal karena dikira tidak bisa jaga diri. Sedangkan Putri malah mengira hal lain. “Halah, nggak usah didenger. Paling, tuh, bapak mau minta duit buat jadi petunjuk jalan. Biarin aja, nyebelin banget,” gerutu Putri pada Rahmat dan Kogel sedangkan Ririn hanya diam karena sudah bad mood lebih dulu. “Bukannya gimana-gimana, Mas, Mbak. Itu udah jelas aura temennya gelap. Sepertinya Mas udah dapat petunjuk, ya? Petunjuk kalau tidak boleh mendaki gunung?” Bapak itu menatap ke arah Dalwi membuat Dalwi jadi gugup dan menelan ludah. Bagaimana bisa bapak itu tahu apa yang Dalwi alami? Apakah memang ini pertanda buruk kalau mereka lanjutkan untuk mendaki bukit? “Emm ....” Belum sempat Dalwi menjawab atau memberikan alasan, Bang Opung langsung menjawab. “Pak, mohon maaf, ya. Kami memang dari Jakarta, tapi kami bisa jaga sopan santun. Gua juga sering mendaki gunung, jadi sudah paham rutenya juga. Tenang saja, Pak. Doanya saja yang baik,” ujar Bang Opung menahan emosi. Kenapa itu bapak kesannya menakut-nakuti saja. “Baiklah kalau begitu, Mas. Hati-hati di jalan.” Akhirnya bapak itu pun berhenti meyakinkan untuk menghentikan perjalanan. Dalwi dan kawan-kawan tetap bersikukuh naik gunung, kecuali si Ririn yang sudah bad mood. Mereka pun akhirnya turun di RSUD Pandaran Surowedanan. Lalu setelah itu, mereka masih naik bus kecil menuju ke Pasar Selo. “Lah, masih naik bus lagi?” keluh Ririn yang sudah tidak berniat lanjut. “Bentar lagi sampai, Sayang. Jangan manja gini, dong,” ucap Kogel sambil merangkul Ririn tanpa rasa malu di hadapan banyak orang dalam bis kecil itu. “Jauh banget. Nanti keburu malem, loh.” “Tenang aja, ntar malem juga nggak apa. Kan, ada gua, Sayang. Kenapa, sih, ngambek mulu?” “Hmm, kesel aja.” “Jangan gitu, deh. Nanti nggak kasih jatah kiss kiss, loh,” ucap Kogel menggoda Ririn. Ternyata berhasil membuat Ririn tersipu malu, kemudian tidak mengeluh lagi. Teman yang lain hanya geleng-geleng kepala saja melihat Kogel dan Ririn yang bermesraan. Padahal di dalam hati Putri merasa cemburu. Kogel ada main api secara diam-diam dengan Putri. Tentunya Putri juga tidak suka lihat Kogel dan Ririn bermesraan di depan matanya. Namun Putri mencoba menahan rasa cemburu itu. Terpenting Kogel juga kasih jatah untuk Putri. Bukan soal uang, tapi justru Putri ketagihan sentuhan dan ciuman Kogel. Kogel ini memang suka berbuat yang tidak-tidak dan susah diatur. Terkenal juga jadi kucing garong karena bisa menaklukkan hati wanita dengan mudah. Heran saja si Ririn masih percaya dan mengira Kogel setia. Mereka pun sampai di depan Polsek Selo. Setelah ini, mereka harus naik ojek untuk sampai ke basecamp. “Nah, ini kita naik ojek. Mending bonceng tiga aja lebih hemat dari pada satu-satu,” usul Bang Opung yang jelas saja langsung di iyakan oleh yang lain. Kogel bonceng dengan Ririn karena Ririn tidak mau bonceng tiga sama Putri apalagi di belakang bisa jadi jatuh. Putri jadi bonceng tiga sama Rahmat. Menang banyak ini si Rahmat sama kang ojek karena Putri minta di tengah. Lalu si Dalwi sama Bang Opung barengan. Motor ojek itu sudah siap membawa mereka menuju basecamp dengan ongkos yang sudah disepakati. Mereka masih senyam-senyum sendiri menikmati keindahan alam. Sedangkan kang ojek tidak banyak bicara. Kogel masih sempat-sempatnya meremas tubuh Ririn bagian depan dengan gemas. Ririn tersenyum, tersipu malu. Kang ojek diam saja meski lihat dari kaca spion. Padahal hal seperti tak boleh dilakukan apalagi di daerah yang masih “wingit” atau angker. Sedangkan kang ojek yang membonceng Putri dan Rahmat terlihat senyam-senyum sendiri karena punggungnya terkena benda kenyal milik Putri apalagi kondisi jalan yang tidak rata. Jalanan menuju basecamp memang penuh luka liku dan bergelombang. Rahmat juga menahan diri karena mengapit tubuh Putri yang ada di tengah. Menang banyak kang ojek dan Rahmat sepanjang jalan. Sedangkan Dalwi dan Bang Opung di jalan tidak banyak bicara. Sebenarnya Dalwi masih memikirkan tentang semua pertanda yang dilalui sejak tadi malam hingga tadi. Mulai dari suara bisikan hingga kakek tua yang misterius, lalu penumpang bus yang sebenarnya sama sekali tidak kenal dengan mereka juga memperingatkan. Apakah ini merupakan firasat buruk atau pertanda ada hal buruk yang akan terjadi? Padahal Dalwi sangat berniat untuk mendaki gunung. Dalwi dan Rahmat ini tipe pria yang tidak aneh-aneh, jadi aman saja naik gunung. Namun kenapa perasaan Dalwi masih tidak nyaman? Mimpi buruk tadi juga entah pertanda apa bagi Dalwi. Apalagi Bang Opung sudah memperingatkan soal pertanda buruk. “Nyak, Baba, maafin Dalwi udah nyuri duit, yak. Ampun banget, nggak lagi-lagi. Doain aye, ya, Nyak, Ba,” batin Dalwi sepanjang perjalanan naik motor sama kang ojek dan Bang Opung. Entah kenapa perasaan Dalwi makin tak nyaman dan ingin sekali meminta maaf melalui telepon. Namun sayang sekali sinyal ponsel mulai sulit di daerah itu. Dalwi hanya bisa mengucapkan maaf dari dalam hati dengan setulus-tulusnya. Dalwi juga berdoa agar semua lancar dan baik-baik saja bisa mendaki gunung dengan selamat dan pulang dengan selamat pula. Memangnya apa yang akan terjadi? Kenapa hati Dalwi makin tak karu-karuan? Bukankah orang-orang berkata kalau ada hal buruk akan terjadi memang ada malaikat yang diutus untuk memperingatkan manusia. Hanya saja terkadang manusia ada yang peka, ada juga yang tidak peka. Terkadang manusia mengabaikan semua peringatan dan juga firasat buruk dengan pemikiran secara logis. Lantas kalau ada hal buruk yang benar terjadi, salah siapa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD