Aku memeluk lutut dengan tubuh menggigil di sudut kamar. Ingatanku pecah-pecah. Entah bagaimana caranya aku bisa tiba di kosan dan menangis seperti sekarang ini. Bayangan tubuh lelaki yang menghimpit dan berusaha melesakkan ketegangannya di tubuhku tak mau hilang kendati sudah kugelengkan kepala berkali-kali.
Lelaki itu ... Arghhh!!! Bagaimana caraku menghapus dengkusannya, juga aroma tubuhnya yang seperti bawang putih. Bikin mual. Bikin muak.
Pak Darma keterlaluan!
Dia menjualku. Seharusnya aku curiga sejak awal. Seharusnya aku tidak terlalu patuh padanya. Mana ada jumpa klien di kamar hotel berbintang.
Pak Darma sialan!
Begitu naif aku mencoba percaya padanya. Sungguh terlalu percaya dirinya aku mengira tak akan terjadi apa-apa pada kami berdua di kamar. Aku lupa jika lelaki itu sebenar-benarnya lelaki. Dengan tenaga berkali lipat lebih besar dariku. Aku ceroboh karena membiarkan kami berada di dalam kamar tertutup berdua. Pak Darma entah di mana. Aku yakin dia tidak berniat kembali ke kamar itu.
Terkutuk!
Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa? Apa?
Dengan tubuh ternoda seperti sekarang, apa yang bisa kulakukan? Aku ingin pulang ke panti dan bersembunyi selamanya di sana.
Tuhan ... apa yang harus kulakukan? Haruskah kumembunuh diri sendiri untuk menyembunyikan malu? Haruskah? Tegakah aku menyusahkan ibu panti dan juga anak panti yang lain?
"Nar? Kienar?" Ketukan di pintu membuatku sedikit terlonjak. Aku lupa jika sekarang sudah di kosan. Jam berapa ini? Sudah berapa lama aku di sini?
"Nar? Kamu ada di kamar?"
Itu suara Mbak Ferin, teman satu kosan. Kalau dia ada di rumah berarti ini sudah sore. Mbak Ferin kasir di supermarket yang bekerja shift pagi.
"Sepertinya Kienar nggak di kamar. Lampu kamar mati dan tirainya juga tertutup. Yakin ponselnya nggak aktif? Saya belum tahu nomor ponselnya jadi nggak bisa menghubungi dia. Sudah cari ke kantornya?"
Suara Mbak Ferin terdengar lagi. Dia sedang berbicara dengan seseorang. Ada yang mencariku? Siapa yang tahu keberadaanku di sini? Setahuku yang tahu kosanku hanya Mojo, anak OB. Apa mungkin dia yang datang ke sini? Pasti dia khawatir karena hari ini aku tidak masuk kerja.
Bagaimana aku bisa bekerja dan memperlihatkan wajahku di depan Pak Darma setelah kejadian kemarin? Dia pasti akan melecehkan aku dan memandang hina. Bisa jadi dia juga akan mengumpankanku pada lelaki berengsek lainnya.
Tidak! Aku tidak mau mengulang lagi kejadian itu. Masih melekat di ingatanku kulit tubuhnya yang menempel erat di tubuh setengah telanjangku. Dan tangannya ... telapak tangannya yang berkali-kali meremas dadaku. Tuhan ... tiba-tiba aku mual.
'Hoekkkkk !!!'
Untuk ke sekian kalinya aku berlari ke kamar mandi di dalam kamar memuntahkan cairan yang tersisa di tubuh. Kepalaku pening. Ketukan di pintu terdengar lagi dan suara Mbak Ferin begitu menggesa. Ada suara lain yang kudengar. Suara lelaki yang sangat familiar. Namun kepalaku terlalu berat untuk mengingatnya. Seperti suara Angga ....
Ah, tidak mungkin. Dia tidak tahu keberadaanku di sini.
Aku tidak mau mati sendiri. Mungkin aku sudah ternoda, tapi aku tidak boleh mati. Aku tidak mau mati.
Berat langkahku menuju pintu untuk membuka kunci. Dan setelah pintu terbuka, semua menjadi gelap.
_*_
'Kienar ... Kienar bangun ... Kamu harus bangun, Sayang.'
Suara itu sangat kukenal. Itu suara Angga. Apa aku benar-benar sudah di surga dan bertemu malaikat yang bersuara seperti Angga? Dadaku memanas. Rasa rindu membuncah. Aku selalu berusaha kuat, tapi aku juga perempuan yang butuh d**a dan bahu untuk bersandar. Selama ini aku meletakkan sebagian beban dan diriku pada Angga. Betapa aku sangat membutuhkan d**a itu untuk menangis, membutuhkan bahu itu untuk melepas lelah. Aku menginginkan Angga. Aku membutuhkan Angga. Walau hanya berupa imajinasi, aku membutuhkannya saat ini.
'Kienar ... Sayang ... ini aku. Kamu nggak papa. Buka mata, ya?'
Apa setelah membuka mata kamu akan menghilang, Ga? Aku tidak mau. Aku tidak mau kamu menghilang lagi, Ga. Setidaknya kalau di alam mimpi, kamu itu milik aku. Aku nggak mau bangun.
'Kienar ... aku nggak akan ke mana-mana lagi. Maafkan aku, ya. Maafkan aku udah bikin kamu susah. Aku janji akan bersama kamu setelah ini. Aku akan melepas semuanya dan kita hidup berdua saja. Kita pergi ke tempat asing, yang nggak ada orang kenal sama kita.'
Sungguhkah?
'Ayo buka mata, Sayang. Jangan bikin aku khawatir. Aku sungguh-sungguh minta maaf, Kin.'
Seandainya ini bukan mimpi, apa aku boleh membuka mata? Tapi aku ... Lelaki itu sudah ... Tidak! Aku malu sama kamu, Ga. Susah payah kita jaga kita berdua menjaga kehormatanku tapi kini semuanya terlambat. Tidak, tidak! Aku tidak mau bertemu kamu. Aku tidak pantas ketemu kamu, Ga!
'Yang terjadi sama kamu karena kesalahanku juga. Maafkan aku. Aku bakal tetap sayang sama kamu, Kin, Aku mencintaimu.'
Angga ...
"Angga? Ka-mu, a-da di-si-ni?" Ternyata betulan Angga. Dia menangis dengan kedua tangannya menggenggam tanganku erat.
"Kin? Kamu sadar? Kamu bikin aku khawatir. Tadinya kalau kamu nggak sadar juga aku bakal bawa kamu ke rumah sakit buat di visum. Tapi kamu pasti nggak bakal setuju, kan?"
"Ap-apa?" Bayangan rumah sakit dan mereka akan meraba tubuhku, membuat pikiranku kembali ke saat itu lagi. Saat yang membuat asam lambungku kembali naik dan aku sungguh-sungguh ingin muntah.
"Kin ... kamu kenapa?" Angga membungkuk dan memijit tengkukku sementara aku mencoba mengeluarkan rasa mual dari rongga perut di lantai kamar mandi, Namun yang keluar hanya udara kosong.
Angga menyodorkan tisu dan memapahku kembali ke kasur. Dia memberikan segelas air putih yang kutelan dengan susah payah. Kupandangi dia dan merasakan lelehan hangat mengalir di kedua pipi.
"Kamu nggak papa. Kamu aman sekarang." Angga memelukku. Sungguh rasa aman dan nyaman yang sangat kubutuhkan.
Kamu mungkin milik Nadia, tapi aku ingin bersikap egois hari ini. Aku ingin memiliki Angga hanya untuk hari ini. Lalu kutumpahkan semua air mataku di dadanya. Rasa sesak yang sudah lama kutahan dan sakit yang menusuki d**a. Semua tertumpah dan air mata membasahi kemeja putihnya. Dia membelai dan menciumi rambutku, kurasakan bahunya bergetar. Entah oleh sesal, sedih, atau amarah. Berulang kali kudengar permintaan maaf keluar dari mulutnya.
Maaf untuk apa?
Kulepaskan pelukannya dan mulai mencari jawaban di manik hitamnya. Apa yang membawanya ke sini ... ke tempatku. Namun sebelum mulutku membuka untuk bertanya, Angga sudah melumat bibirku dengan penuh rindu. Kami saling melepas beban, bertukar kesedihan.
Seharusnya ciuman ini membawa kami ke dalam pusaran kebahagiaan setelah seminggu lebih tanpa kabar. Namun yang terjadi, ciuman ini membawa kesedihan. Mataku tak bisa berhenti mengalirkan air mata. Di sela manis bibir Angga, terasa juga asin air mataku. Entah mengapa ciuman ini begitu memilukan dan menyesakkan. Seolah setelah bibir ini salng melepaskan, masa depan untuk kami pun menghilang. Seolah apa yang kami miliki saat ini hanya untuk dinikmati saat ini. Bahkan esok pun tidak ada.
"Ang-Angga ... Aku kangen," bisikku lirih setelah bibir kami terlepas sesaat untuk sama-sama bernapas. Dia mengangguk dan tersenyum perih. Kembali didekatkannya bibirnya pada bibirku dan kali ini sebuah kecupan panjang dan dalam terasa. Angga merasai bibirku begitu lama, seperti enggan melepasnya lagi.
"Maafkan aku," bisiknya ketika dia melepas kecupannya dan memelukku.
"Kamu minta maaf berulang kali. Untuk apa? Dan ... bagaiman kamu bisa sampai kemari? Rasanya aku tidak memberi tahu siapapun alamat di sini. Kecuali OB kantor."
Dia tersenyum dan mendekatkan keningnya ke keningku. Hidung kami bersentuhan dan saling membaui. Aku bisa mencium aroma after shavenya yang menyegarkan dan sangat maskulin.
"Memang dia yang memberitahuku. Sayangnya aku terlambat, ya?"
Aku melepaskan diri dan memandangnya dengan kening berkerut. "Terlambat kenapa?"
Angga tidak menjawab, dia kembali memelukku dan mendesah. "Maafkan aku, Kienar." []
==============
©elopurs - 2020