KIENAR: Yang Direncanakan Pak Darma

1511 Words
Pak Darma mengajakku ke restoran lesehan masakan Sunda. Sambil menunggu pesanan datang, dia mencoba mengorek banyak informasi dariku. Seperti apa Pak Sebastian, apa hubunganku dengan putranya, hingga hal yang sangat pribadi tentang apa saja yang sudah kulakukan bersama Angga. Tentu saja tak kujawab pertanyaan itu. Konyol ... Memangnya aku mau berbagi informasi pribadi dengan orang yang hampir tidak kukenal sama sekali? Sampai makanan yang kami pesan datang, aku masih belum memahami apa maksud Pak Darma menanyakan semua ini. Apa ini semacam interview pegawai? Atau hanya untuk memuaskan keingintahuan semata? Aku makan dalam diam. Dari sudut mataku, terlihat Pak Darma mencuri-curi pandang. Namun tidak sedikit pun aku mengangkat wajah atau sekadar mencuri pandang ke arahnya. Aku menyadari jika kini dia sedang menelisik dan mengamati lekat-lekat. Membuatku sedikit risih. Makin lama berada dekat dengannya, pikiranku semakin buruk.  "Saya sudah selesai. Bisa kita kembali segera?" tanyaku sambil mengangkat wajah tiba-tiba. Pak Darma tergeragap, mungkin tidak menyangka kalau aktivitas mengamatinya akan ketahuan. Dia tersedak makanannya. Demi menjaga rasa hormat, aku menyodorkan segelas air putih padanya. Dia menyambut dan meminumnya seteguk demi seteguk.  Nasi di piringnya masih bersisa, tapi kelihatannya dia sudah kehilangan napsu makan. Sama sepertiku.  "Kamu mau bungkus? Ini sayang makanannya masih banyak. Lumayan buat anak kos kayak kamu." Entah apa maksudnya menawarkan demikian. Berbaik hati? Atau merendahkan? Pikiranku benar-benar tak jernih. Banyak prasangka dan kecurigaan.  "Saya tidak makan banyak. Dibungkus saja, nanti bisa saya berikan pada OB." Aku mencoba tidak mematahkan tawarannya sekaligus menolak secara halus. OB di kantor kami cuma satu dan merangkap-rangkap. Kami sering mengobrol dan aku tahu kondisinya. Makanan sebanyak ini lebih berarti untuknya dibanding aku. "Ah, tentu saja kamu nggak makan banyak. Kebiasaan di panti asuhan segala sesuatu dijatah. Iya, kan?" Aku menghela napas. Satu lagi anggapan yang salah terhadap anak-anak panti seperti kami. Mereka pikir, hidup di panti akan membuat kami serba kekurangan. Kurang makan, kurang pakaian, kurang tempat tinggal. Memang benar kami harus berbagi kamar dengan anak panti lainnya. Namun kalau soal makan, pengurus panti tidak pernah membiarkan kami kelaparan. Percaya atau tidak, masakan dari dapur panti adalah masakan terlezat yang membuatku selalu merindukannya.  Mungkin kami tidak setiap hari menyantap ayam atau daging sapi. Namun olahan dari dapur tidak pernah dibatasi oleh pengurus. Kami boleh nambah kalau kami mau. Pengurus selalu menjamin agar perut kami selalu kenyang sehingga kami pun lebih bahagia dan tidak terlalu memikirkan kalau kami tidak punya ayah dan ibu. "Kita pergi sekarang, Pak?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan. Cukup kupahami kalau Pak Darma bukan tipe orang yang memiliki empati terhadap anak panti sepertiku. "Memangnya ada apa di kantor? Nggak perlulah buru-buru," sahutnya sambil meletakkan sejumlah uang di meja. Dia membenahi letak tas kecil yang selalu disandangnya dan mengelap peluhnya dengan sapu tangan yang dikeluarkan dari saku celana. Aku pun bingung, tidak punya alasan kenapa harus buru-buru kembali ke kantor. Tidak ada pekerjaan yang harus aku lakukan sebagai satu-satunya perempuan di sana. Kami di kantor hanya berlima, termasuk Pak Darma dan OB. Dua rekan kerjaku lelaki dan mereka jarang ada di kantor. Sekalinya datang, mereka langsung masuk ke ruangan Pak Darma dan tidak keluar selama berjam-jam. Sekalinya keluar, mereka langsung meninggalkan kantor. Mungkin ada satu atau dua kali mereka duduk di meja mereka. Mengetikkan sesuatu sebentar, mencetaknya, lalu pergi. Meninggalkan aku tanpa ada sapaan apa lagi obrolan sebagai rekan kerja. Ah, aku rindu suasana kantor lamaku.  Seandainya aku tidak jatuh cinta pada Angga, mungkin aku tidak berakhir di kantor menyedihkan seperti saat ini. Angga ..., mengapa mencintaimu semenyakitkan ini? Pak Darma menyulut rokoknya lalu menghisapnya dalam. Tanpa sadar aku memperhatikan bibirnya yang kehitaman karena tembakau. Dia mengepulkan asapnya jauh ke atas dan memperhatikan asap itu semakin tipis lalu menghilang. Aku berada dalam suasana canggung. Tidak ada yang bisa kulakukan untuk mengalihkan perhatian. Ingin kuambil ponsel dan memainkannya, tapi rasanya tidak sopan.  "Saya tidak tahu bagaimana harus memanfaatkanmu di kantor sini. Kamu cantik, mungkin bisa berguna untuk membujuk orang-orang yang susah melepas tanahnya. Jika bukan uang, pasti ada yang mereka inginkan, bukan? Seperti bapak tua yang kita datangi tadi. Uangnya sudah banyak. Dia bertahan di sana bukan karena menginginkan harga tinggi untuk tanahnya. Hhh, tanah warisan. Kenangan. Tai kucing! Kamu percaya itu?" Pak Darma melotot ke arahku tiba-tiba. Aku memundurkan tubuh karena terkejut. "Sa-saya tidak paham, pak." "Tentu saja kamu nggak paham. Kerjaanmu di kantor pusat itu nggak seperti kami di sini." Lagi, Pak Darma mengembuskan rokoknya ke udara. "Sebelum alat berat Pak Sebastian meratakan bangunan dengan tanah, kami dulu yang berjuang membujuk mereka untuk melepaskan tanahnya. Memastikan tidak ada orang di setiap bangunan yang akan dirobohkan itu. Hhh, kalian pikir itu pekerjaan yang gampang? Setiap hari kita harus berhadapan dengan orang-orang marah dan dimarahi pusat. Ditekan dan diberi tenggat waktu. Hah!!! Kenapa bukan mereka saja yang turun langsung ke lapangan?" Aku mulai menyadari apa pekerjaan Pak Darma dan yang lainnya. Dia kini semakin lekat memandangiku. "Sebelum kamu memutuskan untuk tinggal lebih lama di kantor sini, kamu harus tahu kalau kantor kita itu nomaden. Setelah urusan di sini selesai, kita bakal pindah ke tempat lain yang perlu dibebaskan tanahnya." Kini aku paham. Pak Darma dan dua rekanku bukan pekerja kantoran sungguhan. Mereka tak ubahnya preman yang membujuk warga untuk menjual tanahnya. Lalu, apa gunanya aku di sini? "Apa gunanya kamu di sini? Selain sebagai pajangan saja," ujar Pak Darma ketus. Dia benar. Aku seperti propertynya Pak Sebastian saja. Diletakkan di sana dan di sini sesuka Pak Sebastian. Jika aku sudah rusak dan tak berguna, tinggal dibuang. "Tapi baru-baru ini aku dapat tawaran menarik tentang kamu," katanya penuh misteri. Senyumnya sinis dan matanya menatap hina padaku. "Tawaran seperti apa, Pak?" tanyaku memberanikan diri. "Ambil kunci mobil dan turuti perintahku tanpa banyak tanya." Pak Darma bangkit dari duduknya dan melenggang keluar dari restoran. Aku mengikutinya dari belakang dengan d**a bergemuruh dan pikiran penuh tanda tanya. Sepanjang perjalanan yang mengarah ke keramaian kota, Pak Sebastian lebih banyak diam. Baguslah. Aku bisa konsentrasi menyetir tanpa takut terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan yang terkadang membuat frustasi. Kulirik arloji di pergelangan tangan, masih sangat banyak waktu sebelum jam kantor habis. Pak Darma masih belum menyuruhku berhenti di suatu tempat. Kami masih berjibaku dengan kemacetan panjang di jalan utama. Aku mendesah melihat antrean di simpang empat. Entah sampai kapan kami terjebak lalu lintas padat seperti mudik lebaran ini. "Setelah simpang empat belok kanan, ya. Terus ambil jalur kiri."  Akhirnya ada juga instruksi Pak Darma. Mobil aku belokkan sesuai keinginannya. Meluncur mulus di jalan yang masih ramai. Tidak terlalu jauh dari simpang empat, Pak Darma menyuruhku masuk ke pelataran parkir sebuah hotel berbintang. Hmm, baiklah. Ini masih jam makan siang, tidak akan terjadi hal buruk. Pasti hanya sekadar kongkow atau bertemu klien. Setelah menyuruhku mencari tempat parkir, Pak Darma turun dari mobil dan memberi isyarat untuk mengikutinya. Aku menurut saja. Dia adalah bos dan aku supir hari ini. "Tunggu sebentar," katanya ketika kami sudah berada dalam lobby yang luas. Pak Darma berjalan menuju resepsionis dan mengatakan sesuatu. Kemudian dia berjalan ke arah sofa empuk yang terdapat di tengah lobby. Aku mengikutinya. Duduk di seberang Pak Darma, dibatasi meja kaca dengan buket bunga segar di atasnya. Tanpa ada kata, Pak Darma merebahkan kepalanya. Apa kami menunggu seseorang? Aku tidak tahu. Untuk mengurangi rasa jengah dengan situasi yang aneh ini, kualihkan pandanganku untuk mengagumi lobby yang super mewah ini.  Dulu, aku dan Angga sering check in untuk menikmati fasilitas hotel berbintang. Kami memasuki hotel layaknya pasangan suami istri yang dimabuk cinta. Namun seperti yang sudah-sudah, tidak ada aktivitas yang melebihi make out atau dry s*x. Angga sangat tahu batasannya. "Pak Darma?" Seorang lelaki setengah abad menegur atasanku, dia melirikku sedikit seperti menilai. Pak Darma bangkit dari duduknya dan menjabat tangan lelaki itu. Mereka berjalan beriringan dan Pak Darma memberi kode agar mengikutinya berjalan ke lift. Aku menurut saja. Tak ada percakapan selama di dalam lift, begitu juga setelah keluar lift dan berjalan sepanjang lorong hotel. Hal yang aneh terjadi ketika kami sudah berada di dalam kamar hotel. "Aku lupa surat perjanjiannya. Ada di dalam mobil," kata Pak Darma tiba-tiba. Surat perjanjian apa? Seingatku dia tidak membawa berkas atau apa pun sejenisnya. "Biar saya ambilkan. Bapak letakkan di mana?" tanyaku. "Ah, kamu nggak akan tahu tempatnya. Sinikan kuncinya. Biar saya saja yang ambil." Sepertinya surat yang sangat rahasia sampai aku tidak boleh tahu di mana dia menyimpannya. Kuberikan kunci mobil padanya lalu duduk di kursi yang tersedia di ruangan itu. Lagi-lagi aku berada di situasi yang canggung. Bersama lelaki yang mungkin seumuran ayahku jika memang dia masih hidup. "Mau minum apa?" tanya lelaki yang kini duduk di tepi kasur.  Aku menoleh padanya dan tersenyum. "Tidak usah repot. Saya baru saja minum." "Jangan sungkan. Pembicaraan kita akan panjang dan kita pasti akan haus. Pak Darma juga kelihatannya akan lama. Saya pesankan jus, mau?" "Air putih saja. Yang dingin. Lebih baik jika sebotol air mineral," kataku akhirnya. Jus berwarna bisa menyamarkan sesuatu yang dimasukkan ke dalamnya sedangkan sebotol air mineral ..., akan sangat sulit memasukkan sesuatu ke dalamnya, bukan? Ya, aku harus mengantisipasi keadaan yang mungkin terjadi. Mengingat ekspresi aneh dari lelaki di hadapanku, bukan tidak mungkin jika sesuatu yang buruk akan terjadi di antara kami. [] ============== ©elopurs - 2020
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD