“Eh? Ibu?”
Ruby baru saja keluar dari kamar dan mendapati Zahwa berjalan ke arahnya. Ia hendak mencari Rayden yang tak juga kembali ke kamar.
“Kau mencari Rayden? Dia di bawah, di ruang tengah,” ujar Zahwa memberitahu. Ia memang sengaja menyusul Ruby untuk memberitahunya.
Ruby terdengar menghela napas. Ia sudah bisa menebaknya, tak mungkin Rayden kembali ke kamar melanjutkan tidur dengannya.
Tiba-tiba saja Zahwa meremas pelan bahu Ruby dan mengatakan, “Sekarang saatnya, Ruby.”
Ruby menatap sang ibu mertua dengan rasa penasaran. “Maksud ibu?” Ia tidak tahu apa maksud Zahwa.
“Kau akan tahu nanti. Sekarang, cepat susul Rayden,” ujar Zahwa tanpa memberitahu maksud dari ucapannya sebelumnya.
Ruby masih menatap Zahwa dengan pandangan tak terbaca, masih bertanya, kira-kira apa maksud ibu mertuanya itu. Namun, pada akhirnya ia menurut. Ia segera turun ke lantai bawah menyusul Rayden di ruang tengah. Sesampainya di sana, Ruby dikejutkan dengan Rayden yang tak memakai baju, suaminya itu topless. Berjalan mendekat, ia semakin merasa ada yang tak beres dengan Rayden.
Ruby memperhatikan Rayden dengan seksama setelah berdiri di depannya. Suaminya itu duduk bersandar sofa, kedua matanya terpejam, bulir-bulir keringat pun menetes membasahi wajah dengan deru napas menderu tak terkendali.
“Sayang … kau … baik-baik saja?” tanya Ruby yang mulai khawatir. Tangannya pun terangkat berniat menyentuh dahi Rayden guna memeriksa suhu badannya.
Perlahan mata Rayden terbuka diikuti tangannya yang segera menggenggam tangan Ruby sebelum menempel di dahi. “Panas, panas sekali,” ucap Rayden dengan suara parau.
“Panas? Tapi suhu di ruangan ini sangat dingin. Apa kau demam?”
Rayden tak menjawab, ia justru mendorong Ruby hingga dirinya terlentang di sofa. Ia kemudian menindihnya, membenamkan wajahnya di ceruk leher Ruby.
Ruby meringis saat Rayden mulai mengecupi lehernya. Berpikir Rayden tidak baik-baik saja, ia berusaha mendorongnya sekuat tenaga. Napas Ruby terengah setelah berhasil menyingkirkan Rayden dari atasnya. Sekarang ia tahu, apa yang ibu mertuanya maksud.
Wajah Rayden yang merah kian merah padam mendapat penolakan sekaligus dorongan dari Ruby. Ia sedang berada dalam kondisi setengah sadar akibat obat yang ibunya berikan. Rupanya, bukan obat sakit kepala yang Zahwa berikan untuknya, melainkan obat perangsang.
“Cih, bukankah kau menginginkannya?” cemooh Rayden. Meski ia tak ingin menyentuh Ruby, tapi ia tak dapat mengendalikan diri.
Ruby hanya diam dan menundukkan kepala. Ia kemudian turun dari sofa lalu menarik tangan Rayden.
Alis Rayden tampak berkerut. Namun, kakinya tetap mengikuti ke mana langkah Ruby membawanya. Ia pikir Ruby membawanya ke kamar. Akan tetapi, tidak, ia salah. Bukannya membawanya ke kamar, Ruby justru membawanya ke kamar mandi.
Srrrrssssh!
“Apa yang kau lakukan?! Apa kau gila?!” Rayden berteriak. Bagaimana tidak? Ruby membawanya ke kamar mandi dan tiba-tiba saja menyiramnya dengan air dingin.
“Kau bilang panas, kan? Bagaimana? Sudah dingin?” tanya Ruby sambil terus mengguyur tubuh Rayden dengan air dari shower.
Rayden berusaha merebut shower dari tangan Ruby, membuatnya berhenti mempermainkannya. Dan saat ia berhasil, dibalasnya Ruby dengan melakukan hal serupa, mengguyur Ruby tak peduli pakaian Ruby basah.
Ruby menghalau air yang Rayden guyurkan dengan kedua tangan, menghalangi air yang menyiram wajahnya hingga ia sulit bernapas karena air masuk ke hidungnya. Ia pun berusaha merebut kembali shower dari tangan Rayden. Namun, naas, saat berusaha merebut benda berwarna perak itu, ia terpeleset dan jatuh ke depan menimpa tubuh Rayden yang pada akhirnya jatuh karenanya.
Dugh!
Erangan Rayden terdengar merasakan kepalanya membentur lantai kamar mandi cukup keras. Perlahan matanya pun terpejam kala mulai kehilangan kesadaran.
Ruby mengangkat kepala, posisinya berada di atas tubuh Rayden sekarang. Tubuh Rayden bak bantal penyelamat yang menghalangi tubuhnya mendarat di lantai kamar mandi yang keras dan dingin.
“Ya Tuhan!”
Mata Ruby melebar, terkejut melihat Rayden pingsan.
***
Achu!
Ruby mengusap hidungnya saat ia terus saja bersin. Saat ini ia telah duduk di kursi di sisi ranjang, menunggu Rayden siuman. Mendapati Rayden pingsan sebelumnya, ia segera meminta bantuan. Kini Rayden telah terbaring di ranjang dengan pakaian yang hangat. Ia juga telah mengganti baju, memakai sweater milik ibu mertuanya sebab ia tak memiliki baju ganti di rumah itu.
“Ruby, istirahat lah. Nanti kalau Ray bangun, ibu akan membangunkanmu,” ujar Zahwa saat berjalan memasuki ruangan.
“Tidak apa-apa, Bu. Aku tidak ngantuk,” sahut Ruby. Namun, setelah mengatakan itu dirinya justru menguap menandakan ucapannya hanya bualan belaka.
Zahwa berdiri di sisi kursi yang Ruby duduki dan menatap Rayden dengan pandangan tak terbaca.
“Um, Bu, jadi ibu sengaja memberinya obat perangsang?” tanya Ruby tiba-tiba. Terlalu memikirkan Rayden membuatnya lupa tentang masalah itu. Ia harap Rayden tak akan kehilangan ingatannya seperti yang terjadi di film-film.
Zahwa mengangguk tak berniat menyembunyikannya. “Ya, ayahmu pikir, itu adalah jalan satu-satunya. Siapa tahu, setelah kalian melakukannya dan kau hamil, Rayden akan luluh dan benar-benar melupakan Airin.
Ruby menatap ibu mertuanya dari posisi. Ia hanya diam seperti ada sesuatu yang tengah ia pikirkan sampai tiba-tiba ia menunduk dan tersenyum samar. Namun, Zahwa tak dapat melihatnya.
“Hah … bagaimana aku mengatakannya? Maksudku, aku tahu maksud ayah dan ibu baik, tapi jujur saja, kalau bisa, kami melakukannya dalam keadaan sadar. Yah … meski rasanya tidak mungkin.”
Zahwa menatap sang menantu dengan pandangan tak mengerti. Tangannya bertengger di bahu Ruby dan mengatakan, “Apa maksudmu, Ruby?”
Ruby mengangkat kepala. “Maksud Ruby, Ruby tak ingin melakukannya dengan Rayden saat dia dalam pengaruh obat. Mungkin Ruby akan lebih senang jika Rayden memaksa Ruby dalam keadaan sadar. Meski mungkin rasanya sama saja, tapi entah kenapa Ruby ingin Rayden menjadi dirinya sendiri saat kami melakukan itu,” jelasnya.
Zahwa terdiam, tertegun dengan penjelasan yang Ruby berikan. Ia pun mulai mengerti dan memahami keinginan Ruby yang membuatnya merasa malu sekarang.
“Ya ampun, Ruby, maafkan ayah dan ibu. Ibu jadi malu sekarang. Padahal kau sedang berusaha dengan caramu tapi kami justru berpikir pendek dengan menggunakan jalan pintas.”
Ruby menggeleng pelan dan mengatakan, “Tidak apa, Bu. Ruby tahu ayah dan ibu melakukannya demi Ruby.”
Zahwa merangkul Ruby dan mempertemukan pelipis kanan Ruby dengan pelipis kirinya. Entah bagaimana dan sejak kapan, ia menganggap Ruby seperti anak kandungnya sendiri. “Ibu doakan, Rayden segera jatuh cinta padamu. Dia tergila-gila padamu. Terima kasih sudah mencintai anakku dengan tulus, Ruby.”
Seperti seorang ibu kandung yang peduli, Zahwa mengecup pelan pucuk kepala Ruby.
Ruby mengangguk pelan, berharap doa sang ibu mertua terkabulkan. Rasa hangat pun memenuhi dadanya, merasa senang memiliki mertua sebaik Zahwa. Restu orang tua Rayden telah dikantonginya yang membuatnya tak akan menyerah mendapatkan hati putra mereka.
Waktu terus berjalan, tak terasa fajar telah datang dan di saat itu lah, Rayden baru membuka mata setelah pingsan hampir setengah malam.
Rayden meringis merasakan kepala belakangnya yang berdenyut sakit. Ia pun berusaha meraih kesadaran, sekaligus mengingat apa yang sebelumnya terjadi. Perlahan, kilatan ingatan di kamar mandi terbesit membuatnya bangun menegakkan punggungnya. Dipeganginya kepala belakangnya dan mendapati kepalanya bengkak.
“Sssh, sialan,” umpat Rayden sambil mendesis menahan sakit dan ngilu di kepala.
Tiba-tiba perhatian Rayden mengarah ke sumber suara dengkuran halus yang terdengar yang mana berasal dari Ruby yang tidur dengan posisi membaringkan kepalanya di tepi ranjang. Rahangnya pun mengeras teringat apa yang terjadi padanya semua karena ulah Ruby.
Niat buruk tiba-tiba muncul di kepala. Rasa kesal Rayden yang mencapai ubun-ubun menimbulkan keinginan menghabisi Ruby. Ia berpikir Ruby adalah sumber permasalahannya, bahkan ibunya sampai memberinya obat perangsang pasti karena Ruby.
Tangan Rayden yang terkepal kuat perlahan terbuka dan mengarah pada leher Ruby. Ia akan mengakhiri pernikahannya yang menyiksa dengan tangannya sendiri.
‘Ngh ….’
Suara lenguhan terdengar. Ruby melenguh pelan dan tiba-tiba saja bangun menegakkan punggungnya sebelum Rayden mendaratkan kedua tangannya di lehernya. Rayden sempat terkejut, dan kian terkejut saat Ruby tiba-tiba berdiri dan melangkah menuju kamar mandi dengan kedua mata masih terpejam.
Kerutan di dahi Rayden mulai tampak melihat kelakuan Ruby. Apa wanita itu punya penyakit sleepwalking? pikirnya.
Tak lama, Ruby kembali. Sambil sesekali menguap ia berjalan kembali ke kursi yang sebelumnya ia duduki lalu kembali membaringkan kepalanya di tepi ranjang.
Perlahan kerutan di dahi Rayden berkurang. Niat yang sebelumnya menguasai pikiran pun kembali timbul. Namun, belum saja tangannya berhasil meraih leher Ruby, tiba-tiba wanita itu terbangun dengan mata melotot.
“Kau sudah bangun?!” seru Ruby dan segera menghambur memeluk sang suami.
Rayden merasa tulangnya seakan remuk saat Ruby memeluknya. Istrinya itu memeluknya sangat erat hingga ia sulit bernapas.
“Akhirnya kau sadar juga. Aku sudah berpikir yang tidak-tidak,” ucap Ruby sambil merengek. Ia lalu melepas pelukan dan menangkup wajah Rayden yang tampak merah. “kau masih ingat aku, kan? Kau tidak kehilangan ingatan, kan? Kau tidak amnesia, kan? Aku istrimu, Suamiku,” racau Ruby lalu membenamkan wajah Rayden di dadanya dan memeluknya lebih erat dari sebelumnya.
“Le- lepaskan.” Rayden berusaha mendorong Ruby. Ia pikir Ruby berniat membunuhnya dengan cara membuatnya kehabisan napas, membenamkan wajahnya pada dadanya yang empuk dan kenyal di balik sweater yang dipakainya.
Tanpa Rayden sadari, bibir Ruby menyunggingkan smirk tipis. Rupanya, Ruby sudah bangun sedari tadi. Ia bahkan mendengar desisan Rayden yang disertai umpatan.
Ruby melepas dekapan mematikannya saat sudah cukup puas mempermainkan suaminya. Tak sia-sia dulu ia belajar karate.
“Kau mau membunuhku?!” teriak Rayden sambil mengatur napas. Matanya melotot seakan ingin menelan Ruby hidup-hidup.
“Apa maksudmu, Suamiku? Bukankah kau yang ingin melakukannya padaku?”
Deg!
Mata Rayden melebar. Bagaimana bisa Ruby tahu?