Curiosity

2212 Words
"Apa kabar, Kawan?" Masih dengan raut terkejut, Yian langsung membalas, "Bagaimana bisa kau ada di sini?" Sosok yang diajak bicara oleh Yian tampak mengernyit. Tak lama setelah itu, kekehan pelan dia loloskan. "Memangnya apa yang membuatku tidak bisa? Aku bukan manusia, masuk ke rumah orang lain tanpa izin bukanlah hal sulit—" "Bukan itu. Maksudku, apa yang kaulakukan di Seoul? Bukankah kau ...." Sosok tampan yang duduk di sofa itu mengangguk cepat. "Ya-ya, aku tahu." Sosok itu bangkit dari sofa. Senyum miring tercetak jelas di wajahnya. Rangkulan bersahabat dia berikan pada Yian yang masih tampak tidak percaya akan keberadaan sang kawan lama di kediamannya. "Kau tahu, Kawan? Aku sudah bosan ratusan tahun berkeliling dunia. Itu sebabnya kini aku pulang. Lagi pula, aku harus menemui seseorang, ingat?" "Tunggu!" Yian menukas. Tatapannya berubah menjadi tatapan curiga. "Kaukah itu? Kau yang mengawasi dia malam itu?" "Bravo!" Sosok itu bertepuk tangan sambil tersenyum bangga. "Kawanku ini memang sangat cerdas. Ternyata aku tidak salah pilih sahabat." Lagi, raut tidak menyangka semakin jelas tercetak di wajah Yian. Dia memang sudah tahu soal tujuan makhluk yang ada di hadapannya itu kepada sosok yang sedang mereka bicarakan. Namun, tetap saja dia tidak menyangka kalau pria di hadapannya akan datang secepat ini. "Kau tahu kan sudah berapa lama aku menunggu?" Kali ini nada bicara si Kawan Lama terdengar serius, begitu pula dengan tatapannya. "Kesabaranku sudah ada di ambang batas. Aku tidak tahan lagi menunggu, apalagi sepertinya gadis itu sudah benar-benar move on dari kekasihnya terdahulu. Aku tidak ingin kami mengulang takdir yang sama." Yian terdiam, tidak tahu harus merespons bagaimana sebab sedikit banyak dialah yang membawa sang gadis impian sosok sahabatnya kepada takdirnya. Takdir yang tidak seharusnya terulang. "Tapi, aku juga kecewa padamu, Kawan." Sosok itu bicara lagi dengan nada yang berbeda. Kali ini dia terdengar sedih, tapi hanya dibuat-buat. "Tidak seharusnya kau mengarahkan gadisku untuk bertemu dengannya. Mereka tetap tidak akan bersama, entah itu atas kuasa takdir, atau aku yang membuatnya seperti itu." Yian masih saja membisu. Sengaja, dia ingin kawannya itu menyelesaikan kalimatnya terlebih dahulu. "Tapi tidak apa-apa. Aku ingin lihat sejauh apa hubungan mereka akan berkembang, apakah sama seperti yang kubayangkan atau hanya sekadar lewat. Terlebih lagi, ada hal mengenai pria itu yang belum kauketahui." Senyum jahil tercetak di wajah tampan sosok jangkung tersebut. Membuat Yian mengernyit tak mengerti. "Apa maksudmu?" Tawa menggelegar diloloskan sosok itu, membuat Yian semakin penasaran. "Penyihir seperti dirimu tidak akan bisa melihat atau merasakannya dengan jelas, tapi bagi makhluk seperti diriku, itu bukanlah hal sulit. Sekali berada di dekatnya saja aku langsung tahu." "Sebenarnya apa yang kaubicarakan?" Lagi-lagi sosok itu hanya tersenyum misterius. "Nanti kau juga akan tahu seiring jalannya waktu, Kawan. Yang jelas, hal itulah yang nantinya akan menjadi bom waktu dan aku akan menjadi pemantik api dari bom waktu yang akan memporak-porandakan mereka." "Jadi, kau akan membiarkan mereka?" Sosok itu mengangguk. "Setidaknya untuk saat ini. Sejak dulu aku sangat suka melihat pertunjukkan, bukan? Dan kisah mereka adalah kisah favoritku." "Apa itu artinya kau tidak akan menemuinya dalam waktu dekat?" "Tidak. Untuk saat ini aku hanya akan mengawasi mereka. Mengawasi dari dekat. Lagi pula, aku sudah berhasil membuat gadisku penasaran, bukan? Aku yakin, dia pasti akan mengulik informasi darimu. Jangan katakan apa pun mengenai diriku. Suatu hari nanti, aku akan menemuinya sendiri." ***** Nara tidak pernah menyukai pesta yang diadakan di ballroom. Memakai gaun, sepatu hak tinggi, dan bersikap seanggun mungkin bukanlah gayanya. Dia hanya suka berpesta di kelab, tempat di mana dia bisa menjadi dirinya sendiri. Tempat di mana dia bisa bebas mengekspresikan diri. Selain itu, dia tidak perlu repot-repot mengulas senyum palsu kepada setiap orang yang dia temui. Namun, apa daya, sebagai bagian dari bangsa vampir dia harus menghadiri pesta yang diadakan oleh Dewan Vampir. "You look great tonight," bisik Jay kepada Nara begitu sang gadis vampir memasuki tempat acara bersama Jooho dan Jihyun. Kedua orang tuanya itu langsung menghampiri sang pemilik hajat, yaitu Park Jungsoo dan membiarkan putri mereka bersama sahabatnya. Nara mengibaskan rambut panjangnya dengan tangan. Senyum sombong pun terbit di wajahnya. "Tanpa kauberitahu aku juga tahu kalau aku memang mempesona, Jay." Jay langsung berdecak. "Padahal aku memujimu karena ingin mendapatkan pujian juga." "Dasar pamrih!" "Tidak ada hukum yang melarang pamrih, bukan?" Nara hanya mencibir. Namun, beberapa saat kemudian dia tersenyum dan berujar, "Well, you look so hot tonight." Yang langsung menuai senyum lebar di wajah tampan Jay. "Tentu saja. Aku memang yang paling hot di sini." Nara hanya memutar bola matanya malas. Gadis itu berjalan mendahului Jay untuk menghampiri tempat minuman. Ya, di tempat itu hanya ada minuman yang dicampur dengan darah, sama sekali tidak ada makanan. Bagi bangsa vampir, darah adalah segalanya bagi mereka. Darah adalah makanan sekaligus minuman. "Omong-omong, mana Yian?" Nara bertanya sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Merasa heran, sebab penyihir itu belum kelihatan di manapun, padahal seharusnya pria itu menjaga tempat minuman. Usai menyeruput minumannya Jay menjawab, "Kata Gitae tadi dia akan menyusul." Gitae adalah vampir yang bekerja dengan Yian di Hades. Jay mengernyit penasaran. "Kenapa kau menanyakannya?" Nara mengangkat bahu. "Tidak apa-apa, hanya rindu saja padanya." Sang Gadis Kim mengakhiri kalimatnya dengan senyum miring di wajah. Kedua mata Jay membola, kentara terkejut mendengar kalimat yang Nara lontarkan. "Kim Nara, sekarang seleramu berubah ke penyihir? Kau sudah tidak suka pada manusia atau vampir lagi?" Bugh! Tonjokan main-main di lengan yang disertai oleh delikan tajam Nara pun menyapa Jay. Dengan nada galak Nara berujar, "Bukan begitu, Bodoh! Ada sesuatu yang harus kutanyakan pada Yian. Lagi pula, memangnya kenapa kalau aku benar-benar menyukai penyihir, hah? Kau cemburu?" Jay langsung memberikan gelengan keras yang disertai kibasan tangan. "Tentu saja tidak! Aku hanya kaget saja kalau sampai kau benar-benar menyukai penyihir. Selama ini yang kutahu vampir hanya berhubungan dengan sesama vampir atau manusia. Kalau kau berkencan dengan penyihir, maka kau akan menjadi vampir pertama yang melakukannya." Nara memilih tidak menanggapi Jay dan meneguk minumannya. Terkadang dia heran kenapa dia bisa betah bersahabat dengan pemuda di sampingnya tersebut. Jay memiliki pemikiran yang kadang tidak masuk akal dan terlalu mengada-ada, membuat Nara ingin memukul kepalanya. Walau begitu, ada kalanya juga Jay bisa bersikap lebih dewasa dan bijak daripada Nara. Mungkin itu yang membuat Nara begitu menyayangi Jay terlepas dari semua kebodohannya. "Kudengar ada yang mencariku." Bariton itu membuat Nara dan Jay dengan sigap menoleh ke sumber suara, apalagi sang Gadis Kim yang tampak cerah seketika. "Kenapa kau lama sekali?" Suara Nara mengalun. Gadis itu mengerucutkan bibir. Yian memeriksa jam tangannya kemudian terkekeh pelan. "Aku bahkan hanya terlambat lima belas menit, Kim Nara. Bahkan kau juga baru datang, bukan?" Nara meringis sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Yian menggeleng pelan sambil tersenyum. "Kenapa kau mencariku?" Raut Nara pun berubah. "Masih ingat soal sosok penguntitku itu? Apa kau tahu soal dirinya?" "Kau masih saja penasaran soal dia?" Jay yang tampak tidak menyangka. Nara hanya memberinya delikan tajam, mengisyaratkan sang sahabat agar tutup mulut. Yian terkejut tidak kentara. "Kenapa kau menanyakannya padaku?" "Karena kau yang paling tua di sini. Aku berpikir kau mungkin saja tahu." Yian terkekeh. "Menjadi yang paling tua tidak menjamin aku tahu segalanya, Nara." "Aku tahu, tapi paling tidak mungkin saja kau punya kenalan yang bisa kutanyai soal ini? Aku benar-benar penasaran." "Katakan, sebenarnya apa yang membuatmu penasaran dengan sosok itu? Karena wajahnya menyerupai Ato?" Nara menggigit bibir, tidak langsung menjawab. "Itu salah satunya," cicitnya. Namun, sedetik kemudian dia melanjutkan dengan nada bicara lebih tegas. "Tapi bukan itu poinnya. Aku penasaran dengan tujuannya mengawasiku dan menggunakan wajah Ato." "Mungkin dia hanya ingin mengacaukanmu dengan menggunakan wajah Ato, tapi aku juga tidak tahu apa tujuannya mengawasimu." "Maka dari itu, tolong kenalkan aku dengan seseorang yang mungkin saja tahu soal ini." Yian menghela napasnya. "Aku benar-benar tidak tahu, Nara. Dewan saja tidak tahu mengenai hal ini, apalagi bangsaku." Jawaban Yian membuat Nara menunduk kecewa. Sungguh, dia penasaran, tapi dia benar-benar bingung harus mencari tahu ke mana lagi. "Kurasa kau harus mencoba melupakannya, Nara." Itu suara Jay yang akhirnya mengalun setelah sekian lama diam. Tatapannya tampak serius saat berujar demikian. "Tapi, Jay—" "Jay benar, Nara. Rasa penasaran bisa membunuhmu. Semakin sedikit yang kauketahui, akan lebih baik." Nara tidak melayangkan protes lagi dan hanya mampu terdiam. Walau hatinya masih merasa sangsi, dia terpaksa mengangguk. Namun, dia bertekad untuk mencari tahu lagi suatu saat nanti. Apa pun yang terjadi, dia harus menemukan jawabannya. ***** Berbeda dengan Jay yang masih larut dalam suasana pesta, Nara memilih untuk menikmati minuman di balkon Gedung Dewan sambil menatap keindahan bulan. Sayangnya, saat ini bukan bulan purnama, tapi tidak apa-apa, setidaknya ada hiburan lain selain acara membosankan di bawah. "Kukira hanya aku yang merasa bosan, ternyata kau juga, Kim Nara?" Nara menoleh ke sumber suara yang tiba-tiba menyapa rungunya. Seorang gadis cantik berambut pirang dan memakai gaun hitam sedang menyeringai menatapnya. Nara melengos. "Roxanne Wildblood. Kau datang juga?" Gadis bernama Roxanne itu pun menyejajari Nara yang berdiri di dekat tepian balkon. Anggukan pelan diberikan gadis itu seraya berujar, "Aku tidak pernah absen di acara Dewan, ingat?" "Ah, benar juga. Ayahmu juga salah satu petinggi Dewan. Acara seperti ini adalah acara wajib bagi kalian, bukan?" Roxanne hanya terkekeh. Nara menyesap minumannya. Bicara soal Roxanne, Nara sudah mengenalnya sejak tiga puluh tahun lalu di New York. Tidak seperti Jay yang menjadi sahabatnya, Nara dan Roxanne tidak terlalu dekat. Mereka hanya bersikap ramah kepada satu sama lain sebagai formalitas semata, apalagi dulu Roxanne sempat menyukai Ato. Hal itu membuat Nara dan Roxanne sering bersikap sinis kepada satu sama lain jika bertemu. Tak jarang saling melempar sarkasme. "Kudengar ada seseorang yang menguntitmu dan wajahnya sangat mirip dengan Ato." Seharusnya Nara merasa terkejut karena Roxanne mengetahui hal ini, tapi setelah teringat akan status ayah gadis itu, dia pun mengerti. "Pasti Tuan Park menghubungi Tuan Wildblood dan kau mengorek informasi dari Beliau." Nara menoleh demi mengamati ekspresi Roxanne. "Benar, kan?" Roxanne hanya terkekeh. "Mudah sekali ditebak, ya?" Nara memutar bola mata malas. "Well, aku penasaran. Apa kau sudah menemukan sosok itu?" "Harusnya kalau kau mengorek informasi dari ayahmu, kau juga tahu kalau sampai saat ini tidak ada satu orang pun yang tahu siapa dia." "Kupikir kau sudah punya informasi mengenai hal ini." Nara memejamkan mata, menahan diri untuk tidak merobek mulut cerewet gadis di sampingnya. "Sayangnya, belum." Tak lama setelah itu, Nara melayangkan tatapan curiga pada Roxanne. "Kenapa kau begitu ingin tahu soal itu? Kau berpikir kalau sosok itu benar-benar Ato? Kau masih menyukainya?" "Tentu saja tidak!" Roxanne mengibaskan tangannya dan berjalan menjauh. "Aku hanya penasaran saja dengan alasan orang itu menguntitmu dan kenapa dia harus menyamar menggunakan wajah Ato." "Lalu, kenapa kau harus penasaran dengan hal itu? Itu urusanku." "Ya, aku tahu itu urusanmu, tapi wajar kan kalau aku ikut penasaran? Ah, bahkan hampir semua vampir yang mengetahui soal ini juga penasaran. Ato jelas-jelas sudah lenyap. Jadi, tidak mungkin kalau itu adalah dia. Kalau bukan dia, lalu siapa? Bangsa apa? Tidak banyak makhluk yang punya kemampuan mengubah diri." Sejujurnya Nara benci mengakuinya, tapi kata-kata Roxanne memang ada benarnya. Rasa penasaran yang sama juga menghantui benak Nara perihal makhluk apa sosok yang telah menguntitnya itu. Tidak banyak makhluk yang dapat berkamuflase menjadi makhluk lainnya. Terlebih lagi, sosok itu juga sulit dideteksi oleh insting dan indera penciuman Nara. Tidak ingin semakin pusing memikirkan sosok itu, Nara pun berbalik meninggalkan balkon. "Mau ke mana?" Roxanne bertanya. "Pulang." "Tunggu dulu! Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu." Roxanne mencegah sambil meraih pergelangan Nara, membuat sang empunya berdecak karena kesal. "Apa la—" "Ini soal Ato dan kebenaran perihal apa yang terjadi antara dirinya dan gadis fana itu." Mendengar hal itu, Nara pun menegang. Dia semakin tidak dapat menahan gejolak perasaannya setelah mendengar kalimat Roxanne selanjutnya. "Ato tidak pernah tergila-gila pada gadis bernama Jasmine itu. Dia hanya berniat meniduri Jasmine sekali dan tidak akan pernah menemuinya lagi. Namun, entah kenapa ada sesuatu yang seolah menghipnotisnya. Ada bisikan yang menyuruhnya untuk terus menemui gadis itu hingga akhirnya dia lupa diri dan membuat gadis itu hamil." "Jangan mengarang cerita, Roxanne! Ini semua tidak lucu." "Aku tidak sedang melucu atau mengarang cerita, Kim Nara. Ato yang mengatakannya sendiri padaku malam saat dia kabur setelah Jasmine mengaku hamil." Nara tidak tahu perasaan apa yang sedang menyambangi benaknya kini, tapi rasanya campur aduk sekali. "Percayalah, Nara. Ato hanya mencintai dirimu dan tergila-gila padamu. Tidak ada yang lain selain dirimu." Dan pada saat itu juga Nara ingin menangis sejadi-jadinya. ***** Bangsa vampir tidak seperti manusia yang mudah sekali menangis. Fungsi tubuh mereka memang tidak seperti orang normal pada umumnya. Itulah yang membuat Nara sangat kesal. Sudah tiga puluh menit dia duduk di halte bus ditemani hujan yang cukup lebat. Selama itu pula Nara tidak kunjung menangis, padahal dia ingin sekali melampiaskan perasaannya kini lewat air mata. Terkadang Nara ingin mengutuk takdir yang menjadikan dirinya seorang vampir, walaupun sebenarnya ada juga hal-hal menyenangkan yang dapat dia lakukan karena keadaannya tersebut. Sungguh, penjelasan Roxanne mengenai Ato tadi benar-benar membuat perasaannya kacau. Sulit sekali mendefinisikan apa yang sedang dirasakan olehnya kini. Itu sebabnya sejak tadi dia hanya melamun dan menatap bawah, tempat di mana rintik hujan berjatuhan. Akan tetapi, Nara dibuat terkejut ketika matanya menangkap sepasang sandal yang tiba-tiba muncul di dekatnya. Membuatnya seketika mendongak untuk melihat siapa gerangan sosok yang menghampiri. Nara pun tidak sanggup menahan senyuman ketika sosok itu bertanya, "Kenapa kau hujan-hujanan seperti ini?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD