Tempat Pelarian

1547 Words
"Angga, kita mau ke mana?" tanya Kienar ketika mobil memasuki jalan tol dan mengarah ke luar kota Jakarta. Angga tidak menjawab dan memilih fokus menyetir tanpa memedulikan kebingungan kekasihnya. Melihat Angga yang geming, Kienar tidak mau memaksa. Lagi pula tubuhnya sangat lelah saat ini. Setelah apa yang dlaluinya hari ini, wajar jika tubuhnya minta diistirahatkan. Kienar membaringkan kepalanya di sandaran kursi dan tidak butuh waktu lama, dia pun terlelap. Angga memperhatikan Kienar yang mendengkur lemah di sisinya. Dia juga sebenarnya lelah tapi harus tetap membuka mata supaya bisa tiba di tempat tujuan sebelum matahari terbit sehingga tidak menimbulkan kehebohan. Dia menyetel musik dari audio mobil dan mengatur volumenya agar tidak terlalu keras tapi cukup di dengar telinganya supaya dia tidak mengantuk karena suasanan mobil terlalu hening. Sebelum mereka berangkat, dia sudah menghubungi seseorang untuk meminta bantuan agar rencananya berjalan lancar. Kali ini dia percaya Mama tidak akan bisa mengusik Kienar karena berada di tempat yang sangat jauh dari jangkauannya. Tempat di mana Mama tidak ingin terlihat dan dikenali. Lewat tengah malam, mobil sudah memasuki kota kecil tempat tujuan mereka. Angga mengurangi kecepatannya sampai separuh kilometer dari ketika melaju di tol tadi. Di kegelapan seperti ini sedikit sulit untuk menemukan alamat yang dia tuju apa lagi dia sudah lama tidak kemari. Dengan ingatan seadanya dan memakan waktu lebih lama dari yang dia perkirakan, akhirnya mobil berhenti juga di sebuarh ruamh tua dengan halaman yang sangat luas. Angga turun dari mobil dan membuka kait gerbang lalu masuk lagi ke mobil dan melaju memasuki halaman perlahan. Lampu mobil rupanya membangunkan penghuni rumah, karena setelah Angga mematikan mesin, lampu ruang depan menyala dan anak kunci diputar perlahan. "Nak Angga?" panggil perempuan renta dengan rambut yang dicepol kecil di belakang kepala. "Mak? Apa kabar? Angga kangen." Angga menghambur ke pelukan perempuan dengan wangi kayu manis yang berdiri dengan kaki yang sedikit gemetar karena tua. "Kamu semakin ganteng saja. Sudah berapa puluh tahun Emak tidak melihat kamu?" "Maafkan Angga, Mak. Angga nggak pernah datang dan sekalinya datang malah menyusahkan Emak," ujarnya sambil mengurai pelukan perempuan tua yang dia panggil 'Emak'. "Hush, nggak boleh bilang begitu. Mendengar suara kamu tap minggu saja sudah cukup buat mengobati kangen Emak." Perempuan tua itu memandangi Angga dalam temaramnya lampu teras. "Jadi, mana wanita yang kamu ceritakan itu? Dia pasti istimewa, ya?" tanya Emak sambil melirik ke arah mobil. Bayangan Kienar yang masih tertidur pulas membuat mata tuanya memicing. "Kamu apakan dia sampai kelelahan begitu?" tanya lagi sambil berjalan tertatih menuju mobil. Angga buru-buru menarik lengan Emak dan memintanya kembali ke dalam rumah. "Emak siapkan saja kamar untuk Kienar. Dia memang kelelahan karena dia sedang tidak enak badan ketika Angga memaksanya ke sini." Emak menuruti perkataan Angga dan menghilang ke dalam rumah. Angga membuka pintu di sisi Kienar perlahan dan melepas tali pengaman yang melingkari tubuhnya. Masih dengan hati-hati, dia mengangkat tubuh Kienar ala bridal dan membawanya masuk ke dalam rumah. "Baringkan saja di kamar depan," perintah Emah setengah berbisik agar tak mengganggu tidur Kienar. Angga menurut dan membaringkan Kienar di atas kasur kapuk yang empuk. Dia melepas sepatu Kienar lalu menyelimutinya. Setelah mencium kening Kienar dengan lama dan dalam, Angga meninggalkan Kienar yang masih lelap dan menutup pintu kamar. Dia bergegas kembali ke mobil untuk menurunkan barang bawaan Kienar yang tak seberapa. "Angga titip Kienar, ya, Mak. Cuma ini tempay yang Angga yakin tidak akan tersentuh Mama. Angga akan menghubungi Emak tapi tolong jangan katakan apa pun pada Kienar. Dia tidak boleh tahu kalau Angga menghubungi Emak. Berbahaya untuk dia." Emak memeluk Angga sekali lagi sebelum dia pergi. Dia tahu betul kalau Angga tidak bisa tinggal terlalu lama. Angga sudah menceritakan secara singkat bagaimana kondisi sebenarnya. "Hati-hati menyetir. Kalau lelah, istirahat saja. Jangan memaksakan diri. Emak bakal jaga Kienar dengan hati-hati. Jangan khawatirkan mamamu. Dia aman di rumah ini," kata Emak sambil melepas pelukan Angga. Terlihat gurat lelah di wajah Angga dan Emak sedikit khawatir melepas Angga pulang kembali ke Jakarta. Angga mengangguk yang terakhir kali sebelum memundurkan mobil. Dia mendesah. Walaupun ingin, dia tidak bisa kembali ke rumah ini selama masih ada Kienar. _*_ Pelayan mengetuk pintu kayu putih dengan ukiran klasik di depannya. Dia tidak perlu menunggu sampai seseorang yang berada di dalam kamar membukakan pintu. Dia hanya perlu menunggu orang yang berada di dalam mempersilakannya masuk. Segera saja setelah izin masuk di berikan, pelayan membuka pintu dan berjalan lalu membungkuk sedikit di depan perempuan yang tengkurap di kasur sambil memainkan tabletnya. "Maaf, Nyonya. Tuan Muda ada di bawah, katanya mau menjemput Nyonya pulang." Perempuan itu menghentikan aktivitasnya dan mengangkat kepala, menatap tajam pada pelayan yang bekerja di rumahnya. "Maksud kamu ... Angga?" tanyanya heran. Angin apa yang membawanya datang ke rumah ini dan menjemputnya? Pelayan di depannya mengangguk lalu mohon diri untuk keluar kamar. Nadia tidak menyiakan kesempatan, dia segera bangkit dari posisinya dan berjalan cepat ke depan cermin. Dia memperhatikan pantulan wajah cantiknya dan merapikan beberapa riasan juga anak-anak rambutnya. Meski saat ini dia berperan sebagai istri yang tersakiti, dia harus tetap terlihat menawan. Nadia turun ke lantai bawah dan melihat Angga sedang duduk di sofa dengan wajah yang lelah. Penampilannya juga berantakan. Entah apa yang baru saja terjadi tapi pagi ini Angga terlihat seperti lelaki yang tidak pulang ke rumah selama dua hari. Terlihat dari rambut pendek-pendek yang bermunculan di wajah tampannya. "Angga?" sapa Nadia. Angga berdiri begitu melihat istrinya berada d hadapannya. "Nadia ...." ujarnya kikuk. Mulai saat ini, dia harus bersandiwara demi kebaikan banyak orang. "Aku menjemputmu supaya pulang ke rumah." Nadia membuang muka. Dia senang Angga datang menjemputnya. Dia tahu pasti bukan keinginan Angga untuk datang dan entah badai apa yang telah terjadi, dia juga tidak ingin berlama-lama di rumah Papa. Nadia tidak ingin Angga semakin jauh darinya. Namun rasa gengsinya muncul dan dia merasa harus jual mahal seolah tidak peduli pada permintaan Angga untuk pulang. "Aku nggak mau pulang. Kamu keterlaluan meninggalkan aku di sana." Nadia mengungkit peristiwa di rumah Ari. Dia sedikit merinding pengingat malam itu lagi. Bukan perlakuan Angga yang membuatnya melarikan diri ke rumah Papa. Namun karena dia tidak bisa menyembunyikan wajah malunya karena ciuman bergairahnya dengan Ari, sahabat Angga. "Aku minta maaf. Saat itu aku masih emosi, tapi aku janji ... mulai saat ini aku akan memperlakukan kamu lebih baik. Kamu mau kasih aku kesempatan sekali lagi, kan?" tanyanya memelas. Ini bukan akting. Angga lelah. Nadia melihat kesungguhan di wajah suaminya. Apa yang membuat suaminya tiba-tiba menyerah begitu saja? Apa Papa dan Tante Angela sudah melakukan sesuatu? Bagaimana dengan Kienar, apa Angga sudah melupakannya? "Kamu nggak lagi bersandiwara, kan?" tanya Nadia curiga. "Aku capek, Nad. Aku juga nggak bisa memaksakan hubunganku dengan Kienar. Dia memilih meninggalkanku. Apa yang bisa kulakukan sekarang selain kembali pada istriku dan mencoba memulai hubungan dari awal? Kita nggak pernah punya waktu untuk benar-benar saling mengenal. Kuharap kamu memberi kesempatan itu. Gara-gara mengejar Kienar aku melakukan banyak kesalahan. Perusahaan terlantar, Mama tersakiti, dan kamu ... kamu .... Ah, sudahlah, rasanya nggak pantas aku meminta seperti ini. Aku tahu kamu sakit hati sama kelakukankku. Aku minta maaf. Benar-benar minta maaf. Mungkin kamu tidak siap kembali untuk hari ini. Nggak masalah, aku akan kembali lagi besok untuk membujukmu." Angga bersiap pergi setelah mengatakah hal-hala yang mustahil untuk di dengar Nadia. "Tunggu! Aku ikut!" teriak Nadia mencegah langkah Angga keluar rumah. "Aku ikut pulang sama kamu. Tunggu sebentar aku ambil tas dulu," katanya sambil berlari kecil ke atas. Mungkin kali ini usahanya akan berhasil. Dia akan memiliki Angga sepenuhnya. Nadia tidak peduli apakah ada campur tangan Papa dan Nyonya Angela dalam masalah ini. Selama tujuannya memiliki Angga berhasil, dia tidak peduli bagaimanan caranya. Angga memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana. Membujuk Nadia pulang tidak sesulit yang dia pikirkan. Satu lagi masalahnya selesai. Setelah Nadia kembali ke rumah dan Mama bahagia, dia akan menghabiskan hari ini dengan tidur. Tubuhnya lelah sekali setelah perjalanan panjang yang dia tempuh. Begitu tiba di Jakarta dia langsung menjemput Nadia, belum sempat cuci muka apa lagi beristirahat. Setibanya di rumah, Angga langsung ke kamar dan mandi air hangat. Mama sudah pergi ke kantor dan Papa sibuk di studionya. Nawang tidak terlihat, pasti dia juga sudah pergi kuliah. "Aku lelah sekali hari ini. Izinkan aku tidur, ya, Sayang. Nanti setelah aku bangun kita pergi ke tempat yang kamu suka," kata Angga sambil mengecup lembut pipi Nadia. Membuat wajah istrinya bersemu merah. Nadia memerhatikan Angga naik ke atas kasur dan merebahkan diri di ranjang yang selama ini dia tiduri sendirian. Sambil memegangi pipinya yang hangat, Nadia memerhatikan wajah suaminya yang terlelap. Hari ini dia sungguh-sungguh bahagia. Impiannya benar-benar terkabul. Angga sudah berubah dan itu membuatnya teramat sangat bahagia. Nadia tidak bisa menyembunyikan senyumannya. Dia bergegas ke kamar mandi supaya bisa menjerit kecil untuk mengekspresikan kebahagiannya. Dadany berdentum tak beraturan. Sepanjang pernikahannya yang penuh drama, baru kali Angga menciumnya tanpa paksaan. Kenikmatan apa lagi yang Nadia inginkan? "Hei, aku sudah di rumah Angga. Ada yang mau aku ceritakan dan ini amazing banget! Pokoknya nanti aku ceritakan kalau kita ketemu. Hubungi yang lain. Tempat biasa dan aku yang traktir. Full menu, I promise! Lunch time, oke?" Nadia menutup ponselnya dan memandangi wajah bahagianya di depan cermin. Masih banyak waktu sebelum Angga terbangun. Kebahagiaan yang dia rasakan harus dibagi dengan teman-temannya agar tidak mudah hilang. Dia pun bersiap untuk menemui mereka. [] =================== ©elopurs - 2021
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD