Angga memandang mamanya dengan sorot mata berapi-api. Video yang ada di ponsel mamanya membuat dia muak. Dengan kemarahan meluap, dibantingnya ponsel itu hingga terpecah menjadi tiga bagian. Belum cukup, diinjaknya satu potongan besar berkali-kali hingga ponsel tersebut remuk. Dia tahu ponsel semacam itu tak akan berarti apa-apa bagi mamanya. Mama bisa membeli tokonya sekalian kalau mau. Angga hanya butuh sesuatu untuk meluapkan amarahnya pada Mama.
Seperti dugaannya, Mama tetap berdiri tenang melihat kelakuan putranya. Mungkin Mama ada bakat psikopat, karena bukannya kesal memandang kelakuan putranya dia malah tersenyum. Ibu macam apa yang tega menyakiti hati anaknya dan tersenyum melihat anaknya terluka.
"Kamu tahu nggak ada gunanya kamu menghancurkan ponsel Mama. Mama masih punya ponsel lain dan mengirimi kamu video itu sekarang juga."
Angga memandang wajah mamanya, sungguh seumur hidupnya di dunia, baru kali ini dia ingin mengingkari statusnya sebagai anak Mama. Bagaimana bisa dia lahir dari rahim perempuan kejam sepertinya.
"Di mana Kienar? Mama pasti tahu di mana dia bersembunyi, kan?"
Mama tersenyum sinis. "Memangnya apa yang akan kamu lakukan? Menemui perempuan kotor itu? Kamu lihat sendiri, kan? Dia sudah nggak pantas buat kamu. Sekali Mama perintahkan, video itu bakal tersebar dan perempuan itu bakal hancur selamanya. Kamu mau seperti itu!"
Angga mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Dia tidak menyangka perempuan yang dia kagumi bertahun-tahun ternyata sanggup berbuat culas demi keuntungannya sendiri. Saat ini Angga merasa tak ubahnya seperti barang jaminan Mama yang bakal dimanfaatkan untuk mencapai keinginannya. Dan jika dia tidak menurut, Mama sanggup menghancurkan kebahagiaannya dan juga kebahagiaan orang-orang disekitarnya.
"Jangan lakukan itu, Ma. Mama tahu Kienar butuh pekerjaan untuk dirinya dan juga anak-anak panti. Kalau sampai Mama menghancurkan dia, mau bagaimana lagi dia bertahan?"
"Hah, kamu pikir Mama peduli sama dia?"
"Mama harus peduli kalau mau Angga menuruti semua perkataan Mama!" Kali ini Angga tidak bisa menahan suara kerasnya. Pandangannya juga mengeras menatap Mama.
Mama menghela napas cepat. "Jadi sekarang kamu mau menurut?"
"Asal Mama janji melepaskan Kienar selamanya dan jangan pernah menyentuh dia dan juga anak-anak panti."
"Kamu tahu Mama tidak pernah berjanji tanpa kompensasi."
"Meski untuk anak kandung Mama sendiri?"
"Meski untuk kamu sekalipun."
Angga menarik napas. Mama di hadapannya kini bukan orangtuanya. Dia hanya seorang pimpinan perusahaan yang sedang mengumpulkan pundi-pundi kekayaannya semakin tinggi. Dia iblis betina berwujud seorang Ibu.
"Angga tahu Mama punya perjanjian dengan Pak Sebastia. Dan Mama belum punya keuntungan apa-apa makanya sanggup berbuat seperti ini. Angga akan ikut permainan Mama sampai Mama punya keuntungan dari Papa Nadia. Apa itu belum cukup sebagai kompensasi? Atau kita harus menandatangani surat perjanjian?"
Mama memandang putra kesayangannya lekat. Kini dia sudah bisa menaklukan aset berharganya itu agar menuruti segala rencananya.
"Mama akan melepas Kienar. Asalkan kamu juga janji akan melupakan dia dan memperlakukan istrimu selayaknya. Bukan hal yang sulit untuk mencintai Nadia. Dia cantik dan pintar. Tempatkan dirimu seperti laki-laki lain yang berebut mendapatkan hati Nadia."
"Mama jangan khawatir. Penuhi janji Mama dan akan Angga penuhi janji Angga. Tapi Angga minta satu kesempatan untuk menemui Kienar."
Mama tertawa melecehkan. "Baru sedetik lalu kamu berjanji dan sekarang sudah coba-coba mau ingkar?"
"Angga bukan mau ingkar. Angga harus memastikan dia pergi jauh dan tidak bisa Mama ganggu. Izinkan Angga, Ma. Angga tahu seperti apa kekuasaan Mama, nggak ada gunanya Angga melawan Mama, kan? Mama bisa memasang pelacak di badan Angga kalau perlu."
Ibu dan anak itu berdiri tegak dan saling menatap seperti adegan duel dalam film koboi. Pandangan mereka sama-sama keras dan seperti berusaha saling membaca pikiran masing-masing. Mereka mencoba mempelajari taktik masing-masing dan mencari kelemahan.
"Ma ... please ... kali ini saja."
"Cepat kembali begitu kamu selesai menemui Kienar."
"Angga janji."
Mama menyebutkan sebuah alamat yang cukup jauh dari tempat Angga berada. Jika Angga benar-benar mau berusaha, dia bisa menemui Kienar. Angga tidak tahu apakah sempat atau tidak, tapi dia berharap Kienar belum menghilang setelah kejadian yang dia alami.
Video yang Mama berikan sungguh mengganggu pikiran Angga. Bukan b******n yang menyentuh Kienar yang mengganggu pikirannya. Dia juga berengsek, suka mengencani gadis-gadis. Dia tidak akan egois dengan membuang Kienar setelah dia dinodai. Angga lebih mengkhawatirkan emosi dan psikologis Kienar setelah menerima pelecehan seperti itu. Dia pasti sangat trauma. Dia pasti terluka dan sakit hati.
Angga memukul kemudi dan melajukan mobilnya semakin cepat. Seandainya dia bisa mengetahui siapa lelaki berengsek yang disewa mamanya untuk menodai Kienar, pasti akan dia remukkan isi kepalanya. Namun itu artinya dia sama seperti Mama. Lelaki itu juga pasti melakukan perbuatan itu atas perintah Mama dan demi uang. Mama juga melakukan semua ini karena uang. Semua kegilaan ini karena uang. Dia pun tak berdaya karena uang!
Ketika tiba di pelataran parkir kompleks pertokoan dan perkantoran, hari sudah sangat sore. Angga mencari-cari alamat yang diberikan Mama. Sayangnya kantor itu sudah tutup dan tidak terlihat satu orang pun berkeliaran di sekitarnya. Namun nasib baik belum beralih dari Angga. Ketika dia sedikit putus asa dan masih menimbang apa akan keluar mencari atau putar balik dan kembali lagi esok, pintu kantor itu membuka dan seorang lelaki muda keluar dari sana. Angga buru-buru memarkir mobilnya dan keluar menghampiri lelaki itu.
Dia bercakap cepat dan menanyakan keberadaan Kienar.
"Iya, Bu Kienar memang bekerja di sini. Sayangnya hari ini dia tidak masuk. Kurang tahu kenapa. Bapak datang lagi saja besok untuk bertanya sama Pak Bos."
Angga menggigit bibir bawah. Sudah sangat terlambat jika dia datang esok. Mungkin saat ini pun sudah terlambat. Dia tidak bisa menyia-nyiakan waktu.
"Bapak tahu di mana kosan Bu Kienar?"
Lelaki muda tadi mengernyit dan memandang curiga pada Angga.
"Saya bukan orang jahat, Pak. Saya temannya dari kantor pusat. Bu Kienar meninggalkan sebagian barang-barangnya sebelum pindah. Saya hubungi ponselnya tapi tidak diangkat. Dia cuma ngasih alamat kantornya saja. Saya juga nggak mungkin kembali besok, Pak. Bensinnya lumayan." Angga menggaruk kepalanya dan pura-pura tersenyum kikuk.
"Ya, sudah. Letakkan saja barangnya di kantor." Lelaki mudah itu hendak berbalik ke kantor dan mengeluarkan segenggam anak kunci.
"Eh, ja-jangan, Pak. Saya bisa dimarahi Bu Kienar. Dia bilang harus diserahkan langsung sama dia. Ini kalau Bapak nggak percaya, ini IC card saya." Angga menunjukkan ID card yang memang selalu dibawanya dan menutupi jabatan yang tertulis di bawah namanya. Cukup bagi lelaki muda itu untuk mengetahui lambang perusahaan dan fotonya saja.
Setelah melihat lambang perusahaan, lelaki muda itu pun memberikan alamat kosan Kienar. Segera saja Angga pamit dengan alasan tidak mau kemalaman tiba sampai rumahnya. Dia harap-harap cemas menuju kosan Kienar.
Tiba di kosan Kienar, Angga tidak bisa masuk begitu saja karena ternyata itu kosan khusus wanita. Setelah celingukan beberapa saat dan berusaha menghubungi Kienar--meski dia tahu tidak akan diangakat--Angga melihat seorang perempuan muda membuka gerbang kosan. Angga menghampirinya dan mengutarakan alasan sama seperti yang dia utarakan pada lelaki muda di kantor Kienar. Perempuan muda itu paham lebih cepat dan dia membantu Angga tiba di depan pintu kosan Kienar.
Sayangnya pintu itu tertutup. Hampir saja Angga putus asa dan mengira Kienar sudah pergi. Seandainya saja dia tidak mendengar suara orang muntah-muntah dari dalam kamar Kienar. Perempuan muda yang menemani Angga pun mendengar juga, dia terlihat khawatir sama sepertinya. Dia menggedor pintu kamar Kienar dan memaksa agar Kienar membuka pintu. Usahanya berhasil, pintu itu pun membuka dan Kienar yang pucat lemah langsung pingsan.
Angga bergegas menggendong Kienar dan meletakknya di kasur. Perempuan muda disampingnya membalur tubuh pelipis dan kaki Kienar dengan minyak angin.
"Wajahnya kenapa?" desis perempuan muda itu ketika menyadari ujung bibir Kienar terluka dan ada bekas merah di pipinya.
Angga mengetahui dari mana bekas itu diperoleh, tapi dia memilih diam.
"Bisa tolong belikan Kienar bubur. Kalau dia siuman pasti dia lapar. Saya minta tolong sekali, bisa?" Angga mengangsurkan sejumlah lembaran merah ke tangan perempuan itu. "Beli apa saja yang diperlukan Kienar. Makanan, minuman. Tolong, ya."
Perempuan muda itu menyadari jika lelaki di hadapannya bukan orang sembarangan. Dia memilih menuruti permintaan Angga dan meninggalkan mereka berdua saja.
Sepeninggal perempuan itu, Angga menggenggam sebelah tangan Kienar dan mulai menangis. Dia sudah membayangkan kondisi Kienar ketika melihat video itu, tapi melihat keadaan kekasihnya langsung benar-benar membuat Angga terpukul. Dia lupa akan janjinya pada Mama. Rasanya dia ingin melarikan Kienar ke tempat aman saat ini juga.
Ke tempat di mana tidak ada orang yang mengenali mereka dan mereka hanya sepasang orang asing yang mencari kebahagiaan. []
================
©elopurs - 2020