"Kabarku baik. Kamu ..., apa kabar, Ri?" tanya Nadia sedikit kikuk.
"Seperti yang kamu lihat. Aku nggak kurang apa-apa. Emm, kamu ada waktu sebentar? Mungkin kita bisa minum kopi atau kamu suka teh? Aku tahu coffe shop yang cozy di mall ini."
Nadia menggigit bibir, entah mengapa dia tertarik dengan tawaran Ari. Meski kini Angga sudah dalam genggaman, tapi jiwa liarnya memberontak ingin bertualang. Ari tipe yang berbeda dengan Angga. Dan dia sungguh menarik.
"Maaf, Ari. Aku beneran nggak bisa kalau sekarang. Aku sedang terburu-buru untuk pulang."
"Oke, lain kali kalau begitu."
Nadia mengangguk dan membuka pintu mobil. Ari mengetuk kaca mobil dan meminta Nadia membukanya.
"Kamu mau membalas chat atau mengangkat teleponku, kan?" tanya Ari penuh harap.
"Chat saja. Aku ..., nggak bisa selalu mengangkat teleponmu," kata Nadia sambil memberikan pandangan menyesal.
"Ah, ya. Aku paham maksudmu. Jadi ..., chat saja. Oke?"
Nadia mengangguk terakhir kali sebelum menaikkan kaca dan melajukan mobilnya meninggalkan Ari yang tetap berdiri di tempat sampai mobil Nadia tidak terlihat lagi. Ari memasukkan tangan ke sakunya dan berjalan masuk ke dalam mall. Dia ada janji untuk bertemu sahabat-sahabatnya di salah satu coffe shop di mall ini. Bertemu Nadia sebuah bonus, dia tidak mungkin membatalkan janjinya seandainya Nadia mau diajak minum. Ari hanya gambling. Jika Nadia mau, mungkin dia akan mencari cara agar bisa berada di dua tempat dalam waktu bersamaan. Namun tadi dia yakin kalau Nadia akan menolak ajakannya.
"Oiii, Bro. Lama amat baru nyampe. Lo nyangkut di mana?" tanya Gilang.
"Tadi gue ketemu Nadia di parkiran."
Kedua temannya bersiul. Mereka tahu jika Ari sudah lama mengincar Nadia. Namun sayang dia gagal. Seandainya saja Nadia jatuh ke pelukan Ari mungkin kondisinya tidak akan serumit ini. Angga dan Kienar masih tetap bersama.
"Nggak lo ajak nongkrong? Kapan lagi, ya, kan?" tanya Gilang lagi.
"Sadar, Bro. Dia punyanya Angga." Dika berusaha menyadarkan niat buruk kedua sahabatnya.
"Alahhh ... Angga aja nggak mau sama dia. Angga cinta mati sama Kienar. Biarpun botolnya nyembur di mana-mana dia tetep setia bawa tu botol pulang ke Kienar." Gurauan Gilang membuat Ari dan Dika tertawa terbahak. Mereka berempat, termasuk Angga, sahabat sejak kuliah.
"Eh, nggak ada kabar dari Angga, nih? Semalam dia ke mana? Dia aneh banget dua hari ini. Nggak ngasih kabar, chat nggak dibales, trus kalau iya pun bisa dihubungi nggak mau cerita ada apa. Misterius banget."
"Angga lagi ada masalah besar kayaknya. Gue ngumpulin kalian di sini juga mau ngebahas itu. Tadi dia chat gue kalau baru pulang abis nyembunyiin Kienar. Cuma dia yang tau di mana tempatnya. Kata Angga, Kienar trauma karena diperkosa sama orang suruhan mamanya."
Kedua sahabat Ari terdiam, seolah udara disedot dari sekitar mereka saat itu. Mereka akui, mereka juga bukan orang suci. Namun memperkosa? Itu kejahatan paling hina. Apa lagi yang diperkosa adalah orang yang paling disayangi sahabat mereka.
"Terus apa hubungannya sama kita? Lo mau kita cari orang yang perkosa Kienar trus kita habisi, gitu?"
"Nggak gitu yang dimau Angga. Dia bilang percuma juga kalau orang itu mati. Bukan salah orang itu. Dia cuma disuruh mamanya."
"Disuruh ena-ena. Dapat perawan. Dibayar pula. Gila!" Dika menggebrak meja, tangannya mengepal. Tingkahnya membuat beberapa pengunjung kafe melirik ke arah mereka.
"Jaga kelakuan lo, Dik. Gue juga geram pas tau kabar ini dari Angga. Tapi kita bisa apa? Kita bukan saingan Nyonya Angela apa lagi Pak Sebastian."
"Apa kita nggak bisa minta bantuan orang lain gitu? Buat ngebalas kejahatan mereka berdua?" tanya Gilang pada Ari.
"Karena itulah gue ngumpulin kalian semua di sini. Ada satu orang yang mungkin bisa ngebantu kita. Gue udah ngehubungin dia dan sekarang dia lagi dalam perjalanan kemari."
Kedua wajah di hadapan Ari menatapnya dengan rasa ingin tahu yang besar. Siapa orang kelima dalam perkumpulan mereka yang bisa membantu membalas perlakuan jahat Nyonya Angela dan Pak Sebastian?
Ari tersenyum misterius pada mereka dan memandang ke arah pintu masuk kafe. Sewaktu-waktu, orang yang dia undang akan datang. Seharusnya saat ini orang tersebut sedang dalam perjalanan kemari karena beberapa saat yang lalu orang itu sudah berada di parkiran mall.
"Terus Angga? Apa dia tahu rencana lo?"
Ari menggeleng. "Gue belum ngasih tahu Angga. Dia masih susah diajak ngomong. Tadi dia bilang mau tidur karena capek banget abis nyetir semaleman."
"Kalau Angga nggak setuju sama rencana kita gimana?" tanya Dika.
"Ya, tetap kita jalankan. Emang cuma Angga saja yang punya masalah sama Pak Sebastian? Kalian berdua enggak?" Ari memandang kedua sahabatnya. Mereka bertiga bertemu dan menjadi sahabat karena mereka punya sejarah yang buruk dengan Pak Sebastian. Tepatnya, perlakuan buruk Pak Sebastian pada orang tua mereka.
Tadinya mereka mendekati Angga karena merasa bisa memanfaatkan Angga untuk mendekati Pak Sebastian dan mencari kelemahan untuk menjatuhkannya. Sayangnya mama Angga malah bersekongkol dengan Pak Sebastian. Jadilah mereka harus bermuka dua, menjadi sahabat Angga sekaligus musuhnya. Namun dengan adanya masalah Angga dan Kienar, kini Angga berada di pihak mereka 100%. Mereka punya musuh yang sama.
Ari melirik lagi ke arah pintu masuk ketika bayangan seorang lelaki muncul di sana. Ari melambaikan tangannya dan lelaki gagah dengan lesung pipi di kedua sisi wajahnya tersenyum lebar lalu berjalan ke meja mereka. Kedua sahabat Ari saling berpandangan. Mereka mengenal lelaki ini. Wajahnya sering muncul di infotainment. Mertua lelaki ini bukan saja pengusaha yang sangat berpengaruh di dalam negeri tapi juga masuk dalam sepuluh besar orang terkaya di Asia. Konon katanya, mertuanya dekat organisasi hitam negeri ini yang juga ikut mengendalikan perekonomian negera.
"Anggoro?" desis Gilang sambil berdiri ketika lelaki itu sudah berada di meja mereka. Ari dan Dika ikut berdiri. "Gimana lo bisa kenal dia, Ri?"
Melihat keterkejutan sahabatnya, Ari hanya tersenyum dan mempersilakan Anggoro untuk duduk.
_*_
"Siapa mereka?" tanya Bu Ani pada Mang Daya yang membawa dua orang laki-laki dengan muka babak belur.
"Saya temukan mereka sedang mengendap-endap di dekat dapur. Langsung saya hajar pake balok kayu," ujar Mang Daya sambil mendorong dua lelaki yang sudah tak berdaya itu. Mereka langsung tersungkur di depan kaki Bu Ani.
"Lain kali jangan terlalu kasar. Kalau mereka mati bagaimana?" Bu Ani berjongkok dan memeriksa kondisi kedua lelaki yang pingsan itu.
"Saya takut mereka membuat celaka anak-anak, Bu. Kalau bermaksud baik, tidak mungkin mereka mengendap-endap seperti maling. Atau jangan-jangan memang maling?"
"Mang main gebuk aja, sih bukannya ditanya dulu," kata Bu Aan yang muncul di pintu. Dia memandang Bu Ani. "Saya dengar keributan dari dapur, Bu."
Di belakang Bu Aan, muncul para pengasuh panti yang lain. Mereka ingin tahu apa yang terjadi.
"Kalau kalian semua di sini, siapa yang mengawasi anak-anak?" tanya Bu Ani gusar.
"Anak-anak sudah di tempat tidur masing-masing, Bu. Mereka aman."
"Sekarang mau diapakan mereka ini, Bu?" tanya Mang Daya.
"Salah satu dari kalian, coba cari petugas siskamling di pos ronda. Biar mereka yang mengurus. Sementara ikat dulu mereka biar tidak lari," kata Bu Ani memberi instruksi.
Pengasuh panti yang berada paling dekat dengan pintu kantor Bu Ani bergegas berlari untuk melaksanakan perintah kepala panti itu.
"Kita berjaga saja gantian menemani Mang Daya menjaga dua orang ini. Saya duluan sama Bu Septi. Yang lain kembali ke tempat masing-masing. Tolong dicek juga pintu dan jendela sekali lagi," perintah Bu Ani.
Bu Septi diam di tempat, sementara pengasuh lain bubar jalan. Dia mendekati kedua lelaki yang pingsan dan mengamati wajah-wajah kumal tak terawat.
"Apa mungkin mereka ini lelaki yang ada di pondok di tepi hutan itu, ya?" bisiknya.
"Maksud Bu Septi?" Ternyata perkataan Bu Septi terdengar oleh Bu Ani. "Pondok yang mana?"
"Ngg, anu, Bu. Beberapa hari ini saya seperti melihat cahaya di pondok. Seperti lampu atau cempor."
"Kenapa tidak bilang sama saya?"
"Saya niatnya mau cerita, tapi takut kalau saya salah lihat. Soalnya saya lihatnya sebelum Subuh. Pas saya bangun mau tahajud."
Bu Ani mengangguk-angguk. Bu Septi memang yang paling rajin salat malam di antara pengasuh lainnya.
"Semoga saja memang salah lihat. Tapi dilihat dari wajahnya, seperti bukan orang sini, ya?"
"Pasti bukan, Bu. Saya hapal penduduk desa ini. Kalau benar mereka ini yang mengendap di dapur, mungkin kecurigaan Bu Aan selama ini benar. Bu Aan mengeluh ada saja makanan yang hilang dari lemari, tapi kita pikir mungkin Bu Aan yang salah hitung atau salah taro. Maklum, kan sudah tua. Kalau anak-anak yang mencuri juga tidak mungkin, mereka tidak pernah kelaparan."
"Atau Kinkin miara hewan lagi? Dulu juga pernah, kan? Dia miara hewan diam-diam dan mengambil makanan dari dapur?"
"Kali ini tidak, Bu. Yang hilang sayur dan roti. Kalau Kinkin miara kucing, yang diambilnya pasti ikan." Bu Septi menjelaskan dengan bersemangat.
"Ya sudah nanti kita tanya saja pada mereka kalau sudah sadar. Biar jelas semua. Ini yang disuruh manggil siskamling kenapa lama, ya?"
Bu Ani berjalan hilir mudik di ruangannya. Sesekali dia melongok keluar pintu. Walau terlihat tenang, Bu Ani sebenarnya gelisah. Ada dua orang asing mengendap-endap di panti yang dia pimpin. Itu bukan hal baik. Orang baik-baik tidak akan mengendap-endap. Setelah pembicaraannya dengan Kepala Yayasan beberapa hari yang lalu, hatinya diliputi kekhawatiran.
Kepala yayasan punya rencana untuk menjual tanah panti kepada developer untuk dibangun villa peristirahatan. Dia berjanji akan memindahkan anak-anak ke tempat lain. Bu Ani khawatir jika tempat yang dimaksud adalah gedung yang berada di desa lain yang kondisinya sangat mengkhawatirkan untuk ditinggali. Dia takut anak-anak celaka.
Maka Bu Ani menolak rencana Kepala Yayasan dan mengatakan akan menghalangi kedatangan alat berat yang akan meruntuhkan panti. Bu Ani khawatir, jika dua orang yang pingsan ini adalah pesuruh Kepala Yayasan untuk memata-matai atau bahkan menakut-nakuti penghuni panti. Dia takut anak-anak berada dalam bahaya.
"Mang Daya mau ke mana?" tanya Bu Septi ketika dilihatnya Mang Daya hendak keluar ruangan.
Teriakan Bu Septi membuat lamunan Bu Ani buyar, dia memandang Mang Daya dan ingin tahu jawabannya.
"Mau ngambil sesuatu biar mereka cepat sadar," katanya sambil meninggalkan kedua pengasuh panti yang saling berpandangan.
Perasaan keduanya tidak enak. Karena keluguannya, terkadang rencana Mang Daya boleh dibilang unik dan aneh. Bu Ani dan Bu Septi menunggu kedatangan Mang Daya dengan perasaan sedikit cemas. []
===============
©elopurs - 2021