Bab 10

1243 Words
“Banyu, di sini kamu rupanya! Mau dansa gak?” Pertanyaan itu membuat kami semua mendongak. Seketika Bu Fera yang mengambil alih jawaban. “Banyu memang akan berdansa, tapi sama Jingga … ini sebentar lagi juga mau maju ke depan. Iya ‘kan Banyu?” Bu Fera memasang senyuman dan menatap tajam pada perempuan itu. Eh, kenapa? Aku lagi? Seketika perempuan tersebut mendongakkan wajah dan menatap ke arahku. Dia menatap lekat sambil menyipitkan mata sekilas dengan alis saling bertaut seolah mengingat-ingat. Namun tak ada kalimat apapun yang dia ucapkan hanya tersenyum dan mengangguk lalu menoleh pada Pak Banyu. “Ya sudah, aku balik ke tempatku dulu kalau kamu sudah ada pasangan!” tukasnya. Tak tersirat rasa kesal maupun kecewa, dia pun mengangguk ke arahku dan berkata, “Titip Banyu, ya!” Aku hanya tersenyum, lebih tepatnya nyengir kuda. Emangnya dia barang yang bisa dititip-titipin? Seperginya wanita itu, Pak Banyu melirik ke arah Bu Fera dengan tatapan yang sepertinya mengatakan, mama apa-apaan, sih? Hanya saja kulihat Bu Fera cuma mencebik dan menaikkan satu alisnya ke atas. “Mau dansa?” Suara berat itu terdengar dari arah Pak Banyu. Aku yang sudah menunduk lagi, seketika mendongak dan mengerjap menatapnya sambil mencerna kalimat pendek yang dia lontarkan? “Mau dansa, ayo?” Dia bangkit dan mengulurkan tangannya padaku. Deg! Rasanya wajahku terasa panas, mungkin sudah berubah warna. Tenggorokanku terasa kering karena gugupnya. Lalu aku menggeleng perlahan. “Eng--Enggak, kok, Pak.” Aku menggeleng cepat. Bukan apa-apa, aku bingung sama gerakannya. Yang aku bisa hanya gerakan senam saja itu pun senam khas anak-anak sekolah. Sejak aku SD, paling anti tampil di depan umum. Jujur, aku malu. Jangankan dansa, sekadar nari daerah saja aku terlewat gugup dan gak jadi tampil karena gerakannya kaku. “Dansalah sama Banyu, Jingga.” Bu Fera berbisik sambil sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku. “M--Maaf, Bu. Saya gak bisa.” Aku tersipu. Ah, memalukan memang. Lagian … kenapa juga aku diajak ke pesta seperti ini. Biasanya aku hanya menghadiri hajatan di kampung. Duduk sambil makan kue apem habis itu pulang. Lah ini? Banyak artis dan aktor juga, mau jalan saja rasanya seperti gak nginjak bumi. Ini disuruh dansa, bisa-bisa aku pingsan di depan. “Oke, gak apa.” Pak Banyu menurunkan tangannya yang tadi terulur ke arahku. Lalu dia berjalan meninggalkan kami di sini. Gak tahu ke mana. Cukup lama. Mungkin dansa dengan perempuan tadi yang mengajaknya. Ah, tiba-tiba sudut mata ini begitu sibuk mencari-cari keberadaannya. Aku yang sejak tadi lebih banyak menunduk dan fokus pada Aluna, meja dan gelas kini memindai para pasangan dengan pakaian yang serupa yang berdansa di depan. Sudut mata ini mencari-cari Pak Banyu. Hanya saja, bukan wajah Pak Banyu yang aku temui melainkan … Bara. Deg! Jantungku bertalu lebih cepat, tanganku terasa dingin dan ada rasa perih yang menelusup tanpa pamit. Sepasang mata kami beberapa detik bertemu, dia tengah berdansa dengan perempuan yang dari sini hanya terlihat rambutnya karena posisinya membelakangiku. Tinggi, putih, seksi dan pastinya berkelas, bukan guru SD sepertiku. Tiba-tiba mataku terasa memanas, air mata ini kenapa pula malah mendesak keluar. Ya Tuhaaan … dia … lelaki yang pernah menyematkan cincin tunangan di jemariku, lelaki yang pernah berjanji sehidup semati denganku, lelaki yang sudah lebih dari empat tahun menjalin hubungan denganku … lelaki yang selalu kusebut namanya dalam doa itu kini berada dalam pelukan wanita lain, parahnya lagi berada di depan mata kepalaku. Sekelebat bayangan kebersamaan kami, memaksa hadir kembali dan berputar-putar di kepala. *** “Jingga … lihat ini … Ada dua tangkai mawar di tanganku … kamu tahu gak mana yang paling cantik?” Bara menatapku lembut. Waktu itu dia mengejarku berlari ke parkiran kampus ketika jam kuliah sudah selesai. “Hmmm … yang ini.” Aku menunjuk tangkai mawar merah yang dia pegang. “No! Salah! Yang paling cantik tuh, kamu!” bisiknya dengan senyuman lembut dan sorot mata hangat. “Bisa saja, kamu.” Aku tersipu. Selemah itu memang hatiku. Jika semua tentang Bara, maka akan membuatku salah tingkah dan gugup luar biasa. “Ya, bisalah … apa sih yang enggak buat perempuan sehebat kamu. Kamu tuh seperti lempeng bumi, bergeser sedikit saja sudah mampu menggoncang hatiku.” Lagi-lagi kalimat gombalan yang membuat kebersamaan kami lebih bewarna. Aku mencubit perutnya. Dia pun terkekeh setelah menyerahkan tangkai mawar merah yang rutin dia kasih setiap seminggu sekali, untukku. Kami pun tiba di tempat sepeda motornya parkir, lalu dia bersiap mengeluarkan sepeda motornya dari deretan motor gede yang berjajar seolah memang sudah punya tempat sendiri untuk clubnya. Aku sudah bersiap hendak naik ke boncengan ketika tiba-tiba dengan wajah serius dia menghentikanku, “Bentar-bentar, jangan bonceng dulu!” tukasnya sambil memasang helm di kepalanya. “Kenapa?” Aku menatap dengan polosnya. “Kalo naik motor sama kamu aku takut ditilang?” tukasnya serius. “Kok ditilang? Kan biasanya juga boncengan?” Aku bingung dengan kalimatnya. “Soalnya semenjak kamu nerima cinta aku. Kalau naik motor, kita gak hanya berdua … tapi bertiga … aku, kamu dan cinta.” Seketika aku memukul bahunya sampai dia teriak sambil tergelak. *** Setetes air mata jatuh, tak tertahan. Aku sudah berusaha menepis bayangan dia. Namun, sepasang netra itu entah kenapa aku merasa jika menatapku masih sama. Gak mau nangis di depan Bu Fera, aku bangkit dan menoleh padanya. “Bu, permisi! Ke toilet sebentar!” Tanpa menunggu persetujuannya aku berjalan tergesa meninggalkan tempat acara. Air mata bukan lagi menetes, tapi sudah jadi hujan. Bagaimana bisa, seseorang yang terasa dulu begitu nyata, tiba-tiba membatalkan pertunangan kami dan memilih perempuan lain, sialnya kini aku harus melihatnya sendiri kemesraan mereka di depan mata. Jujur, sakitnya tuh di mana-mana. Beruntung, toilet tak terlalu ramai. Aku tergesa masuk dan tak harus mengantri. Lalu … tumpah sudah yang sejak tadi kutahan-tahan. Kenapa harus bertemu lagi sama dia … kadang ingin seperti Imelda, yang cepat move on. Hanya saja, aku berbeda. Aku terlalu melankolis. Setengah jam, aku puas-puaskan menangis. Hanya untuk meluahkan sesak yang terasa menumpuk di dalam sini. Lalu setelah sedikit lega, aku keluar dari kamar mandi dan mendekat ke arah cermin. “Untung pake maskara dan eyeliner, walau terlihat agak sembab tapi mataku masih terlihat bulat dan untungnya lagi semuanya ini waterproof … kalau tidak, mungkin wajahku sudah seperti hantu karena eyeliner dan maskara yang luntur.” Aku menengadah ke atas lalu mengatur napas perlahan. Kulap sisa-sisa air mata dengan tissue pelan-pelan. Gak enak kalau rusak, riasannya sudah dibayarin mahal sama Bu Fera. “Ya Rabb meskipun aku terasa begitu sakit atas pernikahan Bara dengan perempuan lain … aku ikhlas … aku pasrah, aku serahkan semuanya pada-MU ya Rabb ….” Aku ucapkan kalimat set up tersebut sebanyak tiga kali dalam hati. Kuresapi dalam-dalam sambil memejamkan mata. Kurasakan lagi rasa sakit yang tadi menumpuk. Andai tak memiliki tekhnik SEFT yang pernah aku ikuti seminarnya, mungkin aku sudah gila ketika rasa ini tiba-tiba membludak lagi. Hanya saja, tetap saja jika diluar kendali … aku tetap harus nangis dulu baru kepikiran buat melakukan SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) ini. Lalu kuketuk-ketuk titik-titik seperti yang sering aku lakukan selama ini jika merasa tenggelam dalam perasaan terguncang hebat seperti ini. Tak peduli beberapa pasang mata yang kebetulan masuk ke toilet memperhatikanku yang tengah berada di depan wastafel dan melakukan gerakan seft sendirian. Setelah merasa lebih baik. Aku pun beranjak dari dalam toilet dengan perasaan yang lebih ringan. Namun, baru saja kubuka pintu toilet perempuan, aku mendapati sosok yang tengah berdiri tak jauh dari sini sambil bersandar pada dinding di lorong toilet dengan tangan bersedekap. Sepasang netra kami pun bertemu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD