3. Obat Sakit Kepala?

1123 Words
Mata Ruby masih melebar, jantungnya berdetak tak karuan. Semua terjadi begitu cepat, bagaimana Ryden menggenggam tangannya lalu menariknya dan entah bagaimana saat ini dirinya telah berada di atas ranjang dalam dekapan suaminya itu. Rayden memeluknya dengan erat, sangat erat hingga dirinya hampir merasa sesak. “Jangan pergi … jangan pergi ….” ucap Rayden lirih di mana airmata lolos dari matanya yang terpejam. Kenyataan pahit yang terbuka benar-benar membuatnya terpukul hingga membuatnya seakan berada dalam kondisi setengah sadar. Jantung Ruby bergetar, ia mengangkat kepala dan melihat sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya, Rayden menangis. Perlahan mata Ruby tampak basah, ia seakan merasakan apa yang suaminya rasakan sekarang. Tangan Ruby terangkat, menyeka air mata Rayden, mengusap air mata yang membasahi pipi di mana dalam hati ia berjanji tak akan membuat Rayden menangis seperti sekarang ini. Tak terasa sebulir air mata lolos dari mata Ruby, kedua tangannya pun menangkup wajah suaminya itu. Ia lalu mengangkat kepala dan mempertemukan dahinya dengan dahi sang suami, hidung mancung mereka pun bertemu. Ruby memejamkan mata, dinikmatinya posisi yang rasanya bagai mimpi selama ini. Meski statusnya adalah pengantin pengganti, sebenarnya ia telah mencintai Rayden. Sudah lama, sangat lama. Namun, ia tak akan lupa bagaimana bisa ia jatuh cinta pada suami yang membencinya meski suaminya itu sama sekali tak mengingatnya. *** Jarum jam terus berputar, tak terasa bulan telah menggantikan tugas matahari menjadi penerang kala gelap tiba. Di sana, di atas ranjang, Rayden dan Ruby terlelap dengan posisi Ruby memeluk Rayden. Ruby tertidur saat Rayden terus mendekapnya. Kerutan di dahi Rayden sedikit tampak saat ia mencoba membuka mata. Ia mengerjap perlahan seraya berusaha segera meraih kesadaran. Perlahan, kilatan ingatan yang terjadi sebelumnya terbesit dalam kepala, membuat matanya terbuka lebar. Rayden terdiam selama beberapa saat sampai tiba-tiba matanya mulai kembali berair, terasa pedas saat teringat foto yang ayahnya tunjukkan tentang Airin. “Ngh ….” Suara lenguhan membuyarkan lamunan Rayden, ia menoleh saat merasakan gerakan kecil di sampingnya dan sedikit terkejut saat menemukan Ruby. Ia pun bangun menegakkan punggungnya dengan berbagai kalimat tanya muncul dalam kepala. Bagaimana bisa Ruby tidur di sampingnya? Merasakan gerakan, Ruby membuka matanya perlahan dan menemukan suaminya menatapnya dengan dahi berkerut tajam. Dengan mengucek mata, ia bangun menegakkan punggungnya. “Kau sudah bangun?” ucapnya dengan suara parau khas bangun tidur. “Bagaimana bisa kau di sini?” tanya Rayden dengan geraman tertahan. Saat di rumah ia tak pernah tidur seranjang dengan Ruby kecuali ia kecolongan saat Ruby diam-diam masuk kamarnya atau ketika ia lupa mengunci pintu. “Eh? Apa kau lupa? Kau yang menarikku bahkan memelukku, Suamiku,” jawab Ruby. “ayah bilang kau di sini dan tiba-tiba demam jadi aku menyusulmu,” pungkasnya. Rayden menatap Ruby dengan pandangan tak terbaca, tengah mencari tahu apakah Ruby tahu mengenai masalahnya atau tidak. Namun, melihat kedekatan Ruby dan ayahnya, ia menduga istrinya itu pasti tahu semua. Akan tetapi, kenapa Ruby tak mengatakan apapun padanya? Wanita itu sama sekali tak pernah mengungkit masalah Airin padahal dia bisa menggunakannya sebagai senjata agar dirinya membenci Airin. Rayden turun dari ranjang menghentikan otaknya berpikir mengenai itu semua. Saat ini kepalanya benar-benar pening dan semakin pening jika terus memikirkan juga berhadapan dengan Ruby. “Sayang! Mau ke mana?” panggil Ruby saat Rayden hampir mencapai pintu. Namun, tentu saja Rayden mengabaikannya. Rayden melangkah keluar kamar, meninggalkan Ruby yang menatapnya dalam diam setelah ia mengabaikannya. Tiba-tiba Rayden menghentikan langkah saat denyutan di kepala semakin terasa. Sambil mendesis, dipeganginya kepalanya yang berdenyut sakit. Ia pun melanjutkan langkahnya dengan hati-hati saat menuruni setiap anak tangga menuju lantai dasar. Sesampainya di lantai dasar, Rayden berjalan menuju dapur untuk mencari obat berharap dengan meminum obat dapat membuat sakit kepalanya teratasi. Tak butuh waktu lama, Rayden sampai di dapur dan dikejutkan dengan keberadaan ibunya. Apa yang ibunya lakukan di dapur selarut ini? batinnya. “Eh? Ray,” ucap Zahwa saat mendapati Rayden berjalan ke arahnya yang saat ini duduk di kursi meja makan dengan segelas air putih di tangan. “ada apa? Kau butuh sesuatu?” Rayden menarik kursi berseberangan dengan kursi yang ibunya duduki kemudian duduk. “Ray butuh obat sakit kepala,” ujarnya. Meski tahu penyebab sakit kepalanya karena kenyataan menyakitkan yang ia terima, mungkin saja obat sakit kepala dapat membantu meredakannya walau sedikit. “Apa?” gumam Zahwa tanpa melepas perhatian pada sang putra. Wajah putranya itu tampak begitu kusut dan tidak baik-baik saja. “baik lah. Tunggu di sini. Ibu akan mengambilkanmu obat.” Zahwa bangkit dari duduknya dan berjalan keluar dapur meninggalkan Rayden untuk mengambil obat. Rayden pun hanya diam seraya sesekali memijit kepala dan pangkal hidungnya sambil menunggu ibunya kembali. Tak lama Zahwa kembali dengan sebutir obat di tangan dan memberikannya pada Rayden. “Ini Ray, minum lah,” titah Zahwa seraya memberikan di tangan. Rayden menerima sebutir obat yang sangat kecil itu kemudian meminumnya dengan bantuan segelas air di mana tak ada rasa curiga sedikitpun. Zahwa mengusap punggung Rayden setelah meminum obatnya. “Kau pasti akan lebih baik setelah ini. Sebaiknya kau kembali beristirahat,” tuturnya dengan suara lembut di mana tak ada niatan baginya mengungkit kembali masalah siang tadi. Rayden mengangguk pelan kemudian bangkit dari duduknya. Ia pun melangkah keluar dapur menuju ruang tengah. “Ray, kau mau ke mana?” tanya Zahwa yang mengikuti langkah Rayden di belakangnya, melihat sang putra mengambil langkah berlawanan arah menuju kamarnya di lantai 2. “Aku tidur di sini,” jawab Rayden setelah sampai di ruang tengah kemudian menjatuhkan tubuhnya di sofa dengan posisi tengkurap. Tak mungkin ia kembali ke kamarnya karena Ruby di sana. “Ray, tapi Ruby di kamar. Dia pasti menunggumu.” “Harusnya ayah tak usah menyuruhnya ke sini,” sahut Rayden tanpa mengangkat kepala yang terbenam pada bantal. Zahwa menghela napas berat dan memijit kecil pelipis. “Terserah kau saja,” ucapnya disertai embusan napas lelah. Ia kemudian berbalik dan melangkah kembali menuju kamarnya tanpa memaksa Rayden kembali ke kamar. Rayden tetap tak bergeming hingga sang ibu pergi. Ia baru mengubah posisi dengan berbaring menatap langit ruangan saat merasakan pasokan oksigennya semakin menipis. Terdiam selama beberapa saat, perlahan ia menutup mata berharap segera terlelap, karena hanya dengan terlelap dirinya bisa benar-benar berhenti memikirkan Airin. Tak lama kemudian Rayden merasakan sesuatu yang aneh dengan tubuhnya. Meski berusaha memejamkan mata agar segera terlelap, ia tak bisa melakukannya apalagi saat merasakan gejolak aneh timbul dalam dirinya disertai tubuh terasa panas dan gerah. Bangkit menegakkan punggungnya, Rayden meraih remot AC untuk menurunkan suhu. Akan tetapi, ia tetap merasa panas hingga membuatnya membuka baju. Perlahan tapi pasti, rasa panas yang Rayden rasakan kian menjalar ke seluruh tubuh. Dinginya suhu dari pendingin ruangan tak mampu membuatnya sembuh dari rasa panas dan gerah. Samar-samar desisan Rayden terdengar. Ia mendesis sambil menggeram merasakan sesuatu di bawah sana begitu ngilu. “Ssssh … apa yang terjadi padaku?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD