Menghapus Jejak

1502 Words
Semua menjadi tak terkendali. Angga tidak bisa menahan rasa rindu dan egonya pada Kienar. Dia tahu perempuan itu sedang terluka. Dia sangat menyadari perempuan itu baru saja mengalami kejadian yang traumatis. Namun Angga tidak bisa menahan diri. Tepatnya, dia tak ingin menahan diri. Meski sedu sedan keluar dari mulut Kienar, perempuan itu juga tak ingin melepas tubuh Angga dari tubuhnya. Kedua tangannya menekan pundak Angga agar semakin menempel pada tubuhnya dan kulit terbuka mereka bersentuhan. Dia membiarkan kekasihnya membimbing dan memasukinya perlahan. Kienar pikir, dengan cara seperti ini bayangan buruk di hotel akan terhapus. Dia ingin Angga menghapus jejak lelaki sialan itu dari tubuhnya. Angga melakukan tugasnya dengan baik. Dia meninggalkan jejak kepemilikan di sekujur tubuh Kienar. Kekasihnya membuka diri dan membiarkan Angga masuk. Kienar menggigit bibir. Momen ini seharusnya menjadi lebih indah dan menggairahkan karena baru pertama kali mereka lakukan. Bukan seperti saat ini, penuh desahan dan air mata.  Bohong, jika Kienar bilang tidak menikmati. Angga juga. Mereka sudah menahan terlalu lama. Namun bayangan mengerikan itu masih saja membayang meski tubuh Angga sedang memacu dan bibir Angga mencumbunya. "Ga ...," desis Kienar. Angga menghentikan gerakannya. "Kamu tidak ingin lanjut?" tanya Angga khawatir. Dia menginginkan Kienar saat ini, tapi dia juga tak ingin menyakiti kekasihnya itu. Dia tidak boleh egois. "Buat aku melupakan lelaki itu, Ga. Buat aku lupa! Aku cuma ingin ingat saat ini sama kamu. Nggak ada yang lain." Angga menatap sayu dan mengecup lembut bibir Kienar. "Say my name, Kin. Just my name." Kienar mendesah dan merasakan milik Angga menekan masuk ke dalam tubuhnya. Dia mendesahkan nama Angga berkali-kali dan menyimpan ingatan baru tentang penyatuan dua insan. Ketika Angga menghentak semakin cepat, bunga-bunga api pecah di kepala Kienar dan dia mendengar Angga menyebut namanya sebelum tubuhnya terkulai lemah di atas tubuh Kienar.  Desahan napas Angga terasa hangat di leher Kienar. Dengan lembut, Angga mengecupi kulit leher dan telinga Kienar. "Kita harus bergegas. Mbak Ferin bisa masuk sewaktu-waktu," bisik Kienar sambil menggeser tubuhnya dan berusaha lepas dari penyatuan mereka. "I love you, Kin. More and always." Angga masih belum rela melepas tubuh Kienar dari himpitannya. Dia menciumi wajah Kienar hingga perempuan cantik itu kegelian. Melihat wajah kekasihnya yang mulai memerah, Angga tersenyum bahagia. Ingin rasanya dia berada di posisi ini lebih lama. Namun itu tidak mungkin. Setelah ini, dia harus melupakan Kienar supaya Mama tidak akan mengusik perempuan kesayangannya ini. "Kamu nakal," bisik Kienar setelah bajunya rapi kembali. Dibantunya Angga mengaitkan kancing kemeja paling atas. "Aku nggak tahan. Aku kangen banget sama kamu. Padahal kamu ...." Kienar menyadari sesuatu. Dia tidak pernah menceritakan pada Angga peristiwa di hotel itu, tapi mereka berdua seolah saling mengetahui. "Kamu tahu soal itu?" Wajah Angga tertunduk. Dia malu untuk mengakui kalau ini adalah perbuatan mamanya. Kienar mungkin akan marah besar dan membencinya.  "Ga ..., bagaimana kamu bisa tahu?" Otak cerdas Kienar mulai berputar. Jika Angga sampai tahu, pasti ada keterlibatan Nyonya Angela di baliknya. Apa lagi Angga bisa menemukan keberadaannya. Yang tahu dia dipindahkan kemari hanya beberapa orang saja. Kalau di pusat, Pak Sebastian dan Manajer HRD. Dan kalau Pak Sebastian tahu, Nyonya Angela juga pasti tahu. Bisa jadi Nadia juga tahu. Itu artinya, mereka masih mengawasi gerak-gerik Kienar. "Ga ... jangan bilang kalau ... kalau ... mamamu ada di balik semua ini?" Kienar menarik mundur tubuhya dari Angga sehingga punggungnya menyentuh dinding. Rasa dingin menjalar ke bagian tubuh yang lain dan merambat ke dadanya. "Kin ... aku ... minta maaf," ujar Angga lirih. Dia mengulurkan tangan dan berusaha menyentuh Kienar. Namun kekasihnya itu malah menepis tangannya. Kienar tidak tahu harus bersikap bagaimana. Bukan salah Angga, tapi Nyonya Angela mamanya Angga! Dia tidak bisa membenci Angga walau kini sangat membenci Nyonya Angela. Tega sekali perempuan itu melakukan hal ini padanya dan demi apa? Apa belum cukup baginya membuang Kienar seperti sampah?  "Aku harus apa?" tanya Kienar lirih. Matanya berkaca-kaca. Angga memandangnya tak mengerti. Dia menggeser duduknya mendekati Kienar. "Aku harus bagaimana supaya mamamu tidak mengusikku? Aku sudah menurut sama Pak Sebastian. Dipindahkan ke kantor pinggiran tanpa status. Dijauhkan dari kamu. Mamamu mau apa lagi, Ga?" "Kin ...." "Apa aku harus mati dulu supaya mamamu puas?" "Kin! Jangan bicara yang tidak-tidak!" "Aku harus apa, Ga? Kalau mamamu bilang supaya aku keluar dari perusahaan Pak Sebastian, aku memang akan melakukannya tapi aku butuh waktu! Jangan melakukan tindakan kotor sampai menyuruh orang memperkosa aku. Supaya apa? Apa salahku, Ga?" Kienar mulai histeris dan mengguncang lengan Angga. Angga tidak berani menatap kekasihnya. Semua perbuatan mamanya adalah karena dia tidak memperlakukan Nadia dengan baik dan masih mencari-cari Kienar. "Maafkan aku, Kin." "Kenapa dari tadi kamu yang minta maaf, sih? Dia itu memang mamamu tapi bukan kamu yang harus minta maaf sama aku, Ga!"  "Aku yang harus minta maaf, Kin. Semua ini salahku. Coba aku nggak nyari-nyari kamu dan mau menerima Nadia, mungkin Mama nggak akan mengganggu kamu." "Kamu ..., apa?"  "Mama nggak suka aku mengabaikan Nadia. Apa lagi Nadia sekarang pulang ke rumah orang tuanya karena merasa diperlakukan buruk sama aku. Mama kesal dan sepertinya dia kehabisan ide untuk menekan aku. Jadi dia melakukan perbuatan kotor seperti itu." Angga menekuk wajahnya dan menjambaki rambutnya sendiri. Dia kesal dengan perbuatan mamanya yang mengupah orang untuk menodai Kienar. "Mamamu benar-benar jahat, Ga. Aku nggak percaya kalau dia benar-benar mama kandungmu. Kalau punya mama seperti itu, aku mungkin bersyukur dengan nasibku yang yatim piatu." "Dulu Mama nggak seperti ini. Dulu Mama adalah Mama terbaik di dunia. Semua berubah sejak dia mengenal kekuasaan dan ambisi. Aku benci Mama yang sekarang!" Kienar mengelus kepala Angga dan mengulurkan tangannya. Dia menarik Angga hingga masuk ke dalam pelukannya.  "Aku nggak bisa ngomong apa-apa soal Mama kamu. Nasibku seperti ini karena mama kamu. Tapi sejahat apa pun dia, Mama adalah perempuan yang telah bersabar mengandung dan melahirkanmu, Ga. Seburuk apa pun dia, kamu nggak boleh membencinya. Justru kamu harus menyadarkannya supaya dia nggak tergelincir terlalu jauh. Jangan sampai mama kamu menemui akhir yang buruk yang mungkin akan disesalinya." Angga menarik tubuhnya dari pelukan Kienar dan menatap matanya. Dia tidak pernah salah mencintai Kienar. Perempuan ini bukan hanya cantik fisiknya tapi hatinya juga tak kalah cantik. Angga semakin ingin melindungi Kienar dan menjauhkannya dari jangkauan Mama. Meski itu artinya dia tidak akan bisa bertemu Kienar lagi. "Aku nggak pernah salah milih kamu. Kamu itu benar-benar malaikat buat aku, Kin. Terima kasih pernah datang di hidup aku." Angga mengecup kening Kienar dalam dan lama. "Jangan ngomong seolah-olah kita nggak akan ketemu lagi, Ga. Aku masih butuh kamu," desah Kienar. "Kita akan mencari tempat yang aman buatmu. Kemasi barangmu sekarang juga. Bawa yang perlu dan tinggalkan yang tidak penting." Angga berdiri dan mulai mencari-cari tas untuk mengemasi barang-barang Kienar. "Maksud kamu apa, Ga? Kita mau ke mana?" Kienar berusaha bangkit dari tempat tidur, tapi karena tubuhnya terlalu lemah, dia terhuyung dan terjatuh lagi ke kasur. Angga menopang tubuh Kienar dan menyadari kondisi kekasihnya yang lemah. Dia mulai merutuki Mbak Ferin yang kelewat lama membeli makanan. Angga membuka pintu kamar yang tertutup dan memandang ke lorong yang sepi. Tidak terlihat sosok teman sekosan Kienar. "Temenmu itu cari makan ke mana, sih, Kin? Kok lama banget nggak nyampe-nyampe?" gerutunya. "Tempat makan memang agak jauh dari sini. Memangnya kamu nyuruh dia beli apa?" "Bubur ayam." "Wah, aku nggak tahu kalau itu. Belum pernah kulihat ada tukang bubur di dekat sini." Angga melongok sekali lagi ke lorong di depan kamar Kienar. Dari kejauhan dia mendengar samar-samar langkah kaki menaiki tangga. Dan tak lama kemudian, wajah kemerahan Mbak Ferin muncul dan berlari cepat ke arah Angga.  "Maaf, Mas. Tukang bubur yang dekat nggak jualan jadi saya harus membeli ke tempat yang agak jauhan." Angga tidak bisa marah kepada Mbak Ferin. Dia malah bersyukur tukang bubur yang dekat tidak jualan sehingga dia punya banyak waktu untuk bermesraan dengan Kienar. "Kienar sudah siuman?" tanyanya sambil menyodorkan beberapa kantong plastik.  Angga mengangguk. "Simpan saja kembaliannya, Mbak," katanya ketika Mbak Ferin menyodorkan sejumlah uang kembalian. Mata Mbak Ferin terlihat cerah karena uang kembalian dari Angga masih sangat banyak. Mbak Ferin menanyakan apa ada yang bisa dia bantu lagi, Angga bilang dia akan merawat Kienar sendirian. Mbak Ferin pun mohon diri dan masuk ke kamarnya sendiri yang terhalang dua kamar di sebelah kiri kamar Kienar. "Kamu harus makan. Kamu butuh energi besar karena kita akan melakukan perjalanan jauh." Angga memberikan bungkusan yang berisi bubur ayam kepada Kienar. "Habiskan. Dan kalau bisa agak cepat, ya. Aku akan membenahi barang-barangmu." Banyak pertanyaan di kepala Kienar, tapi dia tidak mau bohong kalau perutnya sudah sangat lapar setelah aktivitas fisik yang dilakukannya bersama Angga. Dia mencoba menghabiskan buburnya dengan cepat dan membiarkan Angga berkemas. Sesekali dia memberi tahu Angga mana barang yang penting mana yang tidak. "Sebenarnya kita mau ke mana, Ga?" tanyanya ketika mereka berdua sudah berada di dalam mobil dan siap meninggalkan kosan.  Barang Kienar tidak banyak, jadi tidak perlu waktu lama untuk berkemas. Sebagian barang juga belum dibongkar setelah kepindahannya dari kantor pusat. Mereka pergi diam-diam, bahkan Kienar tidak pamitan pada ibu kos atau Mbak Ferin. "Ke suatu tempat di mana Mama tidak bisa mengganggumu, Kin." []   =============== ©elopurs - 2021
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD