"Apa kita pernah bertemu dua puluh tahun lalu saat ibuku terbunuh?"
Pertanyaan itu mengejutkan Nara. Gadis vampir tersebut bahkan tanpa sadar mengeratkan cengkeraman pada cangkir dalam genggamannya. Sungguh, Nara tidak menyangka bahwa Hoon masih mengingat dirinya, sebab dia ingat betul sudah menghipnotis bocah itu agar lupa. Lantas, tiba-tiba Nara teringat akan sentuhan Hoon waktu itu. Sentuhan Hoon yang membakarnya. Menghantarkan sengatan-sengatan aneh pada kulitnya.
Pantas saja, batin Nara membatin tak menyangka. Rupanya, Hoon memang memiliki kebiasaan mengonsumsi air suci sedari kecil. Itu sebabnya, sihir Nara sama sekali tidak berpengaruh pada Hoon. Namun anehnya, kenapa efek air suci pada saat dia masih kecil dan saat dia sudah dewasa sangat berbeda? Apakah usia berpengaruh pada seberapa dahsyat efek air itu jika diminum oleh seseorang? Sepertinya tidak.
“Kim Nara?”
Teguran Hoon membuat Nara kembali menapak bumi setelah sekian lama menyelami pikirannya sendiri. Dengan setenang mungkin dia tersenyum menanggapi lalu menjawab, “Profesor ini ada-ada saja. Mana mungkin saya yang berusia dua puluh tahun ini bertemu dengan Anda saat itu? Bahkan saya mungkin saja baru lahir setelah kejadian itu.”
Hoon termangu beberapa saat sebelum melemparkan kekehan ringan ke udara. Dia mengangguk mengerti. “Tentu saja kau bukan dia. Maafkan pertanyaanku tadi. Kau terlihat mirip dengan gadis yang berada di TKP penusukan ibuku, itu sebabnya—“
“Ah, jadi itukah alasan Anda semakin tak suka dengan saya? Karena saya mirip dengan gadis itu?” Pertanyaan bernada sarkasme yang dilemparkan oleh Nara membuat Hoon tampak merasa tak enak.
Hoon mengangguk lemah. “Itu juga yang membuatku merasa bersalah karena tanpa sadar melampiaskan rasa benciku padanya kepada dirimu. Maaf.”
Andai kau tahu kalau aku memang dia, Hoon. “Tidak apa-apa, Prof. Saya mengerti, pasti itu begitu sulit bagi Anda. Mungkin kalau saya yang berada di posisi Profesor, saya akan melakukan hal yang sama.” Nara menyunggingkan senyum. Dalam hati dia ingin sekali mengutuk diri sendiri yang mendadak bijak pada situasi seperti ini.
“Sudahlah, kita lupakan saja apa yang sudah lewat. Lagi pula, sebenci apa pun aku pada gadis itu, tetap tidak akan menghidupkan kembali ibuku yang sudah tiada, bukan?”
Nara hanya tersenyum tipis sebagai respons. Sungguh, dia juga merasa bingung kenapa pengobatannya pada ibu Hoon tidak berhasil, padahal darahnya cukup manjur untuk menyembuhkan fana sekalipun.
Mungkinkah itu efek air suci juga? Mengingat Hoon minum air suci sedari kecil, bukan tidak mungkin kalau ibunya melakukan hal yang sama.
Well, apa pun itu, Nara masih tak menyangka kalau dia dan Hoon memang ditakdirkan untuk bertemu sejak lama. Hal ini membuatnya terus menahan diri untuk tidak tersenyum di depan pria itu.
Hoon bangkit dari sofa. “Kalau tehmu sudah habis, lebih baik kau beristirahat saja di kamarku. Aku akan tidur di sofa.“
“Tidak, jangan.” Nara ikut bangkit usai meletakkan cangkir di meja. “Lebih baik, saya saja yang tidur di sofa—“
“—dan melukai harga diriku sebagai seorang lelaki?” Hoon terkekeh sambil mengibaskan tangan. “Tidak perlu merasa sungkan, Kim Nara. Istirahatlah di kamarku. Sekalipun aku tuan rumah, kurasa tidak layak jika aku membiarkan perempuan tidur di sofa.”
Nara tersenyum dan mengangguk. “Kalau begitu … selamat malam, Prof.”
Hoon membalas, “Selamat malam juga. Letakkan cangkirmu di sini saja. Biar aku yang bereskan.”
“Terima kasih, Prof.” Nara pun pamit undur diri ke kamar pria itu dengan senyum manis yang semakin terkembang saat dia membalikkan badan. Sungguh, jika Nara seorang manusia dia pasti sudah berdebar dan pipinya merona. Sayangnya, dia adalah manusia setengah vampir yang hampir tak mengenal emosi sama sekali.
Kendati begitu, Nara masih tahu apa yang namanya berbunga-bunga. Itulah yang sedang dirasakannya kini.
*****
“Jay!”
Panggilan itu menghentikan niatan Jay yang hendak mencium bibir seorang vampir cantik yang berada di dalam dekapannya. Usai berdecak, pemuda itu menoleh dan langsung mengubah ekspresi kesalnya menjadi sungkan begitu mendapati wajah Jooho. Jay mengambil langkah seribu dengan bangkit dari sofa dan beringsut mendekati Jooho yang wajahnya tegang.
“Ada apa, Paman?” tanya Jay setengah gugup. Kendati trade record-nya bermain wanita bukan lagi rahasia di kalangan vampir, dirinya tetap merasa malu jika Jooho menyaksikan aksinya seperti tadi. Bagi Jay, Jooho adalah sosok yang paling dia hormati selain ayahnya, Yoonho. Dia bahkan tidak merasa segan pada petinggi vampir yang jelas-jelas lebih menakutkan, apalagi jika soal hukum vampir.
“Kau tahu di mana Nara?”
Pertanyaan Jooho yang bernada kekhawatiran berhasil membuat dahi Jay berkerut dalam. “Tadi dia pergi ke balkon, Paman. Memangnya ada apa?”
Jooho menggeleng dengan raut wajah yang semakin menunjukkan kekhawatiran. “Dia tidak dapat ditemukan di manapun, bahkan aku juga tidak bisa mengendus keberadaannya.”
“Benarkah?” Jay semakin terkejut. Tiba-tiba saja dia teringat sesuatu. “Sebentar, Paman.”
Jay melangkahkan kaki menjauhi tempatnya berada kini menuju balkon tempat Nara tadi berada. Jooho mengekorinya. Karena tak berhasil menemukan sosok yang dia cari, Jay pun bertanya pada Jooho, “Paman, apakah Anda melihat Roxanne Wildblood?”
Pertanyaan Jay menuai reaksi heran dari Jooho. “Ya. Dia bersama ayahnya di meja Keluarga Wildblood. Tapi, kenapa kau menanyakannya?”
“Tadi terakhir kali saya melihat Roxanne pergi ke sini. Mungkin saja dia tahu ke mana Nara pergi. Saya akan bertanya padanya.”
Jooho mengangguk. “Tolong.”
Usai mengangguk, Jay pun bergegas mencari keberadaan Roxanne. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan sosok cantik tersebut di meja keluarganya. Roxanne sedang asyik berbincang dengan Mr. Wildblood.
“Roxanne.”
Sang empunya nama segera menoleh begitu mendengar panggilan Jay. Dia menatap sang vampir tampan bertanya-tanya.
“We need to talk. I wanna ask you something.”
Mengangguk, Roxanne pun bangkit dari tempat duduknya. Gadis vampir itu mengekori Jay tanpa rasa curiga sedikitpun.
“Jadi, ada apa?” tanya Roxanne dengan nada malas. Senyum khas kucingnya terukir saat melihat Jay menatapnya tajam. “Lama tidak bertemu kau semakin tampan saja, ya?”
“Aku sedang tidak berminat flirting denganmu, Roxy. Kita bisa melakukannya lain kali. To the point saja, apa kau tahu di mana Nara?”
Roxanne memutar bola mata malas dan langsung memaki dalam Prancis, kebiasaan gadis itu jika sedang kesal. “Jadi, kau menyeretku ke sini hanya untuk menanyakan gadis itu? Yang benar saja!”
Sambil berusaha sabar, Jay merespons, “Karena kau orang terakhir yang bersamanya, Roxy. Sekarang Nara menghilang dan Paman Jooho sedang mencarinya ke mana-mana.”
Roxanne tergelak. Hal ini semakin memantik rasa kesal Jay yang sudah mulai hilang kesabaran.
“Rupanya dia kabur setelah kuberitahu soal Ato.”
Info yang baru saja disuapkan Roxanne ke telinganya membuat mata Jay melebar. “Kabur? Ato? Apa maksudmu?”
“Aku memberitahu Nara kebenaran soal Ato. Tentang bagaimana perasaan Ato sesungguhnya pada Nara dan gadis fana itu. Tentang betapa besarnya perasaan Ato pada Nara di tengah usahanya terlepas dari sihir yang membuatnya terjebak dalam pesona Jasmine. Sepertinya, info itu begitu mengguncangnya hingga membuatnya kabur seperti ini.”
“Sialan, Roxanne Wildblood!” Jay meledak. Dia menatap gadis cantik di hadapannya seolah ingin memakannya hidup-hidup. “Sebenarnya apa yang coba kau lakukan, hah?”
“Aku tidak punya niat apa pun!” Roxanne ikut meledak. Dia menatap Jay sengit. “Aku justru bersikap baik dengan memberitahunya soal itu. Bagaimanapun, dia berhak tahu sebagai mantan pasangan Ato. Itu saja.”
“Tapi, kau lihat sendiri kan akibatnya? Nara sekarang menghilang.”
“Biarkan saja.”
“Apa kau bilang?!”
“Biarkan saja dia menyendiri dulu, Berengsek!” Suara Roxanne yang meninggi membuat Jay bungkam. “Sebelum aku menjadi seorang vampir, aku ini adalah wanita biasa. Aku tahu kalau saat ini yang dibutuhkan Nara hanyalah menenangkan diri. Just let her take her time.”
Jay tak berkutik. Dia merasa bahwa apa yang Roxanne ada benarnya. Itu sebabnya, usai sang gadis vampir mengatakan hal tersebut, Jay melangkahkan kaki meninggalkan tempatnya berpijak kini tanpa sepatah kata pun. Hendak memberitahukan pada Jooho apa yang terjadi pada si Gadis Kim.
Satu hal yang dia harapkan; semoga Nara baik-baik saja dan tidak melakukan tindakan bodoh.
*****
Vampir tidak tidur. Itu sebabnya, selama satu jam ini, Nara hanya sibuk mengamati langit malam bertabur bintang lewat jendela yang tirainya dia biarkan terbuka. Sungguh, rasanya dia gatal sekali ingin mengamati wajah terlelap Hoon. Namun, dia juga tidak dapat memastikan apakah pria itu sudah tidur atau belum. Dia takut kalau saat keluar kamar nanti Hoon masih terjaga dan menanyainya macam-macam.
“Ah, perutku!” Di tengah kegiatannya, Nara kembali harus merasa mual akibat habis minum teh kamomil. Sumpah serapah kembali dirapalkannya pada sosok yang berada di ruang tamu. Sosok yang memberinya minuman sialan itu.
Menjadi setengah manusia memang membuatnya dapat mencerna makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia, tapi efek yang ditimbulkan setelahnya membuat Nara tidak tahan. Perutnya akan menjadi mual seperti sekarang, padahal vampir hampir tak memiliki rasa sakit apalagi jika penyebabnya sepele seperti ini. Dia bersumpah tidak akan mencicipi apa pun lagi selama tinggal di apartemen ini.
Memutuskan untuk mencoba terlelap, Nara pun menutup tirai dan membaringkan tubuhnya di ranjang. Begitu kepalanya menyentuh bantal, hal pertama yang dihirup Nara adalah aroma Hoon yang begitu memabukkan. Sungguh, hal ini membuatnya menggila sekaligus nyaman. Dia bahkan mulai mengantuk sekarang saking merasa nyaman dengan aroma yang ditinggalkan pria itu di kamarnya.
Untuk pertama kalinya dalam dua puluh tahun, Nara bisa tidur seperti manusia normal malam itu.
*****
Seumur hidupnya menjadi seorang vampir, Nara tidak pernah tahu apa itu mimpi. Jangankan bermimpi, tidur saja hampir tidak pernah. Kendati begitu, dia tahu kalau saat ini dia sedang bermimpi. Dia bisa tahu karena saat ini dia seolah mengalami hal yang tidak nyata.
Nara tidak tahu mimpi macam apa yang sedang dialaminya kini. Yang jelas, dia berada di suatu era di mana kota tempatnya berada kini belum semaju sekarang. Nara berjalan di antara orang-orang berpakaian hanbok yang sedang berbaris seolah menanti parade. Orang-orang itu tidak dapat melihatnya—atau mungkin mereka hanyalah bagian dari mimpi Nara yang mana dirinya-lah yang mengamati mereka.
Bicara mengenai hanbok dan era Joseon, Nara lahir pada masa akhir dinasti tersebut. Dari kecil hingga peralihan dewasa, dia pernah mengenakan pakaian tradisional Korea dan bergaya ala bangsawan pada masa itu. Dia juga sempat hidup berpindah-pindah dan menggunakan identitas baru sebelum pada akhirnya pindah ke Amerika dan kembali menggunakan nama lahirnya.
Akan tetapi, Nara tidak yakin dengan era yang menjadi latar mimpinya ini. Semuanya memang khas Joseon, tapi dia tidak tahu dia ada pada masa kekaisaran siapa. semuanya terasa asing baginya.
“Putra dan Putri Mahkota akan segera tiba!”
Seruan bernada antusias itu berhasil menarik perhatian Nara yang sedang asyik mengamati sekitar dan orang-orang yang berbaris memenuhi jalan. Gadis itu ikut berbaris bersama para warga yang berdecak antusias ingin melihat parade yang rupanya penyambutan Putra dan Putri Mahkota yang sepertinya baru saja menikah.
Nara tidak tahu mengapa, tapi rasanya mimpi ini begitu nyata, seolah-olah dia pernah mengalaminya secara langsung. Padahal, Nara yakin betul kalau pada masa kecilnya dulu dia tidak pernah menyaksikan hal semacam ini.
“Itu dia!”
Decak kagum dan sorak-sorai warga menjadi pertanda kalau dua sosok yang mereka tunggu-tunggu sudah mulai terlihat. Saat Nara menoleh, dia dapat melihat dengan jelas sebuah tandu yang diangkat oleh kumpulan pengawal istana. Jumlah tandunya ada dua yang menandakan bahwa pangeran dan istrinya berada di dalam tandu berbeda.
Tandu pertama telah melewati tempat Nara berdiri saat ini. Namun, Nara dibuat terkejut saat melihat rupa sosok yang berada di dalamnya. Sosok itu mirip dengan ….
Tiba-tiba Nara tersentak bangun dari tidurnya saat merasakan hawa panas yang menerpa kulitnya. Sambil menghalangi sinar matahari yang menyorot langsung ke matanya, perlahan Nara bangkit dari kenyamanan kasur tempatnya berbaring. Usai mendudukkan diri dan berhasil menghindari cahaya, Nara justru termangu. Mendadak linglung dan lupa dengan apa yang baru saja dia alami dalam mimpi.
“Wow.” Nara berdecak kagum dengan raut dan nada bicara yang datar. “Ini pertama kalinya aku bisa tidur nyenyak dalam dua puluh tahun ini. Luar biasa.” Sang gadis vampir mengakhiri kata-katanya dengan decak tak percaya. Dia merasa heran pada diri sendiri yang mdah sekali terlelap hanya dengan menghirup aroma seorang Kang Hoon.
“Dia benar-benar membuatku gila.”
Tak ingin semakin merasa gila karena terus memikirkan efek Hoon pada dirinya, Nara memutuskan untuk bangkit dari ranjang dan berjalan keluar kamar. Hal pertama yang menyambutnya adalah aroma masakan dari arah dapur. Aroma yang membuatnya kembali dilanda rasa mual. Sungguh, andaikan dia manusia biasa, aroma masakan ini sangatlah lezat. Sayangnya, Nara hanyalah setengah manusia yang jiwa vampirnya lebih mendominasi.
“Selamat pagi, Kim Nara!”
Nara sudah hendak kembali masuk kamar saat suara—sialan—Hoon terdengar menyapanya. Sungguh, kalau Hoon memanggilnya bukan pada saat seperti ini Nara pasti sudah kegirangan. Sayangnya, ini bukanlah saat yang tepat karena Nara dapat menebak apa yang terjadi selanjutnya.
“Ayo, kita sarapan dulu!”
Dan sayangnya Nara tidak berharap kalau Hoon akan mengajaknya sarapan bersama. Namun, demi menghormati sapaan dan ajakan itu, Nara pun membalikkan badan dan menyunggingkan senyuman palsu. “Selamat pagi, Profesor!” Sang Gadis Kim pun terdiam usai membalas sapaan sang dosen.
Keterdiaman Nara memantik rasa penasaran Hoon. Pria itu bertanya, “Kau baik-baik saja?”
Nara mengangguk cepat. “Ya, saya baik-baik saja. Saya hanya merasa … tidak enak saja kalau menolak ajakan Profesor. Saya tidak biasa sarapan pagi.” Oh, tentu saja Nara berbohong soal yang satu itu. Dia selalu sarapan pagi, tapi bukan sarapan untuk manusia tentunya. Dia sarapan dengan darah dan pastinya Hoon tidak menyiapkan itu untuknya.
Hoon terkesiap dan tampak tidak enak. “Ah, begitu rupanya? Apa kau sedang diet atau ….”
Nara mengusap tengkuknya dan menggeleng. “Bukan begitu, Prof. Saya hanya tidak biasa saja. Maaf.”
Hoon menggeleng dan tersenyum maklum. “Tidak apa-apa. Sebagian orang memang memiliki kebiasaan seperti itu, bukan?”
Nara tersenyum menanggapi.
“Hm, kalau begitu apa yang harus kusiapkan untuk ….”
Gelengan Nara menghentikan kalimat Hoon. “Anda tidak perlu menyiapkan apa-apa, Prof. Biar saya di sini saja sembari menungu Anda sarapan.”
Hoon menaikkan alis, tak yakin. “Are you sure about that?”
“I’m pretty sure about that, Prof.”
Hoon sudah akan kembali ke ruang makan ketika pintu apartemennya terbuka dan ….
“Hooooonnn! Aku la—OH MY GOD!”
… sosok Ilana Kim muncul di sana. Wanita berwajah imut itu menatap Nara dan Hoon bergantian dengan jenis tatapan yang sulit didefinisikan.
“Kalian berdua berkencan?!”