Attracted

2251 Words
Hoon tengah asyik menikmati sarapannya dengan tenang sementara Ilana terus menatapnya dengan penuh selidik. Usai Ilana memergoki keberadaan Nara di apartemennya, Hoon langsung menjelaskan semuanya pada sang sahabat mengenai mahasiswinya yang sedang dalam keadaan kacau. Tak lupa, dia juga meminta Ilana untuk meminjamkan Nara baju ganti. Ilana mengerti pada awalnya, tapi wanita tak henti merasa curiga pada Hoon yang mendadak baik seperti itu. Hoon mendengus kemudian meletakkan sendok dan garpu yang sedang dipegang olehnya. Dia membalas tatapan Ilana dengan tatapan malas. “Apa?” tanyanya dengan nada lelah. Saat ini Nara sedang mandi dan ganti baju di kamar Hoon. Jadi, dia bisa bebas bicara dengan Ilana. Ilana mengangkat bahu tak acuh. “Apanya yang apa? Aku, ‘kan, hanya memerhatikanmu.” “Caramu memerhatikanku itu yang membuatku bertanya-tanya, Ilana Kim.” Ilana terkekeh dan justru melahap makanan yang sejak tadi dia anggurkan karena sibuk memerhatikan sang sahabat. Sikapnya ini membuat Hoon menghela napas dalam berusaha sabar, tapi saat si Pria Kang hendak membuka mulut kembali, Ilana berujar, “Kau itu manusia paling aneh yang pernah kukenal, tahu tidak?” Ucapan Ilana sontak membuat dahi Hoon berkerut tak mengerti. Ilana melanjutkan, “Baru kemarin siang kau bersikap dingin pada Nara, tapi malamnya sikapmu melunak seolah tak terjadi apa-apa. Apa kau mulai memertimbangkan nasihatku kemarin? Kau mulai membuka diri pada lawan jenis?” “Seingatku kau tidak menasihati, tapi menceramahiku.” Ilana berdecak dan melahap makanannya kembali. “Susah memang bicara denganmu. Well, apa pun itu aku senang karena kau bisa bersikap baik kali ini pada Nara. Ya, walaupun kau menganggapnya sebagai perhatian biasa seorang dosen kepada mahasiswinya, setidaknya ini sudah kemajuan.” “Cepat habiskan makananmu dan berhenti mengoceh, Nona Ilana Kim.” “Dasar menyebalkan!” umpat Ilana sambil memukul bahu Hoon cukup keras. Wanita bertubuh ramping itu menghabiskan makanan buatan Hoon dengan lahap. Hoon yang sudah selesai dengan sarapannya pun membawa peralatan makannya ke wastafel, tapi langkahnya terhenti ketika mendengar Ilana berseru, “Wah, kau cantik sekali!” Sontak saja Hoon menoleh ke sumber kehebohan yang terjadi. Dia cukup merasa takjub melihat penampilan Nara yang kini berbalut dress peach dengan bahu terbuka milik Ilana. Jujur saja, dia tidak menyangka Kim Nara akan tampak secantik ini memakai pakaian sahabatnya. Yang dipuji begitu pun tersenyum dan menggeleng. “Jangan begitu, Nona Kim. Dress-mu lah yang membuatku tampak cantik.” Ilana menggeleng keras. “Tidak-tidak. Kau itu memang terlahir cantik dan dress itu seolah-olah memang dibuat untukmu. Kurasa dress itu lebih cocok dipakai olehmu daripada aku. Benar, ‘kan, Hoon?” Ditodong pertanyaan seperti itu, Hoon tampak panik. Dia hendak membuka mulutnya, tapi Nara sudah lebih dulu berujar, “Itu tidak benar, Nona. Kita memiliki ukuran dan bentuk tubuh yang sama. Tentu saja dress ini cocok denganku karena juga cocok denganmu.” Ilana terkekeh dan mengibaskan tangannya. “Kau tidak perlu merendah seperti itu. Kau memang pantas mendapatkan pujian, kok.” Nara hanya tersenyum simpul. Hoon yang sudah pulih dari rasa takjubnya pun segera melanjutkan kegiatannya yang hendak mencuci piring. Mendistraksi pikirannya dari penampilan Nara yang memang terlihat sangat menawan. Entah apa yang terjadi padanya selama ini, tapi memang baru kali ini Hoon merasa kewalahan dengan kecantikan yang dipancarkan oleh sang mahasiswi. “Nara, ayo sarapan!” Hoon mendengar ajakan Ilana pada Nara saat dia mulai merapikan peralatan makannya. Nara menggeleng dan tersenyum canggung. “Maaf, Nona, sebenarnya saya tidak biasa sarapan. Saya kemari justru untuk berpamitan.” “Kenapa buru-buru sekali?” Alih-alih Ilana, justru Hoon-lah yang merespons. Pria itu terkesiap mendengar pertanyaannya sendiri sebab sekarang dia terlihat seolah tidak rela Nara pulang. Hal ini langsung mengundang senyum dan picingan nakal dari Ilana. Nara pun ikutan terkejut karenanya. Hoon buru-buru menjelaskan, “E-Eh, maksudku … semalam kau tampak kacau. Apakah itu artinya kau sudah baik-baik saja?” Nara tersenyum. “Saya sudah baik-baik saja, Prof. Saya merasa tidak enak jika harus berlama-lama di sini.” “Ck. Kau tidak perlu merasa sungkan, Nara. Hoon sama sekali tidak keberatan kok kalau kau ada di sini lebih lama.” Ucapan Ilana menuai delikan tajam dari Hoon. Sang Gadis Kim hanya menjulurkan lidahnya, mengejek. “Sungguh, saya harus pulang sekarang, Nona, Prof,” ujar Nara. “Ada yang harus saya urus di rumah.” Karena Nara tampak bersungguh-sungguh, Hoon pun mengangguk. “Maaf, kalau tidak keberatan, saya titip pakaian saya semalam di sini, Prof. Saya akan mengambilnya nanti jika sudah kering.” Hoon mengangguk cepat. “Ya, aku tidak keberatan sama sekali, kok. Kalau begitu aku akan mengantarmu—“ Kata-kata Hoon terputus karena gelengan Nara. “Tidak perlu, Prof, saya akan pulang sendiri. Lagi pula, saya tidak ingin Ayah berpikiran macam-macam karena saya diantar oleh rekan sejawatnya, padahal Anda yang sudah begitu baik menolong dan menampung saya semalam.” Hoon agak merasa kecewa mendengar penolakan Nara, tapi di satu sisi dia juga setuju dengan perkataan gadis itu. Alhasil, dia pun hanya bisa mengangguk sebagai respons. “Sekali lagi, terima kasih atas kebaikan Anda dan Nona Kim. Saya sangat menghargainya.” Ilana berujar. “Tidak masalah, kok. Oh ya, kau tidak perlu repot-repot mengembalikan dress itu. Kau bisa memilikinya.” Nara terkejut. “Benar tidak apa-apa?” “Tentu saja!” Ilana terlihat bersemangat saat mengatakannya. Dia bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati Nara. Sambil tersenyum lebar, dia memeluk singkat gadis cantik di hadapannya. Saat menarik diri dia berujar, “Kau tahu? Padahal kita baru bertemu tiga kali, tapi aku sudah menganggapmu seperti adikku sendiri. Jangan sungkan untuk main ke flat atau butikku, ya. Aku akan buatkan kau baju-baju yang cantik.” “Oh, terima kasih banyak, Nona. Tentu saja kalau ada waktu luang saya akan mampir.” Entah kenapa perasaan Hoon menghangat melihat interaksi kedua perempuan bermarga Kim tersebut. Sejak dulu Ilana memang ingin sekali punya adik perempuan yang bisa dia dandani. Namun, hal itu mustahil terwujud mengingat dia sudah menjadi seorang yatim piatu. Sepertinya perkenalan dengan Kim Nara berhasil membuat jiwa seorang kakaknya muncul kembali ke permukaan. “Kalau begitu, saya pamit dulu. Permisi.” “Hati-hati di jalan, Kim Nara!” seru Hoon saat Nara sudah sampai di depan pintu apartemen. Gadis itu tersenyum manis dan mengangguk. Usai batang hidungnya tak tampak lagi, Hoon dan Ilana kompak membuang napas. Mereka kompak menoleh pada satu sama lain dan terkekeh. “Kim Nara memang luar biasa, ya.” Ilana berkomentar sambil membawa peralatan makannya ke wastafel. Hoon yang duduk di meja makan kembali hanya diam menyimak. “Kau tahu sendiri, kan, kalau aku sulit sekali akur dengan sesama perempuan? Tapi dengan Nara, semuanya terasa berbeda. Aku langsung suka padanya dan bahkan menganggapnya seperti adik kandungku sendiri. Dia memiliki pesona yang sulit ditolak oleh perempuan sekalipun.” Ilana sudah selesai dengan kegiatan mencuci piringnya. Dia pun membalikkan badan dan bersedekap. Menatap Hoon dengan tatapan tak menyangka. “Bagaimana bisa kau yang mengenalnya lebih dulu justru bersikap dingin sepanjang waktu padanya?” Hoon mengangkat bahu. “Itu alasan pribadi. Kurasa kita tak perlu membahasnya lagi karena sekarang yang terpenting aku sudah bisa bersikap sewajarnya pada Kim Nara.” Jawaban Hoon yang terdengar diplomatis membuat Ilana memutar bola mata malas. Dia beranjak pergi dari dapur dan berujar, “Dasar manusia aneh dan menyebalkan!” “Tapi, kau sayang pada sahabatmu ini, kan?” Pertanyaan itu ditanggapi Ilana dengan acungan jari tengah. Hoon tertawa karenanya. ***** Suasana di Mansion Keluarga Kim begitu tegang. Anak gadis keluarga itu yang tak kunjung pulang sejak semalam menjadi penyebab utamanya. Jooho sibuk mondar-mandir, sedangkan Jihyun dan Jay hanya duduk di sofa. Ketiganya sama-sama tegang dan tampak mengkhawatirkan Nara. “Andai semalam tidak hujan, aroma Nara pasti akan bisa dilacak,” sesal Jooho sambil menghempaskan tubuh di sofa kebesarannya. “Anak itu pandai sekali membuat kedua orang tuanya khawatir.” “Aku yakin Nara tidak akan melakukan sesuatu yang dapat melukai dirinya sendiri, Paman.” Jay mencoba mencairkan ketegangan yang tercipta. Dia tahu pasti bagaimana karakter sang sahabat dan dia yakin betul Nara bukanlah makhluk yang bodoh. “Saat Ato dieksekusi dulu Nara juga terpukul, tapi dia tidak pernah sekalipun berbuat bodoh apalagi sampai mencelakai dirinya sendiri.” “Itu benar,” Jihyun bersuara setelah sekian lama diam. “Nara memang anak yang nekat, tapi dia tidak pernah punya pikiran untuk menyakiti dirinya sendiri. Aku yakin, jika sudah merasa lebih tenang, dia pasti akan pulang.” Jooho memejamkan matanya dan mengangguk. “Ya, semoga saja anak itu segera kembali dan berhenti membuat kita khawatir.” Keheningan kembali melanda. Ketiga vampir itu kembali menunggu kepulangan Nara dengan harap-harap cemas. Di tengah penantian itu, mata Jay tiba-tiba melebar. Dia bangkit dari sofa dan berseru, “Nara pulang!” Mendengar kabar tersebut, Jihyun dan Jooho pun bergegas menuju pintu depan. Begitu pula dengan Jay yang mengekori sepasang suami-istri tersebut. Benar saja, saat mereka sampai di pintu depan, sosok Nara tengah berjalan santai menuju tempat ketiganya berdiri saat ini. Gadis itu bahkan sempat tersenyum dan melambaikan tangan pada mereka. Bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. “Ke mana saja kau?” Pertanyaan itu langsung terlontar dari mulut Jooho saat anak gadisnya sudah sampai di pintu kediaman mereka. Wajah pria paruh baya yang masih tampak begitu muda itu mengeras. Nara tersenyum simpul sebagai respons. “Aku dari rumah teman.” “Teman yang mana?” desak Jay dengan gurat curiga yang menghiasi wajahnya. Jay tahu betul siapa-siapa saja yang berteman dengan Nara. “Kau juga tidak tahu kalau kusebutkan namanya, Jay.” “Are you okay?” Kali ini pertanyaan bernada khawatir diajukan oleh Jihyun. Wanita itu menatap anak gadisnya dengan lembut. Nara mengangguk pelan. “Better than last night,” jawabnya. Saat semua orang masih menatapnya ingin tahu, Nara berdecak. “Kalian tidak mau mengajakku masuk dulu? Aku lapar.” Mendengar gerutuan Nara, ketiganya pun terkesiap dan mengajak Nara masuk. Jihyun langsung pergi ke dapur untuk mengambilkan anak gadisnya makanan—darah sapi— favoritnya, sementara Jooho dan Jay menggiring Nara ke ruang makan. “Kenapa kau kabur setelah mendengar pengakuan Roxanne? Bisa saja kalau dia hanya mengarang cerita agar kau kacau, Nara.” Itu Jay yang bersuara. Pemuda vampir itu tidak sabar ingin menginterogasi sahabatnya. “Jay benar, Sayang. Kita semua tahu bagaimana hubungan Roxanne denganmu. Agak tidak masuk akal jika dia memberitahumu secara cuma-cuma seperti itu.” Jooho ikut bersuara. “Bertanyanya nanti lagi,” tegur Jihyun yang datang dari dapur dengan membawa semangkuk darah sapi segar. Tatapannya seolah memperingatkan Jooho dan Jay. “Nara lapar dan dia butuh makan, lagi pula dia juga baru pulang.” Usai berkata begitu, Jihyun menaruh mangkuk di hadapan Nara. Dengan wajah berbinar Nara langsung meneguk darah itu sampai habis tak bersisa. Kemudian, dia pun tersenyum. Namun, senyumnya tampak getir. “Kalian benar, harusnya aku tidak percaya begitu saja pada gadis kucing itu. Walaupun kata-katanya terdengar menyakinkan, bisa saja dia sedang berpura-pura, bukan? Bisa saja dia mengarang cerita agar aku kembali kacau mengingat kepergian Ato.” Hening melanda. Ketiga orang lainnya tampak menyimak apa yang coba Nara katakan selanjutnya. “Aku benci mengakuinya, tapi aku bisa merasakan kalau apa yang dikatakan oleh Roxanne adalah sebuah kejujuran. Dia juga tidak punya alasan untuk membuatku kacau seperti semalam.” Nara terkekeh sinis. “Kukira aku juga akan merasa begitu terpuruk setelah mengetahui kebenarannya, tapi nyatanya tidak. Aku memang syok, tapi beberapa saat kemudian aku justru baik-baik saja.” “Kalau begitu kenapa kau kabur? Kenapa baru pulang sekarang?” cecar Jooho. Nara mengangkat bahu. “Aku juga butuh moodbooster, ‘kan, Ayah? Semalam aku tidak pulang karena ingin menaikkan mood-ku dulu.” “Sudahlah, tidak usah memperpanjang urusan. Yang penting sekarang Nara sudah pulang dan dia baik-baik saja. Itu sudah cukup.” Jihyun menengahi. Dia beringsut memeluk sang putri ketika Nara mulai menatapnya manja. Perkataan Jihyun membuat Jooho dan Jay terdiam. Sejatinya ada banyak pertanyaan yang masih menghantui pikiran mereka, tapi terpaksa urung ditanyakan. Bagaimanapun, Jihyun ada benarnya. Yang terpenting Nara sekarang baik-baik saja dan suasana hatinya sudah jauh lebih baik. Kendati begitu, Jay tetap tidak akan berhenti menanyai sahabatnya itu perihal keberadaannya semalam. ***** “Apa?” tanya Nara malas saat Jay mengekorinya ke kamar. Gadis itu menghempaskan pantatnya ke kasur dan bersedekap. Tatapannya memicing. “Aku tahu di dalam otakmu itu masih berputar-putar berbagai macam pertanyaan, bukan? Jadi, mana duluan yang ingin kau ketahui?” “Di mana kau semalam? Teman siapa yang kau maksud itu?” tembak Jay langsung sambil menyandarkan tubuh tingginya ke pintu dan bersedekap. Nara terkekeh. “Ternyata sahabatku ini posesif juga, ya?” “Cepat jawab saja!” sahut Jay cepat. Rautnya kini seolah ingin memakan Nara hidup-hidup. Tidak tahukah sahabatnya itu bagaimana khawatirnya Jay? “Hoon.” “Apa?!” “Iya, Hoon. Kang Hoon. Aku menginap di apartemennya semalam.” Nara mengabaikan wajah Jay yang melongo saat ini dan melanjutkan, “semalam aku bertemu dengannya dan dia berbaik hati memberiku tumpangan sekaligus mempersilakanku untuk menginap di flatnya.” “Tunggu, apa kau menyihirnya agar dia ….” Nara menggeleng tegas. “Sama sekali tidak. Awalnya aku juga bingung kenapa tiba-tiba sikapnya melunak padaku. Namun kemudian aku tahu kalau dia merasa bersalah karena selama ini melihatku sebagai gadis yang ada di lokasi tewasnya ibunya. Sosok yang telah dibencinya selama dua puluh tahun.” “Memang apa yang dilakukan sosok itu? Apakah dia mirip denganmu dan itu sebabnya Hoon ….” “Tidak hanya mirip, Jay. Sebenarnya aku memang sosok itu. Akulah yang ada di lokasi penusukan ibunya Hoon.” Jay tampak syok dan semakin tertarik dengan cerita Nara. Nara pun melanjutkan, “Hoon mengira aku meninggalkan ibunya yang sekarat begitu saja, padahal aku meninggalkannya usai memberinya pengobatan. Sayangnya, darahku tidak manjur menghentikan pendarahannya sehingga dia meninggal dunia karena kehabisan darah. Sebelum aku memberi pengobatan pada ibunya, aku sudah mengusir Hoon dan menghipnotisnya agar lupa padaku. Namun, dia masih mengingat wajahku.” “Dia mengingatmu karena air suci?” Nara mengangguk. “Kurasa begitu. Ibunya juga tidak bisa menerima pengobatan dariku mungkin karena efek air suci juga.” “Wow!” Jay berdecak. Dia menatap Nara tak menyangka. “Jadi, kau memang ditakdirkan untuk bertemu dengan Hoon sejak lama, ya? Takdir macam apa ini?” Nara tersenyum dan menggeleng. “Aku juga tidak tahu, Jay. Namun yang jelas, hal ini semakin membuatku ingin memilikinya. Takdir tidak mungkin mempertemukan kami tanpa alasan, bukan?” “Tapi kau juga harus ingat kalau pertemuan itu tidak selamanya pertanda baik.” “Aku tahu,” timpal Nara sambil tersenyum serupa seringai. “Tapi kita juga tidak akan tahu baik buruknya kalau belum menjalaninya, bukan?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD