The Savior

2257 Words
"Kenapa kau hujan-hujanan seperti ini?" Alih-alih menjawab pertanyaan itu, Nara justru tersenyum semakin lebar sambil bangkit dari tempatnya duduk. Dia menatap sosok lelaki fana yang memakai payung itu dengan tatapan berbinar, setengah tidak menyangka kalau sang pria akan sudi menghampiri dirinya. Sosok lelaki di depannya mendengus karena tak kunjung mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang dia lontarkan. "Kim Nara, apa kau tidak mendengar pertanyaanku?" "Saya mendengarnya dengan jelas," sahut Nara cepat. "Hanya saja saya tidak menyangka bahwa Profesor akan mendatangi saya seperti ini, padahal biasanya Anda bahkan tidak mengindahkan keberadaanku." "Tapi situasinya berbeda sekarang. Kau hujan-hujanan dan wajahmu juga murung. Sebagai dosenmu, aku tidak mungkin mengabaikanmu begitu saja. Terlebih lagi kau asistenku. Jelas aku mengkhawatirkanmu." Lagi-lagi Nara tersenyum mendengar penjelasan Hoon. Walaupun alasan pria itu karena status mereka sebagai dosen dan mahasiswi, Nara tetap merasa senang. Hoon mengkhawatirkan dirinya dan itu sebuah kemajuan. "Kau belum menjawab pertanyaanku." Suara Hoon yang kembali mengalun dengan disertai nada datar, membuat Nara terkesiap. "Oh, itu ...." "Pegang ini dulu." Nara belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Hoon tiba-tiba menyuruh dirinya untuk memegang payung. Dengan kebingungan Nara melakukan apa yang dosennya itu minta, tapi dia mulai menebak apa yang akan terjadi selanjutnya saat Hoon mulai melepas jaket yang melekat di tubuh pria itu. Pada detik selanjutnya, Hoon menyampirkan jaketnya ke tubuh Nara. Pria itu berpikir kalau Nara kedinginan setelah kehujanan seperti ini, padahal dia tidak tahu saja kalau Nara sama sekali tidak merasa kedinginan karena identitasnya sebagai seorang vampir. "Kita bicara di mobilku saja. Ayo!" ajak Hoon sambil mengambil alih payungnya kembali dan melingkarkan tangannya ke sekeliling bahu Nara, mengajak gadis itu masuk ke mobilnya. Nara bersorak gembira di dalam hati. Dia benar-benar tidak menyangka kalau Hoon akan memperlakukannya selembut ini, berbeda dengan sikap yang biasa dia tunjukkan selama ini. Kedua orang berbeda gender itu sudah berada di dalam mobil saat Hoon bertanya, "Di mana rumahmu? Biar ku—" "Tidak, jangan. Jangan ke rumah," sela Nara cepat sambil menggeleng. Rautnya tampak enggan. "Saya sedang tidak ingin pulang dan membuat kedua orang tua saya kebingungan." "Tapi kalau kau tidak pulang orang tuamu juga akan khawatir." "Saya bisa berbohong kalau saya sedang menginap di rumah teman. Kumohon, jangan suruh saya pulang. Saya tidak bisa menghadapi Ayah dan Ibu untuk saat ini." Nara sengaja memasang wajah memelas agar Hoon mau mengabulkan permintaannya. Ya, dia memang sedang tidak ingin ditanyai macam-macam oleh Jooho dan Jihyun karena kabur dari pesta. Bagaimanapun, kebenaran mengenai Ato yang disampaikan oleh Roxanne tadi masih membuatnya terguncang. "Lalu kau mau ke mana?" Hoon bertanya dengan nada bingung. Nara mengangkat bahu. "Terserah Anda saja, Prof, asal jangan ke rumah." Hoon hanya menghela napas berat kemudian mengangguk. "Ilana sudah tidur. Jadi, tidak ada pilihan selain rumahku, tapi ingat, jangan macam-macam." Senyum Nara pun terbit setelahnya. "Tenang saja, saya akan jadi gadis yang baik. Terima kasih, Prof," ujar Nara tulus. Hoon hanya menggumam dan mengalihkan atensi pada jalanan depan kemudian menyalakan mesin. Melajukan kuda besi kesayangan membelah jalanan kota Seoul di malam hari. "Sebenarnya apa yang terjadi padamu?" Akhirnya Sehun mengulang pertanyaan yang dia lemparkan beberapa saat lalu. Pertanyaan yang belum sempat dijawab oleh Nara. "Bukankah malam ini kau ada acara keluarga? Tapi, kenapa kau justru tidak ingin pulang dan bertemu orang tuamu?" Nara tersenyum. "Kalau saya memberi tahu Profesor, pasti Anda akan menyebut saya kekanakan. Saya saja merasa kalau itu sangat konyol." Tak disangka Hoon justru terkekeh. "Apa itu masalah cinta?" tebaknya. Nara menoleh dan menatap Hoon terkejut. Sambil ikut terkekeh gadis itu bertanya, "Bagaimana Anda bisa tahu? Apa Anda seorang cenayang?" "Tidak ada yang lebih konyol dari masalah percintaan. Setidaknya itu yang kuketahui dan pernah kualami." Nara tersenyum masam sambil mengalihkan pandangan. "Ya, Anda memang benar, Prof. Kekanakan sekali, bukan?" Hoon menggeleng. "Wajar kalau seseorang merasa kacau kalau berhubungan dengan percintaan. Kalau boleh tahu, apa yang terjadi?" "Sebenarnya acara yang kami hadiri tadi bukanlah acara keluarga. Itu adalah pesta tahunan yang diadakan oleh kerabat. Di sana, saya bertemu dengan orang-orang yang tidak ingin saya temui, salah satunya gadis ini. Dia adalah orang yang pernah mendekati mantan kekasih saya yang sudah meninggal. Dia menceritakan banyak hal mengenai mantan kekasih saya. Itu sebabnya perasaan saya jadi kacau seperti ini." "Memang apa yang dia ceritakan sampai membuatmu kacau seperti ini?" Nara menggigit bibirnya, menahan bongkahan rasa sesak yang tiba-tiba menyambangi. Nara benci ketika jiwa manusianya mendominasi seperti ini. Andai dia bukan setengah manusia, pasti dia tidak akan dengan mudah bersikap sentimental seperti sekarang. "Gadis itu mengatakan kalau mantan kekasih saya hanya main-main dengan gadis yang dia hamili. Dia hanya mencintai saya." "Dia pasti berbohong," sahut Hoon cepat. Tatapannya masih setia terarah ke depan. "Kalau pria itu mencintaimu, dari awal dia tidak akan pernah selingkuh, apalagi jika alasannya hanya untuk main-main." Nara tertawa, seolah membenarkan perkataan Hoon. "Anda benar. Kalau si k*****t itu mencintaiku, dia tidak akan hobi main-main di belakangku. Dia pasti akan menjadikanku satu-satunya, apa pun yang terjadi." Sadar kalau dirinya sudah mengumpat di depan sang dosen, Nara pun terkesiap. "Ups, maafkan saya karena mengumpat, Prof." Hoon menggeleng. "Tidak apa-apa, aku tahu kau sedang emosional saat ini." Nara mengangguk. "Oh ya, sedang apa Profesor di luar seperti ini? Ini kan sudah cukup larut?" "Aku mengambil barangku yang tertinggal di perpustakaan kota kemudian mampir ke kafe di seberang jalan tadi. Itu juga yang membuatku tidak sengaja melihatmu dan berinisiatif menghampirimu." Nara mengangguk tanda mengerti. Senyum malu-malu tercetak di wajah cantiknya sesaat kemudian. "Saya masih tidak menyangka kalau kita bisa bicara sesantai ini setelah pertemuan di Hades waktu itu." Hoon tersenyum. "Tidak ada salahnya kan kalau kita mulai bersikap hangat pada satu sama lain? Sekarang status kita bukan sekadar dosen dan mahasiswa, tapi dosen dan asisten dosen. Lagi pula, alasanku bersikap seolah memusuhi dirimu juga kekanakan. Aku baru menyadarinya sekarang." Pernyataan terakhir Hoon membuat dahi Nara berkerut penasaran. "Memang ada alasan selain karena sikap saya yang seolah ingin memiliki Anda, Prof?" Hoon tampak terdiam, seolah enggan menjawab pertanyaan Nara yang satu itu. Nara melihat dengan jelas keraguan di wajah pria itu serta gelagatnya yang langsung merapatkan bibir. Sejujurnya Nara begitu penasaran, tapi pada akhirnya dia memilih untuk berujar, "Eh, kalau Anda keberatan memberi tahu saya, Anda tidak perlu menjawabnya, Prof. Yang penting hubungan kita sudah membaik." Perkataan Nara pun berhasil membuat Hoon rileks kembali dan menyunggingkan senyum tipis. "Saya juga tidak akan lagi dengan sengaja menggoda Anda atau menunjukkan perasaan saya secara terang-terangan. Jadi, Anda bisa bersikap santai kepada saya, sebagai dosen tentunya." "Terima kasih, kalau begitu." Hoon terdiam sebentar sebelum akhirnya kerutan muncul di dahinya. Dia pun bertanya, "Omong-omong, kau tidak kedinginan?" "Hah? Oh," Nara buru-buru membuat gestur memeluk tubuh sendiri sambil mengusap-usap lengannya yang tertutupi oleh jaket Hoon. "Tentu saja saya kedinginan, tapi karena asyik mengobrol dengan Profesor saya jadi tidak terlalu merasa kedinginan lagi." Hoon mengangguk. "Kalau begitu aku akan menyetir dengan cepat agar kau bisa segera mandi dan berganti pakaian." "Terima kasih, Prof." Setelah itu, Hoon pun benar-benar menambah kecepatannya. Beruntung, jalanan malam itu sudah lumayan sepi sehingga keduanya bisa sampai lebih cepat di apartemen Sehun. ***** Sementara Nara mandi di kamar mandi kamarnya, Hoon membuatkan gadis itu teh hangat. Tadi dia juga sudah menyiapkan hoodie miliknya yang dirasa pas di tubuh ramping sang mahasiswi agar bisa dipakai sebagai pakaian ganti. Andai saja Ilana belum tidur, sudah pasti Hoon akan meminta tolong padanya untuk menampung Nara sementara waktu sekaligus meminjamkan gadis itu pakaian ganti. Sayangnya, Ilana langsung jatuh terlelap sesampainya di apartemen karena terlalu lelah. Jujur saja, sejak tadi Hoon merasa heran dan takjub pada dirinya sendiri. Dia tidak menyangka bisa bersikap sehangat itu pada Kim Nara, tidak seperti biasanya yang selalu bersikap acuh tak acuh bahkan cenderung dingin. Entah kenapa, melihat Nara murung seperti tadi dia menjadi tidak tega. Biasanya Nara terlihat angkuh, tapi baru tadi dia melihat seorang Kim Nara bisa terlihat begitu rapuh. Itulah yang mendorong dirinya untuk menghampiri gadis itu, guna menghiburnya dan memberikan pertolongan sebisanya. Lagi pula, seperti yang dia katakan pada Nara tadi, Hoon mulai memikirkan sikapnya selama beberapa waktu ini kepada gadis itu. Walaupun Hoon memang tidak menyukai sikap Kim Nara, dia tetap tidak boleh menyamakan sang mahasiswi dengan gadis yang dulu telah meninggalkan ibunya yang sekarat. Tidak ada bukti konkret kalau keduanya adalah orang yang sama. Tidak adil kalau Hoon membenci Kim Nara sebanyak itu hanya karena wajah mereka yang mirip. Nara butuh waktu lima belas menit untuk mandi. Waktu yang sebenarnya menurut Hoon cukup cepat karena Ilana saja membutuhkan waktu setidaknya lebih dari setengah jam. Pria itu tanpa sadar memandang takjub pada Nara yang keluar dari kamarnya dengan memakai hoodie yang tadi dia siapkan. Hoodie itu hanya menutupi tubuh Kim Nara hingga sebatas paha. Yang membuat takjub Hoon adalah wajah Nara terlihat jauh lebih cantik tanpa polesan riasan seperti ini daripada saat sedang berdandan. Ditambah rambutnya yang basah karena keramas juga menambah pesona gadis itu. "Prof?" Teguran Nara membuat Hoon terkesiap pelan dan segera mengalihkan pandangan. Tidak ingin ketahuan kalau sempat terpesona oleh penampilan sederhana sang mahasiswi. Pria itu berdeham pelan kemudian mengajak Nara untuk ikut duduk di sofa. "Duduklah. Aku sudah menyiapkan teh kamomil untukmu." Sambil berjalan mendekat Nara bertanya, "Teh kamomil?" Hoon mengangguk. "Selain untuk menghangatkan tubuhmu, teh kamomil juga bisa membuatmu tenang." "Oh" Begitu balasan Nara sambil mengambil tempat duduk di seberang Hoon. Gadis itu tersenyum sambil mengambil cangkir berisi teh kamomil tersebut. Menangkupnya, seolah sedang mencari kehangatan. "Terima kasih, Prof," ujarnya kemudian sambil tersenyum manis. Hoon mengangguk. "Minumlah selagi hangat." Nara pun mengangguk, tapi gadis itu tampak ragu. Hal ini terlihat jelas dari sikap Nara yang hanya menatap teh dalam cangkir genggamannya tersebut. Sikapnya tentu saja membuat Hoon keheranan. "Kenapa hanya diperhatikan seperti itu? Minumlah. Kau tidak perlu khawatir, di dalam teh itu tidak ada racunnya kok." Celetukan Hoon sukses membuat Nara menyemburkan tawa. Gadis itu buru-buru menggeleng. "Tidak, bukan begitu. Saya tidak berpikir kalau Anda akan meracuni saya. Saya hanya merasa takjub saja." "Takjub kenapa?" Hoon semakin heran. "Karena kebaikan Anda pada saya. Saya masih tidak menyangka kalau hubungan kita akan membaik hanya dalam waktu semalam." Hoon pun terkekeh dan mengibaskan tangannya. "Sudahlah, tidak perlu dibahas terus. Yang lalu biarlah berlalu. Yang penting sekarang kau minum saja tehnya." Nara mengangguk cepat kemudian menyesap teh buatan Hoon secara perlahan. Saat gadis itu sedang sibuk dengan minumannya, Hoon tiba-tiba berujar, "Maaf ya karena aku tidak memberikanmu pakaian yang layak. Kau tidak apa-apa hanya memakai hoodie seperti itu tanpa celana?" Raut bersalah menghiasi wajah Hoon. Nara menggeleng. "Saya tidak masalah. Lagi pula, di sini juga sudah cukup hangat." "Tadinya aku ingin meminjamimu celana, tapi aku juga yakin kalau pasti semua celanaku kebesaran jika dipakai olehmu." Kata-kata itu diakhiri dengan kekehan Hoon yang menular kepada Nara. "Saya sungguh tidak apa-apa, Prof. Diterima dengan baik dan ditolong seperti ini saja sudah membuat saya senang. Perasaan saya sudah jauh lebih baik sekarang." "Syukurlah kalau begitu." Nara pun kembali menyesap tehnya. Hoon hanya memperhatikan. Hoon juga tidak tahu kenapa, tapi rasanya dia betah berlama-lama memandangi wajah Nara seperti ini. Wajah yang sempat dia benci karena memiliki kemiripan dengan sosok yang dia benci. Namun, saat Nara mulai melirik ke arahnya, Hoon dengan sigap mengarahkan atensinya ke arah lain. Tiba-tiba saja dia merasa gugup, satu perasaan asing yang tidak pernah lagi dia rasakan kepada lawan jenis selama hampir sepuluh tahun ini. "Ibu Anda cantik." Sontak saja perkataan Nara membuat Hoon dengan sigap menoleh kembali padanya. Alisnya bertaut keheranan. Gadis itu justru tersenyum melihat keterkejutan Hoon. "Tadi saya melihat foto kalian berdua di kamar. Ibu Anda cantik sekali, seperti seorang malaikat." Nara menjelaskan. Hoon tersenyum karenanya. "Biasanya orang-orang akan mendeskripsikan ibuku secantik bidadari atau dewi, tapi kau justru menilainya seperti seorang malaikat." Nara mengangkat bahunya sambil meletakkan cangkir di meja. "Saya lebih suka menganggapnya seperti malaikat karena saya lihat juga sepertinya ibu Profesor seseorang yang sangat baik. Beliau pantas disebut malaikat." "Well, terima kasih kalau begitu. Pasti Ibu senang mendengarnya di surga." Hoon mengakhiri kalimatnya dengan senyum sendu. Mengingat sang ibu berhasil mengantarkannya pada malam kelam itu, malam di mana sang ibu meregang nyawa akibat tusukan pisau seorang perampok. Mengantarkannya pada rasa sakit yang sampai saat ini belum sembuh juga. "Apa? Ibu Anda sudah tiada?" Nara tampak terkejut dan tidak menyangka. Hoon mengangguk. "Ya, dia meninggal dua puluh tahun lalu. Malam itu kami diusir dari tempat tinggal kami karena menunggak uang sewa. Di pertengahan jalan kami dihadang oleh seorang perampok dan dia menusuk ibuku. Ibu meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit karena kehilangan banyak darah." "Tidak mungkin." "Apanya yang tidak mungkin?" Hoon merasa keheranan usai Nara berkata demikian. Raut gadis itu pun tidak menyangka, seolah Hoon baru mengatakan sesuatu yang tidak pernah dia kira akan terjadi. Sesuatu yang mustahil terjadi. Nara terkesiap pelan. "Oh, maaf, Prof. Bukan itu maksud saya. Saya hanya terkejut setelah mendengar kalau ibu Anda sudah tiada. Saya turut berduka cita." Walau merasa sangsi dengan jawaban Nara, Hoon tetap membalas, "Terima kasih." Keterdiaman melanda keduanya. Nara sibuk termenung, sedangkan Hoon sibuk memperhatikan gerak-gerik gadis di seberang dia duduk. Sebenarnya mulut Hoon gatal sekali ingin menyuarakan rasa penasarannya, tapi dia berusaha menahan diri. Akan tetapi, pertahanannya pun runtuh ketika akhirnya dia bertanya, "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Seperti dugaan Hoon, Nara sedikit terkejut ketika si Pria Kang menanyakan hal itu. Gadis itu terkekeh sebelum menjawab, "Tentu saja pernah. Bukankah pertemuan pertama kita di rooftop Hades?" "Bukan Hades, tapi tempat lain," sahut Hoon cepat. Dari nada suara dan sikapnya kelihatan sekali kalau dia tegang. Hoon pun mengatur napas terlebih dahulu sebelum melanjutkan, "Apa kita pernah bertemu dua puluh tahun lalu saat ibuku terbunuh?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD