5. Patah Hati

1892 Words
“Mbak Shila, keluar kamar dong. Makan, keburu dingin semua lauknya!” Aku langsung menutup wajahku dengan bantal begitu mendengar teriakan Nayla dari luar. “Aku dobrak, nih! Mbak Shila nggak lupa kan, kalau aku udah pernah ngancurin pintu belakang pake kaki?” Aku tetap tak bergeming meski dari tadi Nayla terus mengancam akan mendobrak pintu kamarku. “Kalau nggak gara-gara ingat ayah baru aja benerin nih pintu dua bulan lalu pas tahu kalau mbak mau menetap di Jogja, udah pasti pintunya aku dobrak biar rusak sekalian.” Nayla masih terus bermonolog di luar karena aku tetap tak menyahut meski sudah dia panggil berkali-kali. “MBAK SHILA---“ “MBAK NGGAK LAPER. MAKAN DULUAN, SANA!” Aku melempar bantal ke arah pintu, dan detik berikutnya air mataku kembali meleleh tak terbendung. Ya ampun, ternyata patah hati memang sesakit ini. Tempo hari aku sudah bilang kan, kalau aku akan mencoba melupakan perasaanku pada Pak Dimas? Tapi ternyata semua itu hanya omong kosong. Sedikitpun perasaanku pada Pak Dimas belum berkurang. Kenyataannya, tadi waktu Pak Dimas bilang mau mampir ke toko perhiasan selepas kami ketemu klien di Bantul, hatiku langsung terasa sakit sekali. Terlebih lagi ketika dengan gamblang Pak Dimas bilang dia ingin beli cincin untuk melamar kekasihnya, pengen gantung diri aja rasanya. Coba kalian bayangkan kalau jadi aku. Pasti kalian nggak ada bedanya denganku sekarang. Atau minimal mendekati, lah. Sudah hampir dua jam aku nangis di kamar kaya orang gila dan tidak ada niatan mau keluar sama sekali meski itu untuk ajakan makan malam bersama. Jangankan makan malam bersama, untuk turun dari ranjang saja rasanya tidak kuat. Oke, kalian boleh menilaiku lebay atau apapun kata yang tepat untuk menggambarkan kelakuanku saat ini. Aku tidak peduli. Saat ini aku hanya ingin menangis, menangis, dan menangis. Memang menangis sebanyak apapun tak akan membuat Pak Dimas membatalkan acara lamarannya dan tiba-tiba berubah jadi melamarku. Tapi setidaknya, aku sedikit lega setelah menumpahkan semua air mata yang aku punya malam ini. Rasa yang aku miliki untuk Pak Dimas mungkin berawal dari cinta monyet yang dirasakan anak belum dewasa pada umumnya, tapi perasaan itu terus berkembang seiring berjalannya waktu. Aku juga heran, aku bahkan tidak melihat Pak Dimas dalam jangka waktu yang sangat lama, tapi kenapa bisa perasaan itu terus ada dan bahkan terus tumbuh? Agak tidak masuk akal, bukan? “Aku nggak tahu kenapa ya, Mbak Shila kok tiba-tiba bisa mendadak jadi kaya gini. Semuanya diabaikan, termasuk ajakan ibu sekalipun. Tapi yang pasti nih mbak, aku masih pengen Mbak Shila hidup. Jangan sampai mati kelaparan. Aku belum siap bacain yasin tiap malam jumat. Kalau Mbak Shila lapar, nasinya aku taruh di meja samping pintu. BYE!” Sepuluh menit Dua puluh menit Setengah jam Suara Nayla tidak terdengar lagi. Sepertinya anak itu sudah lelah dari tadi menggedor pintu kamarku untuk menyuruhku makan, namun terus kuabaikan. Kalau ayah sama ibu jangan di tanya, mereka kalau sudah menyuruhku untuk melakukan sesuatu lebih dari dua kali dan aku tetap diam saja, maka selanjutnya mereka akan berhenti dan meminta tolong Nayla. Mereka tidak akan membuang tenaga untuk membujukku yang sedang tidak bisa diganggu, karena mereka tahu tenaga mereka hanya akan sia-sia. *** “Mbak Shila, kok diem aja dari tadi?” “Eh?” Aku reflek mendongak ketika tiba-tiba saja, Riri meletakkan satu gelas kopi panas di atas mejaku. “Mbak Shila habis nangis? Kok matanya agak bengkak?” “Masih keliatan ya, Ri?” Riri mengangguk, lalu menarik kursi kemudian duduk di dekat mejaku, “Keliatan banget. Emang Mbak Shila kenapa?” tanya Riri sembari menyeruput kopinya pelan-pelan. “Sakit gigi semalaman, Ri,” jawabku bohong. Jujur, aku sudah menyiapkan jawaban ini karena aku tahu, baik Riri maupun Mbak Mella pasti akan bertanya jika melihat mataku tampak bengkak begini. Memang sudah jauh lebih baik daripada tadi pagi waktu bangun tidur, tapi tetap saja sisa-sisanya masih ada. Aslinya aku pengen izin sakit, tapi aku ingat kemarin Pak Dimas bilang kalau hari ini dia mau membicarakan tetang kejanggalan laporan penjualan salah satu toko cabang. Dan Pak Dimas juga bilang kalau toko itu adalah salah satu toko cabang dengan penghasilan paling tinggi diantara toko cabang di kota lain. “Aduh, jadi kopinya mau nggak, mbak? Kalau enggak, dua-duanya biar aku minum. Sayang kalau dibuang.” “Nggak papa kok, udah enakan. Ini juga gara-gara gigi tumbuh kayaknya, bukan karena keropos.” Lagi-lagi aku berbohong. Ini nih yang nggak enak kalau kalian sudah terlanjur berbohong. Sekali berbohong, maka kebohongan lain pasti akan menyusul. Yang begini tolong jangan ditiru, ya! “Apa mau aku kenalin sama kakak sepupuku mbak? Dia dokter gigi.” “Nggak usah, Ri—“ “Ih nggak papa. Sepupuku itu masih jomblo. Ganteng, tahu mbak. Ntar sambil menyelam, minum air, nangkep ikan sekalian.” Riri tertawa di ujung kalimatnya. “Apaan sih, Ri.” “Hehe, siapa tahu sekalian mau lirik-lirik gitu loh, mbak.” “Ngaco, ah!” Riri tertawa, dan akhirnya aku ikut tertawa. “Shil, bisa ke ruangan saya sebentar?” Aku dan Riri langsung menoleh ketika tiba-tiba kepala Pak Dimas menyembul keluar dari balik pintu. “Bisa, pak.” “Oke, saya tunggu.” “Aku masuk dulu ya, Ri?” “Iya, mbak. Kopinya biar aku ambilin tutup dulu.” “Makasih banyak, Ri.” “Sama-sama.” Aku merapikan rambutku yang tadi sempat aku acak dan juga mengambil kaca untuk memastikan kalau mataku memang sudah tak separah tadi pagi. Ya, meskipun aku yakin Pak Dimas pasti akan bertanya jika dia sadar mataku terlihat bengkak. ... “Ada apa ya, pak?” tanyaku begitu masuk ruangan Pak Dimas dan langsung duduk di kursi yang berada tepat di depannya. “Itu, yang laporan kemarin sempat saya bahas--- loh, mata kamu kenapa?“ Nah, kan? Belum juga ada sepuluh detik aku duduk, Pak Dimas langsung menanyakan mataku. “Kebanyakan nangis tadi malam pak,” jawabku jujur. “Nangis? Nangis kenapa?” ‘Gara-gara dirimu itu, pak!’ “Sakit gigi.” Lah, yang keluar malah kebohongan lagi. “Ya ampun, sampai bengkak begitu.” “Hehe, iya pak.” “Lain kali dijaga makannya. Jangan terlalu sering makan yang manis-manis. Gigi kamu keropos?” tanyanya kemudian. ‘hatiku yang keropos!’ “Enggak pak, gigi tumbuh kayaknya.” “Ohhh, pantesan. Sakit banget itu. Dulu saya juga pernah ngalamin itu. Sampai nggak bisa tidur semalaman.” Aku hanya tersenyum sekenanya sebagai tanggapan. “Tapi sekarang udah baikan, kan? Kalau belum, besok saja kita bahas ini. Kamu boleh pulang kalau memang sakit. Hari ini saya juga sedang tidak begitu banyak kerjaan.” “Udah mendingan kok, pak.” “Beneran?” “Iya pak. Kalau masih sakit, saya pasti izin nggak masuk.” “Oke kalau gitu. Seperti yang sempat kemarin saya singgung di mobil, sekarang kita bahas laporan penjualan buku yang di Semarang. ----“ Pagi itu, Pak Dimas menjelaskan panjang lebar tentang kejanggalan laporan penjualan buku di toko kami yang ada di Semarang. Ragaku memang di sana tampak mendengarkan dengan saksama, tapi jiwaku sudah melalang buana entah kemana. Lain kali aku harus minta maaf pada Pak Dimas karena sudah berbohong dan tidak mendengarkan penjelasannya sedikitpun. Dia selalu baik padaku, tapi akunya malah begini, mulai bersikap tidak professional. *** “Mbak Shila, aku duluan ya. Hati-hati nanti kalau motoran.” Riri melambaikan tangan ketika dia sudah siap untuk segera pulang, sementara aku masih terduduk lesu di meja. “Ada apa sih, Shil? Sakit giginya kambuh lagi? Mau aku anter pulang?” tanya Mbak Mella sambil berjalan ke arahku. “Enggak kok mbak.” “Terus kenapa masih diem gitu? Nggak mau pulang? Atau Pak Dimas ngajak lembur? Ini udah jam setengah lima lewat dan kantor juga udah mulai sepi.” “Enggak mbak, bentar lagi aku pulang kok, ini baru mau beres-beres.” “Hmm ya sudah, aku juga duluan ya.” “Iya mbak, hati-hati!” Sekarang tinggal aku yang ada di ruangan ini. Riri dan Mbak Mela baru saja pulang, sedangkan Mas Bayu hari ini izin nggak masuk. Aku menghela napas panjang lalu mulai membereskan mejaku sebelum pulang. Setelah semuanya selesai, aku segera beranjak keluar dari ruangan itu dan bergegas menuju lift. Aku cukup lega begitu sadar sudah tidak banyak orang yang tersisa di kantor ini mengingat ini sudah jam lima kurang sedikit sedangkan jam pulang kantor adalah jam empat. “Tunggu!” tanganku reflek terulur memencet tombol lift agar terbuka kembali begitu mendengar suara itu. Ternyata Pak Dimas. “Loh, kok baru pulang Shil?” tanyanya begitu bergabung ke dalam lift. “Hehe, iya pak.” Aku hanya menjawab sekenanya dan untungnya Pak Dimas tidak bertanya lebih lanjut. Aku tidak tahu kalau Pak Dimas ternyata juga belum pulang. Aku kira dia sudah pulang dari tadi karena pintu ruangannya terus tertutup sejak tadi siang. Ngomong-ngomong, Pak Dimas kenapa pulang telat ya? Kalau aku jadi bos kaya dia, aku pengen berangkat dan pulang suka-suka. Yang penting kerjaan beres, nggak harus semuanya dikerjakan di kantor. Ting! Begitu pintu lift terbuka, aku langsung berjalan lebih dulu dan sedikit buru-buru. Aku bahkan lupa untuk sekedar basa-basi pada Pak Dimas yang tadi keluar lift bersamaan. “Kamu kuat Shil, kuat. Pasti kuat. Cowok di dunia ini banyak. Yang mau sama kamu juga pasti banyak. Yang lebih ganteng dan lebih keren dari Pak Dimas juga banyak.” Aku bermonolog sendiri sepanjang perjalanan menuju parkiran. “HAH! KOK HELMNYA JATUH?” pekikku agak keras begitu melihat helmku tergeletak di samping motor dengan kondisi terbuka ke atas. “KOK BASAH?” Aku melongo kaget begitu sadar helmku basah kuyup. Ini air darimana? Jelas-jelas aku parkir di basemen kantor, jadi nggak mungkin basah andai hujan turun sekalipun. “Ini kelakuan siapa? Sumpah ngeselin bangeeeet!” Brakkk! Aku membanting helm itu ke tanah sampai menimbulkan bunyi yang cukup kuat. Udah perasaan lagi bad mood banget, sekarang malah ada kaya gini! “Hihhhh!” karena saking emosinya, aku menendang helmku cukup kuat sampai menggelinding sejauh beberapa meter ke depan. Mataku langsung mengerjap beberapa kali ketika melihat helmku tiba-tiba berhenti karena ditahan seseorang bersepatu hitam. Pelan-pelan pandanganku naik, dan lidahku seketika kelu begitu tahu siapa pemilik sepatu hitam itu. “Eee, P-pak Dimas? I-tu, saya ---“ “Saya antar kamu pulang.” “Heee?!” “Saya nggak sebodoh itu Shil, sampai percaya gitu aja waktu kamu bilang kalau kamu lagi sakit gigi. Saya juga tahu tadi kamu sama sekali nggak mendengarkan penjelasan saya. Kamu sedang ada masalah?” “Eee, itu---“ “Saya nggak akan tanya tentang masalah kamu. Sekarang masuk mobil lalu saya antar kamu pulang.” “Nggak usah, pak. Saya bisa pulang naik taxi atau ojek online.” Aku reflek berjalan mundur ketika Pak Dimas justru berjalan ke arahku, membawa helmku yang basah dan kacanya sudah pecah. Tiba-tiba saja, Pak Dimas merogoh saku jasnya lalu dengan santainya menempelkan sapu tangannya di pipiku. “Pakai itu buat ngelap air mata sama ingusmu.” He? Air mata? Ingus?” Belum sempat aku berhasil mencerna kalimat Pak Dimas, aku dibuat kaget sekali lagi ketika Pak Dimas meraih tanganku lalu menarikku menuju mobilnya. “Saya nggak akan tanya apapun tentang masalah kamu. Kalau besok mau izin, silahkan, saya izinkan. Tenangkan dulu pikiran kamu. Saya nggak mau ngomong sama patung seperti tadi siang,” ucapnya dengan ekspresi datar begitu berhasil menarikku sampai mobilnya. “Masuk!” perintahnya dengan nada bossy yang terdengar tidak seperti biasanya. “I-iya, pak.” Saat ini aku tidak punya pilihan selain mengangguk dan mengiyakan ucapannya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD