Bab 9

1211 Words
“Mamanya Una hari ini bertunangan. Dia mengundang kami untuk datang. Semoga kamu gak keberatan menjadi pasangan Banyu malam ini. Maaf kalau Ibu gak bilang dulu sama kamu, Ibu khawatir, kamu akan menolak. Ibu hanya ingin menunjukkan, Una baik-baik saja tanpa perempuan tak berhati itu.” Suara Bu Fera bergetar. Aku melihat ada rasa sakit yang teramat dalam terpancar. Ya Tuhaaan … jujur, aku merasa kesal. Kenapa harus berbohong sejak awal? Apa Bu Fera pikir aku ini apa? Eh bentar? Berbohong? Rasanya memang tak ada kebohongan yang Bu Fera sampaikan. Dia hanya bilang Una yang mengundangku. Hanya akunya saja yang terlalu, ah, entah. Masa iya aku percaya kalau ada perayaan gigi tanggal versinya Una. “Maafin Ibu, Jingga. Kamu hanya perlu berada di tengah-tengah kami tanpa mengakui apapun, tanpa menjelaskan apapun pada siapapun. Itu saja.” Bu Fera menatapku dengan tatapan memelas. Baru kali ini aku melihat dia begitu lemah. Biasanya apa-apa selalu terlihat bersemangat, sigap dan sat set. Kupejamkan mata sekilas. Jujur, yang sekarang aku rasakan adalah kegugupan yang luar biasa. Aku yang tak suka tampil di depan banyak orang, kini harus hadir di tengah-tengah acara pertunangan seorang selebritis tanah air. Aktris dan aktor fenomenal yang berhasil membuat emak-emak baper dalam sinetron terbarunya itu kini ada di depan mata. Tanganku mendadak dingin berkeringat, tapi setelah hati kutenangkan aku pun memaksakan tersenyum dan mengangguk pada Bu Fera. Seketika wajahnya kembali berbinar, bahkan dia langsung memberiku pelukan singkat. “Makasih, Jingga. Setelah selesai acara ini, ada yang ingin Ibu bicarakan dengan kamu.” Suaranya terdengar serius. Aku hanya mengangguk. Kami pun berjalan di antara hiruk pikuk tamu yang berdatangan. Tak sadar kalau Aluna dan Pak Banyu sudah masuk sejak tadi. “Saya jarang tampil di tempat ramai, Bu. Jujur … saya gugup.” Aku bicara pada Bu Fera ketika kami berjalan bersisian. Namun, belum sempat masuk. Suara adzan maghrib terdengar dari masjid yang ada di sekitar. “Tenang, ada Ibu sama Banyu di sisi kamu.” Aku hanya mengangguk mendengar penuturannya. “Bu, saya izin cari mushola dulu, ya!” Aku masih punya wudhu. Jadi, tak harus merusak riasan yang sudah mahal-mahal dibayar oleh Bu Fera ini. “Oh sebentar, biar Banyu antar, ya!” Bu Fera sudah hendak mengambil gawai ketika aku menahannya. Sepertinya mau menelpon Pak Banyu yang sudah masuk duluan karena Aluna menarik-narik tangannya tadi. “Gak usah, Bu. Walau saya jarang ke hotel, Insya Allah … saya gak akan nyasar. Nanti saya ke sini lagi. Kalau sudah sampai depan sini, nanti saya telepon Ibu.” “Hmmm, oke kalau gitu.” Kami pun berpisah. Aku berjalan sedikit lambat karena highheel yang kupakai. Rasanya sudah berasa jadi peragawati saja, jalanku berbunyi tok tak tok tak. Aku tiba di mushola hotel yang, lengang. Bersyukur, tapi sedih. Bersyukur karena tak harus mengantri dan berdesak-desakkan. Sedih, karena … dari ratusan orang yang pada datang, hanya ada sekitar lima atau enam orang yang menyempatkan diri ke sini. Semoga saja bukan karena lalai untuk dunia yang sebentar, sehingga abai untuk bekal yang kekal. Semoga saja mereka belum ke sini, menunggu sebentar lagi, mungkin, atau solat di kamar hotel. Siapa tahu para tamu yang datang itu orang-orang berduit semua dan menginap di hotel ini juga. Jadi mungkin solatnya di kamar hotel karena lebih nyaman. Tiga rakaat pun selesai kutunaikan. Usai mengucap salam aku melipat mukena. Kebersihan di hotel ini patut diacungi jempol. Mukenanya harum dan wangi, sajadahnya pun bersih. Tak berapa lama, aku sudah berada di depan aula hotel. Orang-orang yang berdatangan sudah mulai jarang, sepertinya di dalam acaranya sudah dimulai. Beberapa orang dengan kamera di lehernya tampak duduk-duduk santai di depan. Sedikit terkejut ketika melihat Bu Fera masih ada di sana. Belum masuk rupanya. “Sudah?” tanyanya sumringah. “Iya, Bu.” Aku mengangguk. “Kita masuk, yuk!” Bu Fera mengulas senyum lalu menarik lenganku. Aku pun mengangguk lalu masuk ke dalam dan mengisi buku tamu. Di dalam, tampak begitu meriah. Bahkan bagiku seperti keajaiban. Para aktris dan aktor yang biasa hanya bisa kulihat di layar kaca, kini bertebaran. Banyak yang aku kenal, tapi pastinya mereka tak akan mengenaliku. Aku takjub ketika memasuki aula. Dekorasinya bagiku sangat megah. Deretan meja panjang dibalut kain berhias warna pastel, senada dengan kursi yang berhadap-hadapan tampak anggun dan elegan. Beberapa buket miniatur bunga edelweis entah asli atau imitasi tapi tetap tampak canti, katanya bunga itu lambang cinta sejati. Cantik, berderet di sepanjang meja berselang seling dengan buket lili putih dan lilin yang menjadi penerang di antara cahaya yang sengaja di setting tak terlalu terang. Gelas kristal berderet mengikuti jumlah kursi, bersama satu mangkuk kecil hidangan pembuka dan juga kotak souvenir dengan foto dua calon mempelai yang tampak serasi dan berbahagia. Semua meja sudah hampir penuh dan acara memang sudah berjalan. Pandanganku mengedar mencari keberadaan Aluna, hingga sudut mataku menangkap sosok lelaki tinggi tegap yang baru saja berdiri dan tengah menggendong Aluna berada di antara para lelaki yang memegang kamera. Bersamaan dengan itu, sepasang netra Aluna pun mengarah ke arah kami. “Oma! Miss!” Dia melambaikan tangan. Berteriak tapi tanpa suara, hanya gerakan mulutnya saja k****a di tengah-tengah suara pembawa acara. Wajahnya tak seceria tadi. Entah apa yang terjadi selama aku shalat tadi. Aku dan Bu Fera berjalan menghampirinya yang berada di dekat meja tujuh. Ketika kami datang, Pak Banyu tampak bicara pada dua orang itu. Namun, tanpa seizinku, dua orang itu mengarahkan kamera padaku dan Bu Fera. Lalu setelah itu, mereka tampak mengangguk dan undur diri dari hadapan Pak Banyu. “Miss, ayo duduk di sini!” Aluna yang sudah diturunkan Pak Banyu menghampiriku dan Omanya, tapi wajahnya lesu dan tak bersemangat. Di meja tujuh ini agak belakang dan tak menjadi tempat favorit para tamu hingga masih ada beberapa kursi kosong. Aku duduk bersisian dengan Bu Fera dan Aluna didudukkan lagi bersisian dengan Pak Banyu. Hanya saja … sialnya, aku yang berhadapan tepat dengan lelaki itu. “Banyu, lelaki yang tadi siapa?” Bu Fera menatap putranya. “Wartawan.” Dia menjawab singkat. Seketika aku yang kaget. Lalu apa maksudnya dia mengambil gambar kami lalu pergi. Tak ada pertanyaan dan tak ada penjelasan. “Una kenapa murung, Sayang?” Bu Fera seperti tak peduli pada jawaban Pak Banyu dan menatap Aluna. “Tadi pengen ketemu Mamanya, tapi keburu acara mulai.” Pak Banyu yang menjelaskan. Lalu hening lagi. Kami seperti terbawa pada pikiran masing-masing di tengah khidmatnya acara yang terus berjalan. Aku pun tak terlalu memperhatikan, hingga terdengar riuh tepuk tangan dan musik beralih menjadi seperti di cerita-cerita film yang pernah kutonton dan tampak sepasang calon pengantin berdansa di depan sana dengan pakaian berwarna putih yang tampak mencolok dari semua para tamu undangan. MC pun mempersilakan para tamu undangan yang mau ikut memeriahkan sehingga di antara tempat yang paling tinggi itu kini mulai penuh dengan para pasangan yang berdansa juga. Sekilas, kulirik wajah lelaki yang ada di depanku. Namun dia masih bergeming hingga seorang perempuan yang kemarin aku lihat ketika mengantar gamis langganan Ibu datang menyapa. “Banyu, di sini kamu rupanya! Mau dansa gak?” Pertanyaan itu membuat kami semua mendongak. Seketika Bu Fera yang mengambil alih jawaban. “Banyu memang akan berdansa, tapi sama Jingga … ini sebentar lagi juga mau maju ke depan. Iya ‘kan Banyu?” Bu Fera memasang senyuman dan menatap tajam pada perempuan itu. Eh, kenapa? Aku lagi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD