Bab 8

1151 Words
“Eh, kenapa berkemas? Kamu juga harus ikut! Una bilang, Miss Jingga juga diundang! Ini Ibu sudah siapkan pakaian ganti buat kamu!” tukasnya seraya memamerkan senyumannya yang bagiku, rasanya mencurigakan. Kebetulan Pak Banyu baru keluar juga dari dalam rumah dan tanpa sengaja kami sejenak beradu pandang, sebelum akhirnya kami sama-sama membuang muka dan aku mengalihkan pandangan pada pakaian yang diulurkan Bu Fera. Ehhh … kok corak bajunya samaan dengan Pak Banyu? “Ahm, saya pakai baju ini saja, apa boleh?” tanyaku, sungkan rasanya harus menerima pemberiannya. Lagi pula, pasti bajunya mahal. “Hmmm … tapi dress codenya warna pastel, Jingga.” Bu Fera menjelaskan. “Oh baik kalau begitu, maaf merepotkan.” Aku pun menerima pakaian yang masih dilipat itu, lalu beranjak minta diri dan berganti pakaian di toilet. Jadi ingat, gamis yang tadi pagi kuantarkan ke pelanggan Ibu juga ada yang bahannya seperti ini dan warnanya juga. Sebuah gamis warna pastel dengan corak hitam, akhirnya kupakai. Bisa-bisanya ini gamis pas sekali di badanku. Beruntungnya kerudung yang kupakai berwarna hitam, jadi bisa masuk juga ke warna ini. Soalnya yang diberikan Bu Fera hanya gamisnya saja, tak ada kerudungnya. Aku tersenyum melihat penampilanku di depan cermin, memang kalau baju mahal beda dipakainya juga, adem dan nyaman, jahitannya pas. Aku keluar dari kamar mandi, senyum Aluna menyambutku. Sedikit terkejut ketika ternyata dia pun sudah berganti pakaian dengan baju dengan warna sama denganku dan pastinya dengan … hmmm … Pak Banyu. Kemeja dia juga warna pastel corak hitam dipadu padankan dengan celana bahan warna hitam. Duh kok jadi couple gini, sih? Perasaanku mulai tak nyaman. Aku malah mematung di depan pintu sambil memainkan ujung kerudung. “Ayo, Miss! Eh, ini sepatunya buat Miss Jingga!” Aluna berhambur ke arahku dan menarik tanganku. Dan menyerahkan satu paper bag. Bu Fera dan Pak Banyu juga bersamaan menoleh. Aku hanya mengangguk dan tersenyum sambil menerima paper bag itu dengan bingung. “Masya Allah, cantik sekali kamu, Jingga.” Pujian itu terlontar seketika dari mulut Bu Fera. Sekilas aku menoleh, dia mengerling ke arah Pak Banyu yang hanya melirik sekilas sambil mengedipkan mata. “Ini sepatunya ganti juga, Bu?” Aku menatap sepatu berhak tinggi yang diberikan Aluna padaku. “Iya, Jingga. Kalau gak nyaman, pakainya nanti saja pas mau masuk ke gedung!” tukas Bu Fera. Aku hanya mengangguk saja dan menenteng paper bag itu kemudian. Kadang aku aneh, Bu Fera begitu ekspresif dan meletup-letup, sedangkan Pak Banyu tampak tenang. Eh, bahkan anyep. Aku baru hendak membuka pintu mobil ketika Bu Fera menghentikan lenganku. “Jingga, boleh duduknya di depan? Kebetulan saya gak biasa duduk di depan, suka pusing.” Duduk di depan, berarti di samping Pak Banyu, dong? “Tapi Una bilang mau sama, Miss Jingga ‘kan, ya?” Aku melirik ke arah Aluna. Gadis itu melirik dulu ke arah Bu Fera sebelum menjawab, lalu menggeleng. “No! Una mau sama Oma. Miss Jingga di depan saja sama Papa.” Aishhhh …. Aku gak bisa lagi berkutik. Dua lawan satu. Makin tak nyaman saja, tapi gak enak mau nolak. Job ngajar less di sinilah yang honornya paling besar dari pada di tempat lain. Bu Fera begitu baik, walau baru kenal pun sering memberikan tips. Akhirnya kami pun pergi. Aku duduk di samping Pak Banyu. Mobil melaju ke arah tol dan seketika membuatku menoleh pada Bu Fera. “Bu, sampai masuk tol? Memang acaranya di mana?” “Di Jakarta, Jingga. Acaranya mulai sekitar jam jam enam sore sampai selesai. Jadi kita masih ada waktu. Nanti kita mampir ke salon langganan Ibu dulu. Kita dimake up di sana.” Aku menautkan alis, makin bingung. Acara apa sebetulnya? Masa iya acara perayaan gigi tanggal saja sampai di Jakarta. Aku pun tak enak terlalu banyak tanya. Akhirnya ikut saja. Mobil pertama-tama berhenti di sebuah restoran sebelum masuk tol. Ada satu restoran sunda di dekat pintu tol Karawang Barat. Kami makan dalam diam. Setelah itu, barulah melanjutkan perjalanan setelah menunaikan shalat zuhur dulu di mushola restoran. Waktu yang dihabiskan sekitar dua jam hingga akhirnya keluar tol, lalu mobil berbelok ke sebuah salon. Aku melihat, waktu masih menunjukkan pukul dua siang, kalau di make up sekarang aku kebingungan untuk shalat ashar. “Hmmm … saya boleh dimake upnya belakangan saja, Bu. Soalnya nanti masih ketemu ashar sama maghrib juga.” Bu Fera bergeming, dia menatapku dengan ragu. “Tapi waktu make upnya bisa memakan waktu satu jam, Jingga. Kalau kamu di make up habis maghrib, nanti telat ke acaranya. Gimana, ya?” Bu Fera menatap bingung. “Saya shalat ashar dulu saja, Bu. Nanti saya jaga wudhunya untuk maghrib sama Isya. Insya Allah bisa.” Senyum mekar begitu cerah pada wajah Bu Fera, lagi-lagi dia melirik ke arah Pak Banyu yang entah kenapa bisa bersamaan sedang menatap ke arah kami dan seperti tadi, Bu Fera pun mengedipkan mata. Akhirnya aku menunggui Bu Fera di make up dulu. Dia pun sama, mengenakan pakaian warna pastel, hanya saja berbeda modelnya dengan yang dipakai Pak Banyu, Aluna dan Aku. Usai Bu Fera, kini giliran aku yang dimake up. Aku memilih perempuan yang memoles wajahku agar wudhuku terjaga. Gak enak kalau nanti harus merusak make up yang sudah mahal-mahal dibayar. Waktu yang digunakan untuk memoles wajah kami menghabiskan waktu sekitar dua jam kurang sedikit. Usai di make up, aku shalat ashar dulu. Ada perasaan bersalah, karena waktunya sedikit terlewat dan tak diawal waktu. “Banyu, kamu lihat ‘kan? Jingga itu istimewa! Shalatnya saja dijaga sampai segitunya! Kali ini sebaiknya kamu nurut sama Mama. Jingga itu berbeda jauh dengan Misye.” Aku baru selesai shalat ketika kalimat itu tak sengaja tertangkap telinga. Hanya saja, Pak Banyu sudah telanjur menoleh ke arahku. Jadinya aku tak tahu lagi kelanjutannya apa. Mobil kembali melaju, kali ini menuju ke sebuah hotel berbintang. Salah satu hotel ternama di Jakarta. Tampak beberapa karangan bunga sudah memenuhi area lobi dan sampai meleber ke area parkiran. [Happy enggagement Misye Venom Arsyta With Teuku Isman.] [Selamat atas pertunangan Misye Venom Arsyta dengan Teuku Isman.] [Happy enggagement Misye with Teuku.] Banyak ucapan yang tercantum dalam karangan bunga. Sepasang nama itu membuatku sedikit terlonjak. Bukankah Misye itu mantan istrinya Pak Banyu? Setahuku dia adalah salah satu selebritis ternama dan memang terdengar santer terlibat cinta lokasi dengan lawan mainnya yaitu Teuku Isman. T--Tunggu … otakku mendadak hang. Aku mengatur napas sejenak, membuat Bu Fera menoleh ke arahku karena berhenti sendirian. “Jingga, are you oke?” telisik Bu Fera menatap wajahku. Aku menelan saliva dan menatap wajah Bu Fera. “Bu, sebenarnya kita hadir di acara apa?” tanyaku dengan hati yang berdebum-debum tak menentu. “Mamanya Una hari ini bertunangan. Dia mengundang kami untuk datang. Semoga kamu gak keberatan menjadi pasangan Banyu malam ini. Maaf kalau Ibu gak bilang dulu sama kamu, Ibu khawatir, kamu akan menolak. Ibu hanya ingin menunjukkan, Una baik-baik saja tanpa perempuan tak berhati itu.” Suara Bu Fera bergetar. Aku melihat ada rasa sakit yang teramat dalam terpancar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD