Aku menghirup napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Kuulangi kegiatan itu sampai kurang lebih lima kali. Hari ini adalah hari pertama aku masuk kerja, itu berarti aku harus menunjukkan salah satu sisi terbaikku pada semua yang akan menjadi rekan kerjaku nanti.
Aku rasa aku perlu memperbarui niatku kerja di perusahaan ini setelah insiden beberapa hari lalu yang sempat membuatku nangis semalaman karena merasa patah hati sepihak. Patah hati saja rasanya sudah sangat menyakitkan, ditambah lagi selama ini cintaku yang sudah ada bertahun-tahun hanya sebatas cinta sepihak. Benar-benar ya, kalau dipikir lagi aku yang sekarang sangat menyedihkan.
Jujur saja, semangat menggebu untuk kerja dengan Kak Dimas tiba-tiba saja menguap entah kemana. Aku sempat merasa usahaku sampai sejauh ini sia-sia. Tapi ya sudah, aku yakin Tuhan sudah memepersiapakan segala yang terbaik untukku. Jadi, mulai hari ini juga aku harus memperbarui niatku agar aku tidak merasa bersalah kepada HRD yang sudah memberi kepercayaan penuh padaku.
“Selamat pagi,” Sapaku sopan, begitu aku masuk ruangan tempat meja kerjaku berada. Sebelum ini aku sudah mengubungi HRD dan dia bilang, ruanganku satu ruangan dengan konten kreator, admin finance, juga advertiser perusahaan.
“Mbak Shila ya?” Tanya salah seorang perempuan berkacamata yang mengikat rambutnya ekor kuda.
“Iya,” jawabku sambil tersenyum ramah.
“Wah, sini mbak. Kenalan dulu.”
Hatiku menghangat ketika tiga orang yang ada di ruangan itu menyambutku dengan sangat ramah. Ada Mas Bayu si konten kreator, Riri si admin finance, dan terakhir Mbak Mela si advertiser.
“Shila kalau butuh bantuan jangan sungkan ya,” ucap Mbak Mela dengan senyum khasnya.
“Oh iya mbak, terimakasih banyak. Mohon bimbingannya,” balasku yang langsung mendapat acungan jempol Mbak Mela.
“Siap.”
Aku menarik napas panjang sekali lagi, lalu menghembuskannya perlahan. Hal yang pertama kali aku lakukan adalah menata meja kerjaku. Karena aku masih sangat baru, aku hanya membawa buku catatan, bulpoin, juga laptop yang memang dari dulu selalu aku bawa ke tempat kerja meski perusahaan menyediakan komputer khusus.
“Shila sudah datang?” Aku langsung menoleh begitu mendengar namaku disebut.
“Saya?”
Aku membeku untuk beberapa detik begitu melihat Kak Dimas, -- ralat, maksudku Pak Dimas, menatapku dengan senyum lebar. Oke, kurasa mulai detik ini juga aku harus mengganti panggilan dari ‘kak’ menjadi ‘pak’.
“Kamu?”
Aku hanya bisa menelan ludah ketika Pak Dimas memicingkan matanya. Dia ingat aku kah?
“Kamu yang kemarin nolong saya bukan? Nama kamu juga Shila.” Aku langsung menegakkan badanku ketika Pak Dimas mendekat. “Atau saya salah?” lanjutnya kemudian.
“Menolong apa ya pak? Bapak mungkin salah orang, hehe. Saya baru pertama kali ini lihat bapak secara langsung.” Jawabku sembari tersenyum sesopan mungkin. Oke, sepertinya untuk saat ini berbohong lebih baik.
“Gitu, ya?”
“Iya, pak.”
“Ya sudah. Saya kesini cuma mau memastikan kamu datang. Saya tunggu setengah jam lagi di ruangan saya, habis itu temani saya ke semarang.”
“Hah?” Aku reflek menutup mulut ketika tanpa sadar memekik karena terkejut. “Maaf, pak.” Aku langsung menepuk bibirku beberapa kali karena keceplosan.
“Nggak papa, wajar kalau kamu kaget. Bulan ini saya akan sering ke luar kota, maka dari itu saya butuh sekretaris untuk membantu saya. Saya harap kamu bisa bekerja dengan baik.” Balasnya sambil tersenyum tipis, lalu detik berikutnya masuk ke ruangan yang pintunya terletak tepat di depan meja kerjaku.
“Waaaah! Pantesaaaan, Pak Dimas sampe belain cari sekretaris. Kayaknya rumor perusahaan kita mau kerjasama dengan beberapa perusahaan di luar kota beneran mau terealisasikan.” Ucap Riri sambil tersenyum dengan lebarnya.
“Aduh, saya—“
“Pakai aku kamu aja mbak, biar santai. Aku lebih muda dua tahun dari Mbak Shila kok.” Potong Riri sambil meringis.
“Iya Shil, santai aja ngomongnya. Nggak usah pakai saya-sayaan. Pakai saya kalau sama Pak Dimas aja.” Balas Mbak Mela yang membuatku tersenyum sabil mengangguk.
“Kamu butuh info tentang Pak Dimas nggak Shil?” Itu suara Mas Bayu.
“Info?”
“Iya, info. Maksudku, kamu kan sekretarisnya, itu berarti kamu akan sering terlibat sama Pak Dimas. Masa iya kamu nggak tahu cara ngadepin dia gimana?”
“Hehe, bener juga ya?”
“Sini, aku bisikin.” Mas Bayu mengisyaratkanku untuk mendekat.
“Woy lah, ngegas banget pedekatenya, pakde.” Komentar Riri sambil tertawa terbahak.
“Sialan! Pakde-pakde gundulmu!” Mau tidak mau aku ikut tersenyum ketika Riri dan Mbak Mela tertawa, sementara Mas Bayu tampak sedikit kesal.
Awal yang bagus, sepertinya mereka akan menjadi rekan kerja yang menyenangkan. Amin.
***
Sudah hampir satu jam rasanya jantungku berasa mau lompat karena duduk satu mobil dengan Pak Dimas. Oke, katakan aku lebay dan sebagainya, tapi kalau kalian jadi aku, aku rasa kalian juga akan merasakan hal yang sama. Meski aku sudah berniat mengubur cinta sepihakku, tapi aku rasa ini tidak akan mudah. Sama sekali tidak mudah. Kenapa? Karena seterusnya aku akan lebih sering melihat wajahnya juga berinteraksi dengannya.
Entah kenapa, tiba-tiba saja aku merasa menyesal sudah mendaftar kerja jadi sekretarisnya Pak Dimas. Jarak raga kami memang dekat, tapi jarak hati kami sepertinya sangat jauh. Terlebih lagi, aku sendiri tidak tertarik menjadi orang ketiga dalam hubungan orang lain. Tidak akan pernah!
“Shila,”
“Iya, pak?” Seketika aku menoleh ke belakang ketika Pak Dimas memanggilku. Ngomong-ngomong kami ke Semarang bertiga, yakni aku, Pak Dimas dan tetu saja pak sopir.
“Nanti ketika ketemu klien, jangan lupa catat semuanya, bahkan hal-hal kecil pun tetap harus kamu catat. Klien yang akan kita temui nanti adalah klien besar. Dia punya perusahaan penerbitan juga toko buku terbesar di pulau jawa. Jadi kita tidak boleh melewatkan hal sekecil apapun.”
“Siap, pak.”
Pak Dimas mengangguk lalu kembali fokus ke layar ponselnya. Barusan aku memang bilang kalau aku ingin mengubur perasaanku, tapi entah kenapa aku sangat bahagia hanya karena Pak Dimas menyebut kata ‘kita’ yang artinya aku dan dia. Oke, ini jelas konteksnya untuk sebuah pekerjaan, tapi tetap saja rasanya susah sekali mengontrol perasaan.
***
“Kerja bagus, Shil.” Ucap Pak Dimas sore itu, ketika akhirnya kami selesai ketemu dengan klien dan menghasilkan kesepakatan yang cukup menjanjikan untuk perkembangan perusahaan.
“Terimakasih banyak, pak.” Balasku sambil mengangguk, lalu tersenyum.
Aku berjalan mengekor di belakang Pak Dimas sambil sesekali membalas pesan dari adikku yang menanyakan keberadaanku. Apa aku belum pernah bercerita tentang adikku? Kalau belum, biar kuberitahu tentang dia, sekarang.
Aku memiliki satu adik yang juga berjenis kelamin perempuan. Dia bernama Nayla, atau biasa dipanggil Nay. Umur kami terpaut cukup jauh, karena saat ini adikku baru kelas satu SMA. Sebenarnya kami tidak begitu dekat karena sebelum ini aku lebih sering di Jakarta. Namun entah kenapa, ketika aku memutuskan untuk menetap di Jogja, kami mendadak jadi sangat akrab. Ya, kalian tahu lah definisi ‘akrab’ untuk ukuran kakak beradik.
“Shil,” panggil Pak Dimas tepat ketika aku hendak masuk mobil.
“Iya pak?”
“Saya boleh tanya sesuatu nggak?” Tanya Pak Dimas dengan ekspresi yang menurutku agak sedikit aneh.
“Tanya apa pak?”
Jantungku berdetak dua kali lipat ketika Pak Dimas mendekat dan seketika wangi maskulin menguar dari badannya, lalu masuk dengan sopan ke indra penciumanku. Benar-benar lancang!
“Kamu lebih suka mana, barang branded atau perhiasan?”
“Hah?” Aku melongo tak percaya mendapat pertanyaan seperti itu di hari pertamaku bekerja. Ini maksudnya apa?
“Teman perempuan saya ulang tahun, jadi saya berencana memberinya kado. Tapi saya masih bingung. Saya pikir nggak ada salahnya saya tanya kamu, karena kamu juga perempuan.”
Mendengar itu, seketika aku paham benar apa arti dari kata ‘sakit tapi tak berdarah’. Otakku benar-benar keterlaluan, bisa-bisanya hampir salah paham dengan pertanyaan itu? Ya ampun!
“Teman saja, atau teman dalam tanda kutip, pak?” Tanyaku yang membuat Pak Dimas tersenyum kikuk.
Ya Tuhan, sejak kapan melihat orang tersenyum bisa jadi semenyakitkan ini? Huhu!
“Pasti ini teman dalam tanda kutip. Kalau bapak tanya saya, jelas saya jawab perhiasan. Karena menurut saya, perhiasan memiliki arti yang sedikit lebih romantis daripada sekadar barang branded.”
“Gitu ya?”
Aku mengangguk sambil tersenyum. Saat ini bibirku boleh saja mengambang, tapi perlu kalian tahu saja, saat ini hatiku sudah menyusut sampai taraf tak tertolong.
“Terimakasih, Shil.” Ucap Pak Dimas sambil mengulurkan tangannya.
Aku sempat ragu sejenak, sebelum akhirnya mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Pak Dimas.
“Sama-sama, pak.”
“Untuk seterusnya, semoga kita bisa terus bekerja sama dengan baik seperti hari ini.”
“Pasti pak, saya usahakan.”
Sejak hari itu juga, tekadku untuk melupakan perasaan sepihakku pada Pak Dimas semakin kuat. Aku tahu ini tidak akan mudah, tapi aku harus yakin kalau aku pasti bisa.
Atau kalau tidak, aku harus rela makan hati setiap hari.
***