+#- 18

1532 Words
'Kalo capek, bilang capek. Kalo sedih bilang sedih. Jangan sok kuat. nangis juga nggak papa, sini pundak ku nganggur kok' Rangga "Stop Kak! Capek!" Gue menoleh menatap resa yang tengah menunduk bertumpu pada kedua lutut, dilihat hari napasnya sih keliatan banget dia kecapean, mungkin karena ngikutin gue yang udah hampir 20 kali muterin taman. Pagi emang lagi cerah, sayang kalo nggak di manfaatkan, apalagi jarang banget bisa olahraga selain hari libur kayak gini. Dan yang gue tau Resa nggak pernah lari sejauh yang gue lakukan. pantas sih dia terengah kayak gitu. "Lah udah capek aja. Baru berapa kali puteran." Ledek gue sembari memicingkan mata menatap kearahnya. Gue terkekeh pelan saat melihat bagaimana reaksi Resa saat menatap gue memalui ekor matanya. Kayaknya emang beneran capek ini anak. "Yuk lah. duduk di taman aja." Ajak gue. Kasihan juga anak orang Sampek ngos-ngosan kayak gitu, gue nggak tega juga lihatnya. "Sini aja ngapa kak, nggak kuat jalan nih." Ujarnya sembari duduk di atas rumput taman. "Di depan situ doang." Telunjuk gue mengarah pada sebuah kursi yang ada di bawah pohon rindang tak jauh dari tempat kami berada. "Tuh!" "Mager mau jalan, kak. Capek." Gue mendengus. Ini anak emang agak rewel soal urusan jalan kalo lagi capek, gue memilih jongkok tepat di hadapannya, "yuk!" Resa menatap gue sekilas sebelum memekik. "Yey!" Setelahnya dia langsung menghambur ke punggung gue. Gue beranjak, menggendong dia dan membawanya ke kursi yang gue maksud tadi. Kami diam, Resa memilih menyandarkan dagunya di pundak gue, dengan napas teratur dan damai, dari ekor mata gue sempet mengintip apa yang dilakukan Resa, dia menatap kosong hamparan taman yang dipenuhi riang tawa dan semangat anak muda, tak lupa anak-anak yang tentu saja diawasi oleh orang tuanya. "Turun gih." Ucap gue setelah kami sampai, tubuhnya yang memang mungil membuat gue dengan mudah berjalan cepat, matahari yang mulai naik membuat udara mulai panas. Dan gerah gue rasakan. Apalagi Resa memeluk leher gue cukup erat. "Lah, udah sampek aja, kak?" "Iye, Lo kelamaan bengong sih, makanya nggak sadar." Ucap gue malas. Resa terkekeh pelan, lalu dia memilih turun dan duduk di kursi taman yang sudah berisi beberapa coretan Tipe-X atau pena, yang bisa gue tebak kelakuan anak remaja yang nggak bertanggung jawab, merusak fasilitas umum yang harusnya nyaman jadi kotor kayak gini. Entah apa yang mereka pikirkan soal ini, jika mereka menganggap perbuatan mereka keren, malah menurut gue apa yang mereka lakukan nggak ada kerennya sama sekali, sampah dan cuma mengotori. Nggak paham gue sama orang model gitu. Gue menyapu pandangan gue ke sekitar taman, mencari sesuatu yang bisa gue beli untuk menghilangkan haus yang gue rasa. "Sebentar!" Ucap gue lalu berlalu meninggalkan Resa untuk membeli minuman di pedagang asongan yang lewat di sekitar taman. "Nih." Gue mengulurkan sebotol minuman rasa jeruk ke Resa. "Thanks bang, Lo baik banget deh." Puji Resa dengan senyum yang masih tertahan di wajahnya. Gue terkekeh pelan, "Wkwkw nggak usah lebay lah, gue emang selalu baik kalo Lo lupa!" "Iye-iye loh mah baik, baik banget malah, sangking baiknya sampek pahala Lo nggak kelihatan!" Ujar Resa membuat gue bingung. "Apaan dah, ngomong muter-muter, kagak ngerti gue." Resa terbahak, memperlihatkan garis mata sipit dengan lesung di sebelah kiri menambah kecantikannya, banyak anak cowok di sekolah yang emang jatuh hati sama dia, cuma ya itu, dia berpegang teguh pada pendiriannya, nggak mau pacaran dulu, mau fokus sama sekolahnya. Alasan kelise memang, karena gue nggak tau gimana dia di dalamnya. Karena banyak dari mereka menutup diri dari orang luar, dan mungkin Resa salah satu dari orang itu. Gue sih cukup percaya dengan pilihan dia, "Enggak kak, intinya gue kagum aja sama Lo, udah baik, perhatian, peduli lagi ...," Ada jeda saat dia melirik gue. "Sayang jomblo!" Setelahnya kembali terbahak, sialan ini anak, udah buat gue melambung terus dijatuhkan. Kan rasanya lumayan banget! Sakit tak berdarah, gue sih cuma bisa terkekeh pelan untuk membalas ucapannya. "Sialan!" Ucap gue di sela tawa. Sekali lagi Resa terbahak, cewek di depan gue ini memang memiliki daya tarik tersendiri saat tertawa. Lucu dan menggemaskan, nggak heran banyak yang suka sama dia. "Tapi, tau nggak si Lo bang ... Kebanyakan dari mereka, tertawa itu cuma untuk menutupi kesedihannya. Sama halnya kayak gue." Ucapnya lirih di akhir kalimat, gue menoleh menatap wajah Resa yang kini berubah sendu, dan tatapannya masih tertuju pada sekumpulan anak yang tertawa riang bersama keluarganya. Gue terdiam, jujur gue nggak tau musti jawab gimana, yang gue lakuin cuma mengikuti pandang Resa, dan setelahnya gue diam. "Terkadang gue itu iri liat mereka yang bisa tertawa lepas bersama keluarga, dan memiliki quality time bersama. Walau terkesan sepele tapi itu berarti buat gue." Tatapan gue terarah pada Resa yang menunduk memperhatikan sepatunya. Gue tau apa yang di rasakan Resa, karena gue juga ada di posisi dia, tumbuh kembang tanpa perhatian orang tua yang selalu sibuk dengan pekerjaan. Dan kadang gue juga iri dengan mereka yang memiliki kebahagiaan lengkap dari keluarga, sama seperti apa yang Resa rasakan. "Kadang kita butuh perhatian kecil. Gurat bangga saat gue berhasil dapat rangking di sekolah, atau saat gue berhasil menjuarai olimpiade matematika, tapi nyatanya? Mereka seolah nggak peduli, cuek dan abai." Ucap resa dengan nada sendu yang begitu ketara. Kami terdiam setelahnya, cukup lama hanya untuk merenungkan apa yang ada di pikiran kita masing-masing. Menertawakan sesuatu yang berhasil membuat kita nggak dianggap. "Gue tau apa yang Lo rasain. Bahkan gue juga ada di posisi lo, kita cuma bisa melihat mereka tanpa tau seperti apa rasanya diperhatikan seperti mereka." Resa mengangguk pelan, dia mendongak menatap dedaunan yang ada di atas kepalanya. "Andai gue bisa memilih, mungkin gue akan memilih untuk lahir di antara orang sederhana yang kaya akan kasih sayang, dari pada orang berada tapi haus akan kasih sayang." Angin berhembus, seolah mendukung suasana melow yang tengah kamu rasakan. "Kadang hidup itu lucu. Mereka melihat kita seolah sempurna dan lengkap, mewah karena semua apa yang kita inginkan bisa terwujud tanpa harus merengek." Ada jeda sesaat untuk Resa menatap kearah gue. "Tapi mereka nggak tau, ada sesuatu yang membuat hati ini terasa kosong, harta dan kekayaan nggak bisa membeli apa itu kasih sayang." Gue mengangguk pelan, bersandar pada sandaran kursi dan melarikan tatapan pada beberapa anak yang bermain di taman. "Mereka hanya bisa melihat tanpa merasakan." ucap gue. "Mereka nggak tau gimana berharganya sebuah kasih sayang dan perhatian dari orang tua. Mungkin kalo mereka tau gimana rasanya di posisi kita, mereka nggak akan mau." "Walau kaya sekalipun untuk apa kalo nyatanya orang yang Lo sebut orang tua malah nggak peduli sama diri Lo." "Dengan alasan untuk kebahagiaan kita, mereka sibuk dengan dunianya tanpa berpikir jika kebahagiaan kita itu sederhana. Perhatian dan rasa peduli dari mereka aja udah cukup untuk kita." Jawab gue sembari tertunduk. Sesak gue rasa, rindu seakan membuat d**a gue penuh. Gue nggak tau kapan mereka akan berhenti mengejar dunia dan menoleh untuk peduli pada gue. Entahlah, hanya mereka dan Tuhan yang tau. Gue nggak peduli lagi. "Kak?" Gue menoleh kearah Resa yang kini menunjukan cengiran kecil. "Ya?" "Laper..." Gue terkekeh pelan melihat raut wajahnya. Dia ini paling bisa mencairkan suasana. "Melow Mulu bikin perut gue keroncongan. Makan yuk?" Ujarnya sembari berdiri dengan tangan memegang perutnya. "Bubur?" Tanya gue, mengucap salah satu makanan favoritnya. Resa menggeleng pelan, kening gue berkerut karenanya, tumben ini anak menolak tawaran gue. "Bosen gue bubur Mulu." "Terus apaan?" Dia menggeleng pelan sembari menatap kearah gue "Nggak tau." "Lah, gimana geh? Yakali melow bikin Lo oon?" Canda gue yang di balas tampolan pelan di pundak gue, dan gue hanya terkekeh pelan. "Sambil jalan deh, siapa tau nanti Nemu makanan di jalan." Ujarnya lagi. "Makanan yang orang buang maksud Lo?" "Kak?" "Ya?" "Jangan becanda, atau gue tabok nih!" Ancam resa dengan menunjukan kepalan tangan yang dia miliki. Gue terbahak setelahnya, pagi ini terasa begitu cerah dengan apa yang gue alami sekarang, setelah berbagi kesedihan yang kita rasa, bercanda dan menghabiskan pagi bersama membuat beban gue terasa sedikit berkurang. Menceritakan apa yang kita rasakan memang salah satu jalan mengurangi tekanan yang ada. Terlebih kami memiliki pengalaman yang sama dan itu membuat gue nyaman untuk mengeluarkan semuanya, nggak perlu ada yang gue tutupi karena dia juga merasakan apa yang gue rasa. Langkah kami terhenti saat melihat sekumpulan anak yang terlihat tengah asik memainkan beberapa alat musik di sudut taman. Membawakan lagu killing me inside dengan judul kamu, gue tau lagi itu, walau nggak begitu hapal tapi gue tau. "Bagus ya?" Tanya resa mendengar lantunan indah yang gue akui emang bagus, terlebih vokalis mereka memiliki suara yang begitu menyentuh, hingga membuat lirik demi lirik terdengar begitu syahdu. "He'em." Jawab gue mengakui itu. "Lo bisa main gitar?" Tanya Resa menoleh kearah gue, dan gue hanya mengangguk sebagai jawaban karena gue masih larut dalam lirik dan melodi yang di bawakan anak-anak itu. "Boleh dong kalo kapan-kapan gue minta Lo nyanyi buat gue?" Seketika gue menoleh, menatap Resa dengan kening berkerut. "Serius?" "He'em, pengen dengar suara kakak, gue. Ngomong aja udah merdu gitu apalagi nyanyi." "Sialan, ngejek apa gimana nih?" "Siapa?" "Lo lah?" "Lah gue muji Lo kali, ngeledek dari mana coba?" Gue tertawa karenanya, entahlah, pagi ini gue rasa terlalu banyak tertawa hanya karena celoteh Resa yang membuat gue merasa nyaman. Bahakan sampai gue lupa dengan El dan juga Adit. Apa kabar mereka ya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD