"Akhirnya usaha kamu berhasil juga. Kamu puas, dong, ya sekarang?" Angel salah seorang sahabat Nadia memberikan komentar. "Terus kabarnya Kienar gimana? Masa Angga menyerah gitu aja, sih? Nggak asyik banget."
"Kamu itu sebenarnya memihak siapa, sih, Njel? Tadi kamu kayak nyelametin aku terus sekarang malah mendukung Angga sama Kienar. Nggak jelas banget, tau!" Nadia mendengkus kesal dan menyandarkan tubuhnya ke kursi sambil melipat tangan di depan d**a.
"Aku jelas di pihak kamu, dong. Mana mungkin aku mau memusuhi putri tunggal Tuan Sebastian. Mau cari mati emang?" Angel tergelak. Candaan satir ala Angel. Dan memang seperti itu kenyataannya. Walau Angel sudah jenuh dengan sikap manja dan egois Nadia, dia berusaha bertahan dari pada kartu penduduknya terhapus dari data warga negara Indonesia.
"Mulut kamu emang kadang-kadang kurang ajar. Heran aku masih mau temenan sama kamu dan nggak minta papaku buat bikin kamu mampus." Omongan kasar Nadia hanya ditanggapi Angel dengan mengangkat bahu. Tentu saja Nadia tidak akan bisa melakukan itu. Tidak banyak orang yang mau berteman dengannya. Mereka memilih menjaga jarak dengannya karena tahu reputasi Pak Sebastian.
Sebagai orang berpengaruh, Pak Sebastian dan orang-orang di lingkarannya tidak pernah kehabisan pengikut yang menyatakan setia untuk menjadi kacung mereka. Namun hubungan mereka hanya sebatas itu. Memanfaatkan dan dimanfaatkan. Tidak ada hubungan yang benar-benar tulus dan murni karena perasaan sayang.
Seperti Nadia, sejak mamanya memutuskan tinggal di luar negeri karena tidak tahan melihat sepak terjang papanya, Nadia benar-benar merasa sendirian dan kesepian. Angel dan Tifa adalah temannya sejak kuliah di Amerika. Ada satu lagi temannya sejak SMA di Jakarta, Amanda. Namun gadis miskin itu jarang bisa berkumpul dengan mereka karena kesibukannya bekerja. Seperti saat ini, Amanda jelas tidak bisa bolos dan berkumpul bersama mereka meski pada jam makan siang. Perjalanan dari kantor Amanda ke resto tempat mereka berkumpul saja memakan waktu satu jam. Meski begitu, Nadia tidak bisa membuang Amanda begitu saja. Gadis pengekor itu, yang selalu berdiri takut-takut di belakangnya, sangat berguna untuk membuang kesal dan menyampah ketika Nadia membutuhkan teman curhat. Amanda memegang semua rahasia Nadia.
"Jadi rencana kamu sekarang apa, Nad?"
Tifa yang sejak tadi diam saja mendadak bersuara. Di antara mereka berempat, Tifa paling pendiam. Dia memilih mendengarkan semua obrolan sahabatnya dan menyuarakan pendapatnya di saat yang tepat. Seperti sekarang ini. Nadia boleh berbangga hati berhasil mendapatkan Angga, tapi tidak cukup sampai di situ. Apa-apa yang sudah didapatkan, harus dipertahankan atau dia akan terlepas begitu saja.
"Kalau kamu nggak melakukan apa-apa, bukan tidak mungkin Angga bakal bosan dan akhirnya dia pergi mencari yang lain. Kamu bilang sendiri, sewaktu bersama Kienar pun Angga itu suka main perempuan."
"Itu karena dia nggak bisa nyentuh Kienar. Aku, kan istri sahnya, tentu saja aku bisa dia sentuh sesuka hati. Angga nggak perlu lagi jajan cewek di luaran." Nadia mendengkus sebal mendengar omongan Tifa.
"Sorry, Nad. Aku tahu kalau soal itu. Maksudku, kamu butuh rencana yang lebih besar untuk memikat Angga dan mengikat dia jangan sampai lari."
Nadia memandang sebal pada Tifa. Sahabatnya yang satu ini pintar, tapi bicaranya kadang berbelit-belit. Tidak to the point, membuat Nadia harus menebak-nebak apa sebenarnya yang mau dibicarakan sahabatnya ini.
"Ngomong langsung aja, deh, Tif. Kamu tahu sendiri aku suka kesulitan kalau harus mencerna omongan kamu."
"Maksud aku, kamu harus mempertimbangkan keinginanmu tidak mau hamil. Kamu harus punya anak supaya Angga tidak akan pergi dari kamu," kata Tifa kalem.
Mata Nadia membelalak. Tidak ada sedikit pun keinginannya untuk hamil anak Angga. Dia tidak ingin tubuh indahnya membengkak dan bulat seperti gajah bengkak. Nadia mencintai Angga tapi tidak cukup besar rasa cintanya untuk mengandung anak Angga.
"Tifa benar, Nad. Masa kamu nggak akan hamil, sih? Orang tua kamu juga pasti, kan mengharapkan cucu. Penerus dinasti Sebastian," ujar Angel dengan intonasi puisi.
"Kalian pasti ingin melihat aku jadi jelek, kan? Gendut, bulat, kumal. Gila! Yang benar saja. Belum lagi nanti payudaraku akan penuh sama s**u, ditambah sakit dan repotnya membawa gundukan bayi di perut ke mana-mana. Hah! Nggak akan! Aku nggak akan mau!"
"Kamu beneran nggak mau kasih Angga anak?" Angel memastikan sekali lagi. "Kasih cucu buat Tuan Sebastian? Kamu anak tunggal, lho, Nad."
"Aku akan kasih mereka keturunan, tapi bukan aku yang hamilnya."
"Maksud kamu?" tanya Tifa dan Angel berbarengan.
"Aku bakal nyewa rahim perempuan lain buat hamil anak aku. Sama aja, kan? Yang penting ada bayi. Mau dia berasal dari perut siapa juga, nggak masalah. Yang penting benihnya dari aku sama Angga."
Angel tertawa sinis. Dia tahu sahabatnya ini kadang kelewatan, tapi pemikirannya barusan benar-benar tak terjangkau oleh pikiran perempuan yang sedang jatuh cinta. Kalau perempuan normal lainnya, mereka pasti mati-matian akan hamil demi menyenangkan lelaki pujaan. Anak bisa menjadi perekat hati orangtuanya. Sedangkan Nadia, dia memilih cara lain untuk memiliki anak. Dia menganggap Angga nggak lebih dari barang yang harus dia miliki. Bukan sosok yang akan dia cintai sampai mati. Mungkin memang seperti itu definisi cinta bagi Nadia.
"Jangan sinis, deh, Njel. Aku cuma nggak mau Angga berpaling pada perempuan lain ketika aku lagi hamil. Kan, kamu sendiri yang bilang, waktu pacaran sama Kienar saja dia main perempuan, nah kalau aku nggak bisa dipake sama Angga karena hamil, apa nanti dia bakal sabar nunggu aku available kembali? Udahlah, mending kalian bantu aku cari rencana lain supaya Angga nggak lari. Yang jelas jangan suruh aku hamil. Titik."
"Jadi kamu KB?" tanya Tifa penasaran. Dia tahu jika Nadia dulunya seorang player sebelum menikah. Kehormatannya tidak diserahkan untuk Angga. Namun dia terlihat baik-baik saja. Tidak pernah hamil apa lagi sampai menggugurkan kandungan.
"Ya, iyalah. Aku udah KB dari SMA. Enak, kan?" jawab Nadia enteng.
Sinting! Itu yang dipikirkan Angel. Dia pikir sahabatnya ini rusak karena pergaulan luar negeri yang bebas. Ternyata dia sudah rusak dari zaman SMA. Mungkin kapan-kapan Angel akan mengorek cerita dari Amanda. Sahabatnya yang satu itu pasti menyimpan banyak rahasia tentang Nadia.
"Kalian masih mau makan? Kalau sudah selesai, temani aku shopping, yuk! Aku mau cari lingerie yang baru buat ntar malam," ujar Nadia sambil tersenyum misterius.
Kedua sahabatnya memutar bola mata. Belanja dengan Nadia adalah hal yang paling menyebalkan bagi mereka. Mereka harus menahan malu karena Nadia akan mengacak-acak satu toko untuk mencari barang yang sesuai dengan seleranya dan akan keluar begitu saja tanpa membeli apa-apa jika tidak ada barang yang sesuai. Nadia tidak akan minta maaf atau mengucapkan terima kasih karena sudah membuat berantakan toko. Biasanya Amanda yang akan mewakili mereka mengucapkan maaf dan terima kasih. Namun hari ini tak ada Amanda dan mereka yang harus melakukan tugas itu.
"Lingerimu, kan sudah banyak, Nad. Minggu kemarin juga kita udah belanja dan pasti belum kamu pakai, kan?" sindir Angel.
"Itu, kan minggu kemarin. Pasti ada keluaran baru, dong hari ini." Nadia bersiap beranjak dan mengeluarkan sejumlah uang cash yang akan dia tinggalkan di meja.
"Model lingerie, kan gitu-gitu aja, Nad. Mau secantik apa pun ujung-ujungnya juga dilepas. Atau bahkan disobek sama Angga. Mending kamu pake jubah mandi ajalah."
Nadia melotot pada Tifa. Mulut sahabatnya ini benar-benar tidak bisa dikendalikan. Mengganggu imajinasinya saja. Melihat Nadia seperti akan mengamuk, Angel buru-buru beranjak dan mengusap punggung Nadia.
"Ssst, kamu kayak nggak tahu Tifa saja. Dia, kan masih segel. Nggak tahu gimana nikmatnya hubungan yang satu itu," bisik Angel. Namun masih cukup keras untuk didengar Tifa sehingga membuat perempuan satu itu bersemu kemerahan dan membuang muka.
Bagi Nadia dan Angel, pendapat Tifa sedikit kolot karena tetap mempertahankan keperawanan sampai umur di atas 30 seperti sekarang ini.
"Ingat. Pacaran saja dia belum pernah," bisik Angel lagi. Nadia mengangguk.
Tifa memutar bola matanya. Bagaimana dia mau pacaran, jatuh cinta saja dia belum pernah. Rasanya tidak ada lelaki yang cukup berharga baginya. Tanpa lelaki pun dia bisa hidup mapan tanpa kekurangan apa-apa. Bahkan dia punya cukup banyak kasih sayang dari kedua orangtua dan adik kakaknya. Semua itu cukup untuk Tifa.
Selesai berbelanja dengan kedua sahabatnya, Nadia memutuskan berpisah di mall tempat dia dan sahabatnya berkumpul. Dengan perasaan ringan, dia berjalan ke mobilnya di basement. Tas belanjaan berayun-ayun di genggamannyadan wajahnya terlihat semringah. Kadang, senyum kecil tersungging di bibir tipis Nadia.
Sewaktu dia hendak membuka pintu mobilnya, sebuah tepukan di bahu membuatnya membalikkan tubuh.
"Ari?" katanya sedikit terperanjat. Lelaki kalem yang terlihat lebih maskulin dibanding malam itu, tersenyum manis kepadanya.
"Kupikir salah lihat. Ternyata beneran kamu. Apa kabar, Nad? Kamu susah sekali dihubungi sejak malam itu," sapanya. Lagi-lagi senyum manisnya terkembang. Membuat Nadia sedikit gemetaran dan pikirannya kembali melayang ke malam itu. []
===============
©elopurs - 2021