4. Kakak Ipar ?

1762 Words
“Mbak Shila!” aku langsung menoleh ketika mendengar seseorang memanggilku. Ternyata Riri. Dia tampak habis turun dari halte Trans Jogja lalu segera berlari mengejarku. “Kok tumben naik trans?” tanyaku begitu Riri sudah berdiri di sampingku, lalu kami jalan beriringan masuk kantor. “Motor adek-ku lagi di beng-kel, mbak. Karena dia a-da ujian pa-gi, akhirnya motor-ku dia pa-kai buat ke kampus,” jawab Riri dengan napas putus-putus. “Berhenti dulu, tarik napas baru ngomong. Masih ngos-ngosan gitu loh.” Riri mengangguk. Dia menarik napas panjang beberapa kali lalu mengembuskannya perlahan. Dia tersenyum lebar setelah napasnya mulai tenang. “Hehe, biar sekalian kita masuknya bareng gitu loh mbak.” “Nggak bakal aku tinggal juga kok, Ri.” “Ya siapa tahu.” Riri malah nyengir, lalu detik berikutnya menggandeng tanganku. Aku dan Riri masuk kantor beriringan. Tidak lupa, sebelum kami ke lantai dua tempat ruangan kami berada, aku dan Riri menyempatkan untuk finger print terlebih dahulu, atau kalau nggak, hari ini kami akan dianggap bolos kerja. “Mbak, Pak Dimas hari ini udah mulai masuk lagi ya?” tanya Riri ketika kami masuk lift. Ngomong-ngomong, meski gedung ini hanya ada tiga lantai, tapi sudah di lengkapi dengan lift. Salah satu alasannya adalah untuk memudahkan penyandang d*********s jika berkunjung ke kantor kami. Sekedar informasi saja, lantai tiga kantor kami berisi perpustakaan untuk umum. Aku dengar, Pak Dimas yang mendesign sendiri bangunan ini bersama arsitektur yang dia sewa. Aku juga dengar kalau Pak Dimas sangat menyukai dunia kepenulisan, makanya dia mendirikan perusahaan penerbitan dan semua hal yang berbau dengan buku dan tulisan. Padahal setahuku, setelah aku memeriksa biodata Pak Dimas, dia lulusan S1 dan S2 Teknik Informatika. “Iya, katanya berangkat jam sepuluh.” “Widih, tahu detail banget.” Aku hanya tersenyum menanggapi. Memang, sudah satu minggu ini Pak Dimas ada urusan di luar kota. Dia benar-benar ada di luar kota selama satu minggu penuh. Selain ada urusan ketemu klien, katanya juga ada acara keluarga. Mengenai apa acaranya, aku tidak berani tanya. Ya iya lah, aku kan sebatas sekretarisnya. Aku hanya perlu tanya apa saja yang berhubungan dengan pekerjaan. Di luar itu, jelas bukan ranahku lagi. “Wih, Mas Bayu rajin banget udah datang duluan. Biasanya juga datang paling akhir sendiri!” seru Riri begitu kami melihat Mas Bayu sudah ada di ruangan dan sedang berdiri di dekat mesin foto kopi. “Emang aku rajin.” “Heleh! Kaya aku ini kenal Mas Bayu lagi kemarin sore.” Riri mencibir. “Semenjak ada Mbak Shila, Mas Bayu jadi rajin banget berangkat pagi. Aku mencium bau-bau---“ “Bau apa? Bau ketek?” sela Mas Bayu sambil melirikku sekilas lalu tersenyum tipis. “Jangan dengerin Riri, Shil. Dia emang sukanya gitu.” “Iya aku santai kok, mas.” “Eaaak, tuh pakde, udah dapet lampu ijo dari Mbak Shila.” Aku hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihat Riri terus menggoda Mas Bayu. Padahal asal kalian tahu saja, jarak umur Mas Bayu dengan Riri terpaut hampir lima tahun. Tapi ya emang dasarnya Riri ini anaknya nggak bisa diem, jadi dia hobi banget ngeledek orang yang ada di sekitarnya. Jujur saja sih, aku tahu alasan kenapa Riri gencar banget meledek Mas Bayu dan terus menghubungkannya denganku. Bukan aku kepedean, tapi aku cukup tahu kalau Mas Bayu sepertinya tertarik denganku. Terbukti dari sikapnya selama ini terasa agak beda. Dia memang perhatian sama semua orang, tapi denganku, perhatian dia sedikit berlebih. Dan sepertinya, Riri juga Mbak Mella menyadari itu. Bedanya, Mbak Mella orangnya nggak secerewet Riri. Jadi dia hanya tertawa saja ketika Riri mulai melancarkan aksinya. *** “Yang waktu itu dokumennya udah kamu gandakan lagi, Shil?” tanya Pak Dimas ketika siang itu aku dipanggil ke ruangannya untuk menjelaskan catatan rapat minggu lalu waktu kami berdua pergi ke Solo. “Sudah pak. Saya foto kopi tiga kali. Yang laporan penjualan buku dari toko yang di semarang sudah di kirim tadi pagi dan juga sudah saya foto kopi tigak kali sama seperti kemarin.” “Oke, terimakasih banyak Shill.” Pak Dimas tersenyum, dan akupun ikut tersenyum. Ingat, senyumnya saat ini hanya jenis senyum ringan ala-ala orang habis berterimakasih. Aku pun juga balas tersenyum hanya untuk sekadar basa-basi saja. Benar-benar tidak ada maksud apapun dari senyum yang kami lemparkan. “Sama-sama pak.” Jujur saja ya, satu bulan bekerja di sini ternyata tidak seburuk yang aku bayangkan di awal. Oke, aku tahu aku belum sepenuhnya bisa menghilangkan perasaan sepihakku, tapi setidaknya selama satu bulan ini aku bisa menghandle semuanya dan tetap bisa bersikap professional. Oh iya, ngomong-ngomong, aku sangat ‘menyukai’ Pak Dimas yang selalu menyempatkan berterimakasih ketika dia meminta bantuan. Ini jenis rasa suka yang murni aku rasakan sebagai sekretarisnya. Pak Dimas orangnya benar-benar menghargai kerja keras orang lain dan sama sekali tidak angkuh. Dia juga bukan tipe yang otoriter, meski aku pernah hampir senam jantung waktu dia marah ketika ada salah satu pegawai cabang menghilangkan salah satu dokumen penting. Saat ini aku merasa hatiku seperti di tarik ulur dan pelakunya adalah aku sendiri. Di satu sisi, aku ingin segera melupakan perasaan sepihakku pada Pak Dimas karena dia adalah cinta pertamaku, tapi di sisi lain, Pak Dimas justru mulai memberiku rasa suka jenis lain yang menurutku efeknya bisa lebih berbahaya. Dia benar-benar sangat baik dan bisa membuatku nyaman bekerja dengannya. Aku sangat takut kalau perasaan nyaman yang aku rasakan membuatku jadi serakah dan nekat menjadi orang ketiga dalam hubungan orang lain. Oh ya ampun, jangan sampai! “Kalau begitu saya permisi ya, pak.” “Iya, silahkan.” Setelah dipersilahkan keluar, aku segera berdiri lalu bergegas keluar ruangan. Namun belum sempat tanganku meraih gagang pintu, tiba-tiba pintu di dorong dari luar dengan kerasnya sehingga membuatku langsung terjerembab ke lantai. “Aduh!” Aku reflek mengaduh ketika pantatku dengan mulusnya mendarat di lantai keramik yang sangat keras. “Om Dimas, aku bawain martabak telur dua kotak---- loh! Tante ngapain duduk di bawah?“ tiba-tiba saja aku melihat ada anak perempuan berseragam merah putih melongo kaget melihatku duduk di lantai. “Key, itu tantenya jatuh gara-gara kamu dorong pintu kuat banget nggak pakai ketuk dulu. Ayo minta maaf,” ucap Pak Dimas detik berikutnya. Dia berdiri dari kursinya lalu menghampiriku. Aku agak ragu waktu Pak Dimas mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri. Namun akhirnya aku meraih tangan itu karena tidak enak kalau menolak bantuannya. “Tante, maafin Key ya!” Mau tidak mau aku tersenyum ketika anak kecil itu meraih tanganku sambil meminta maaf. Di tangannya bahkan masih ada plastik yang berisi dua box putih yang aku tebak isinya adalah martabak telur seperti yang dia bilang tadi. “Iya, nggak papa kok. Lain kali lebih hati-hati, ya?” Aku agak menundukkan badan untuk mengusap kepala anak itu. Anak itu benar-benar cantik. Mata elangnya juga hidung mungilnya yang mancung membuat wajahnya sangat cantik dan imut secara bersamaan. “Iya, tante. Key dimaafin, kan?” Aku mengangguk sambil tersenyum lalu anak itu melepaskan tanganku. Dadaku langsung berdesir ketika melihat Pak Dimas tiba-tiba membopong anak itu dan anak itu langsung tersenyum lebar sambil mengulurkan bawaannya. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba aku rasakan, tapi aku sendiri tidak tahu perasaan macam apa ini. “Ya ampun, Key! Udah di sini ternyata. Kamu ini kalau lari kok cepet banget, sih? Mama kira kamu hilang.” Tiba-tiba saja, aku melihat seorang perempuan cantik juga masuk ruangan. “Mama yang kelamaan jalannya!” “Ngomong aja udah nggak sabar mau ketemu om. Tuh si Key kangen kamu Dim, pulang sekolah bukannya pulang dulu ganti baju, malah langsung minta ke sini.” “Mama sih, jemputnya lama.” “Kan mama udah bilang mau ketemu temen mama dulu---“ “Pak, saya permisi.” Karena aku merasa sangat canggung berada di ruangan itu, aku segera pamit meski harus memotong ucapan perempuan cantik yang aku belum tahu apa hubungannya dengan Pak Dimas. Oh iya, meski aku sudah menyukai Pak Dimas dari dulu, tapi aku bukan penguntit yang sampai mencari tahu semua tentang Pak Dimas dan orang-orang terdekatnya. “Eh bentar, kamu sekretarisnya Dimas ya?” tiba-tiba perempuan itu menahan tanganku lalu tersenyum ramah. “I-iya,” jawabku agak kikuk. “Wajahnya nggak pasaran tuh Dim, kok kamu bilang wajah dia familiar?” Aku melihat Pak Dimas melotot, sementara aku sendiri tidak paham dengan maksud dari ucapan perempuan ini. “Hehe, enggak, saya bercanda saja. Saya Della, kakak kandung Dimas.” Perempuan itu mengulurkan tangannya untuk menjabat tanganku. Ah, kakak kandung? Itu berarti, anak ini keponakan Pak Dimas? “Saya Shila,” balasku sambil menjabat tangannya. “Nama kamu Shi-shila?” perempuan itu, maksdku Bu Della, tampak terkejut setelah mendengar namaku. Sebentar, aku harus memanggilnya Bu Della kan, ya? Tapi kayaknya umur dia belum setua itu. “Iya, saya Shila.” Aku semakin bingung ketika tiba-tiba Pak Dimas tertawa agak keras. “Udah loh mbak, inget aja sama mantannya Mas Razan. Mereka ini orang yang berbeda, jadi santai aja. Jangan baper lagi.” “Dimas! Enak aja, kamu ini!” Aku melongo untuk beberapa saat setelah mendengar kalimat itu. Apa yang disebut Mas Razan itu suaminya Bu Della? Terus mantan dari suaminya Bu Della ini namanya sama denganku? Gitu? Apa gimana? “Jangan dengerin ucapan bos kamu yang barusan ya, suka ngawur kadang-kadang,” lanjut Bu Della kemudian. “Hehe, iya bu–“ “Mbak Della. Boleh panggil saya dengan sebutan itu. Saya belum setua itu sampai kamu panggil saya dengan sebutan ‘bu’. Bayu, Mella juga Riri semuanya manggil saya dengan sebutan ‘mbak’.” Wah, sepertinya hanya aku di sini yang belum kenal dengan Bu Dell -ralat- Mbak Della, ya? “I-iya, mbak.” Mendengar itu, Mbak Della langsung tersenyum lebar sambil mengangguk. Asli ya, aku baru tahu kalau Pak Dimas punya kakak secantik ini. Mana wajahnya baby face banget. Kalau anaknya saja sudah masuk SD, kemungkinan besar usia dia sudah tiga puluh lebih dong? Wah! Nggak keliatan sama sekali. Akhirnya, sekitar satu menit kemudian, aku keluar dari ruangan Pak Dimas dan langsung kembali duduk di mejaku. Dari tempatku duduk saat ini, aku bisa melihat interaksi mereka bertiga karena pintunya tidak ditutup rapat. “Kapan ya, bisa ikut gabung dengan mereka?” Tanpa sadar, aku menggumam agak keras. “Apa mbak? Mbak Shila ngomong apa barusan?” aku berjengit kaget ketika tiba-tiba Riri sudah berdiri di dekat mejaku dengan membawa beberapa berkas di tangannya. “Apa? Enggak, aku nggak bilang apa-apa.” “Ohhh, kirain. Ini mbak, aku mau ngasih laporan yang kemarin. Udah aku bikin duplikatnya juga. Nanti titip buat Pak Dimas ya mbak?” “O-ke, Ri.” Aku menghembuskan napas lega ketika Riri pergi tanpa bertanya lebih lanjut. Hampir, saja! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD