+#- 17

1500 Words
Elina. Gue menggeliat untuk kesekian kalinya saat mendengar dering ponsel yang cukup bising berhasil menggangu nyenyak tidur gue. Dengan malas gue mencoba meraih ponsel yang ada di atas nakas, setelahnya tanpa peduli siapa si penelepon gue langsung menjawab panggilan itu. "Akhirnya di angkat juga." Suara itu langsung membuat gue membuka mata dengan sempurna, gue beranjak duduk di atas ranjang, dengan tangan yang bebas gue mengusap mata gue untuk mendapatkan kesadaran. "Iya, Dit. Kenapa?" tanya gue pelan sembari menggaruk ketiak gue yang sedikit gatal. tanpa melihat siapa yang menelepon gue sudah tau siapa orangnya, terlalu paham dengan suara sahabat gue ini. "Lo dimana? Jalan yuk, bete gue." ucap dia dengan dengusan di akhir kalimat. "Jalan kemana? Baru bangun gue." Balas gue, memilih turun dan beranjak ke kamar mandi, gue melirik jam Doraemon yang bertengger indah di atas nakas, lalu menguap pelan saat melihat jam masih menunjukan pukul 7.15. "Kemana Tah, sekalian ada yang pengen gue ceritain ke Lo, bisa kan?" Gue berpikir sejenak menatap pantulan diri gue yang acak-acakan pagi itu, rambut berantakan, noda iler kering di pipi sebelah kanan dan mata panda karena begadang maraton nonton anime semalam. "Jam 9 keatas gue bisa, pagi ini mau lanjut tidur lagi kayaknya. Ngantuk." Gue mendengar decakan pelan di seberang sana, gue tau Adit bakal berceramah panjang setelah ini, menjadi emak-emak dadakan yang ngomel prihal anak gadis yang nggak boleh jorok males dan lain-lain. kebiasaan bocah itu nggak pernah berubah dari dulu, selalu berceloteh panjang tentang ini itu, kadang gue suka kesal dengan celotehnya. "Lo ini, umur udah bongsor kelakuan masih bocah aja, sekali-kali lah El, bangun pagi olahraga atau ngapain kek biar nggak kayak anak perawan_" bla bla bla dan sebagainya, gue terlalu paham dengan ceramah yang hampir gue denger di tiap pagi gue, malas mendengar ocehan panjang Adit gue meletakan ponsel di atas wastafel, memilih menggosok gigi dan mencuci muka. abaikan saja, sebodo amat dia mau ngoceh sampek berbusa juga. Gue beranjak setelahnya, menilik pada ponsel yang ternyata ada panggilan lain yang masik selain Adit. Nama Rangga tertera di sana, gue terdiam sesaat, sebelum menerima panggilan dari Rangga dan mengantrikan panggilan Adit. "Halo, ngga?" sapa gue. "Hai El, dimana?" "Di rumah, baru bangun gue." Memilih duduk di di atas ranjang dengan kaki bersila, gue memindah ponsel si telinga gue yang satu lagi dan mengapit dengan kedua pundak, tangan gue sibuk membuka kancing baju piyama yang gue kenakan. "Kenapa?" "Turun gih, gue di bawah sama bapak Lo nih." hah? seriusan ini anak udah di bawah. gue berdecak pelan sebelum menanggapi ucapannya. "Ngapain?" Ini nih sahabat gue yang hampir rajin nyatroni rumah gue di Minggu pagi, dengan alasan bawain gue sarapan bubur atau nggak ngajak gue joging olah raga pagi. Gue berdecak pelan lalu beranjak kearah lemari. "Mumpung minggu, joging lah biasa." Gue tak langsung menjawab ajakan Rangga dan sibuk memilih baju untuk jalan dengan Adit nanti, secara nggak biasanya Adit ngajak jalan gue di hari libur gini, biasanya kan sekalinya jalan selalu sama si dua curut yang selalu ngikut kemana kita pergi. "El?" Gue tersadar saat Rangga memanggil, gue berdehem sebentar sebelum menolak halus ajakan Rangga pagi ini. "Eh, itu... Em sory nih ngga, kayaknya pagi ini nggak joging dulu deh." "Kenapa?" "Adit nelpon gue, ngajak jalan nanti jam 9, jadi maaf ya, lain kali deh kita joging lagi." Agak nggak enak sih sebenernya nolak ajakan Rangga, tapi mau gimana lagi ajakan Adit sulit gue tolak apalagi hari libur gini dan itu jarang banget, gue nggak mau aja ngelewatin kesempatan emas buat berduaan sama Adit. Cukup lama gue nggak denger jawaban dari Adit membuat gue melihat ponsel dan memastikan apakah panggilan Adit terputus atau nggak. "Dit?" "Eh iya, El. Sorry. Yaudah kalo gitu gue joging sendiri deh. Have nice day ya. Assalamualaikum." Ucap Adit menutup panggilannya tanpa menunggu jawaban salam dari gue. "Waalaikumsalam." Balas gue menatap ponsel, jujur mendengar jawaban Rangga membuat sesuatu dalam diri gue agak aneh, gue nggak tau itu apa. Mengabaikan tingkah Rangga gue menempelkan kembali benda pipih itu di telinga gue. "Halo El, halo... elah di antrikan dong." decak Adit saat tahu gue menahan panggilannya tadi. Gue tersenyum mendengar ucapan cerewet dari Adit. Entah kenapa apa yang di bahas Adit selalu membuat gue tersenyum. "Apaan elah." Jawab gue ketus, menutup rasa bahagia yang membuncah. "Lo telpon siapa elah, gue lagu kultum juga main di antrikan seenak jidat." "Rangga tadi nelpon ngajak gue joging, padahal Lo tau gue ngantuk banget." "Rangga si kunyuk?" Gue mengangguk tanpa sadar, "Hem..." "Tumben dia berani." Gue mengerut kening mendengar ucapan Adit, "maksud Lo?" "Ah, nggak. Yaudah nanti gue jemput jam 9 ya. Bye!" Panggilan gue di putus sepihak, dan kalimat terakhir berhasil membuat gue penasaran, sialan Adit selalu saja menggantung kalimat yang berhasil membuat gue penasaran seperti ini. Mengedik bahu malas gue melempar ponsel gue Laras ranjang lalu berlalu ke kamar mandi untuk mandi dan bersiap untuk jam 9 nanti, gue mau berpenampilan terbaik agar bisa memukau Adit nanti. °°° Rangga. Gue menatap ponsel yang baru saja gue gunakan untuk menelpon Elina, mendengar jawabannya jadi membuat gue lesu, El lebih memilih Adit ketimbang gue. Gue tau ini akan terjadi, gue tau kalau El akan lebih memilih Adit ketimbang gue, tapi kenapa harus pagi ini, apa nggak ada hari lain untuk menguasai perhatian El dan membiarkan gue bareng El walau sehari saja? Gue mendengus, gue nggak tau apa yang Adit lakuin setelah ini, dan gue nggak peduli. Gue menyimpan kembali di saku celana gue lalu beranjak. "Loh, ngga. Udah mau jalan?" Gue menoleh menatap Mak Nana yang baru saja selesai menyiram bunga di taman dan berjalan menghampiri gue di depan teras rumah. Gue tersenyum lembut. "Iya, mak. Keburu siang." "Loh, nggak sama El?" tanya Mak Nana dengan raut bingung. gue tersenyum sembari menggeleng pelan. "Nggak Mak, El mau ada perlu nanti jam 9." "Loh tumben, biasanya El masih tidur jam segini." Tanya Mak Nana bingung, gue hanya tersenyum membalas ucapan beliau. "Nggak tau mak, yaudah Adit pamit dulu Mak." Ucap gue berpamitan tak lupa menyalami tangan Mak Nana sebelum beranjak meninggalkan halaman rumah. Gue kecewa karena sekali lagi gue kalah, gue kalah oleh Adit yang entah kenapa selalu berhasil mendapat perhatian dari El. Gue nggak tau, apapun yang gue lakuin selalu nggak pernah di anggap oleh El. Mungkin ini yang di namakan kalah sebelum berperang. Gue lari secepat yang gue bisa, mencoba melampiaskan kekesalan dan menekan rasa kecewa yang berhasil membuat d**a gue sakit. "Loh kak Rangga?" Gue menoleh sekilas saat gue berhenti dan menunduk dengan tangan bertumpu pada dua lutut. "Tumben sendiri kak, kak El kemana?" Gue tersenyum saat sosok itu berdiri tepat di sebelah gue. Gue menegakan tubuh lalu menatap dia dengan santai. Menyembunyikan rasa kecewa dalam-dalam. "Nggak ikut dia pagi ini," jawab gue mulai merentangkan tangan untuk peregangan, gue suka joging dan olah raga di hari libur seperti ini, apalagi udara dan cuaca pagi selalu membuat gue nyaman dan menghilangkan rasa jenuh karena belajar selama sepekan penuh. "Ada acara katanya." Resa sosok cewek yang berdiri samping gue mengangguk paham. "Lo udah dari tadi?" Tanya gue setelahnya. "Baru juga keluar kak, eh liat kakak lari kenceng banget tadi, terus coba nyusul dan nggak keuber ternyata." Gue terkekeh pelan mendengar jawaban polos dari Resa. "Mau joging bareng?" "Wah boleh dong, biar ada temen." Jawab Resa membuat gue terkekeh dan gemas dengan tingkahnya, gue mengacak puncak kepala yang tertutup hijab itu. "Yaudah yuk." Resa mengangguk lalu kami beranjak, berlari kecil mengelilingi taman komplek di temani pembicaraan ringan dan tak jarang tawa gue pecah saat mendengar celoteh konyol dari Resa. "Kak, aku mau tanyak boleh nggak?" Gue menoleh menatap Resa. "Tanya apaan?" Jawab gue, gue berjalan pelan mengimbangi langkah Resa yang sudah lelah berlari. "Menurut kakak, aneh nggak sih kalo kita ngejer sesuatu yang jelas nggak mungkin bisa kita raih?" Kening gue berkerut saat adik kelas gue ini menanyakan sesuatu yang seolah menyindir gue tanpa dia sadari, gue terdiam sesaat mencoba mencari jawaban yang pas untuk pertanyaan Resa. "Tergantung." "Ya, mati dong kak." Jawab asal Resa sembari terkekeh pelan. Gue ikut terkekeh pelan gemas dengan apa yang di ucapkan Resa dengan nada menggemaskan. "Bukan itu, maksud gue tergantung apa masih ada celah yang bisa kita masuki untuk mendapatkan sesuatu itu walau kecil kemungkinannya. Kalau misal ada nggak ada salahnya kita coba masuk, dan kalau udah nggak ada lebih baik berhenti dan mencoba melepaskan untuk kita ikhlaskan" Sama seperti apa yang gue rasakan ucap gue dalam Hati, gue menatap Resa sekilas lalu melarikan pandang gue ke jalanan, "sama halnya kayak cinta ya kak, lebih baik di lepaskan dari pada sakit nantinya." Gue terkekeh mendengar jawaban Resa, "benar apa yang Lo bilang, tapi untuk anak kecil kayak Lo kayaknya nggak pantes deh Lo ngomongin cinta sekarang." Gue menjeda kalimat gue. "Terlalu dini buat anak bau kencur kayak Lo." Ucap gue mengacak kembali puncak kepalanya lalu berlari meninggalkan Resa yang berteriak kesal dengan tingkah konyolnya, gue tertawa lepas dan lupa dengan rasa kecewa yang tadi gue rasakan. Semoga gue bisa melupakan dan mengiklaskan dia yang selamanya nggak akan bisa gue jangkau.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD