Krisna memarkir mobilnya di depan Kafe Y dengan galau. Hatinya resah sehingga dia tak segera turun dari mobil. Di dalam rumah makan itu dia akan bertemu istrinya. Tiga hari yang lalu mereka bertengkar. Krisna akhirnya memutuskan pergi dari rumah dan belum pulang sejak hari itu. Sebenarnya ini memang konyol. Biasanya yang minggat dari rumah itu kan cewek, tapi untuk kasusnya, dialah yang memilih kabur.
Krisna merasa malu pada kepengecutannya sendiri. Dia takut bertemu dengan istrinya. Bagaimanapun kemarin dia sudah membentak wanita itu dengan sangat kasar, dan kini dia menyesali semua perbuatannya itu. Sayangnya sebagai seorang lelaki harga dirinya terlalu tinggi untuk meminta maaf duluan.
"Apa seharusnya aku nggak usah datang ya?" keluhnya bimbang.
Ya. Mungkin sebaiknya dia pergi saja. Tak ada aturan bahwa dia harus datang ke acara reuni ini. Kalaupun nggak datang juga pasti nggak akan ada yang mengomelinya. Istrinya bahkan sudah tidak menghubunginya sejak dia pergi dari rumah. Sebaiknya dia pergi saja sebelum ada orang yang menyadari kedatangannya. Ketika Krisna mau menyalakan mesin mobil tiba-tiba kaca jendelanya diketuk. Kak Juna berdiri di luar dengan senyuman mautnya.
"Hei," sapa dokter berbaju kotak-kotak itu ketika Krisna menurunkan kaca mobilnya. Konsultan Amdal itu tersenyum kering. Dia sudah tercyduk oleh Kak Juna, kalau dia pergi sekarang pasti orang itu bakal curiga.
"Apa kabar, Kak?" sapa Krisna basa-basi.
"Baik. Kamu kenapa nggak turun dari mobil? Aku lihat sudah lima belas menit kamu parkir di sini," tegur pria itu.
Krisna membasahi bibirnya yang kering dengar ludah. Dia meruntuk dalam hati. Kenapa dia bisa lupa kalau orang ini peka banget?
"Ada orang yang nggak ingin kamu temui? Kamu lagi berantem sama istrimu?" tebak Juna.
Krisna tertawa sumbang. "Nggaklah, cuman nyari dompetku tadi di mana, nggak ketemu," dalihnya. Cowok itu berpura-pura mencari benda yang sebenarnya ada di dalam sakunya.
"Santai ajalah, Kris, aku juga tiap hari berantem sama istriku," kekeh Juna melihat gelagat Krisna yang baginya sangat-amat mencurigakan. "Men form mars, women from venus, kita tuh beda planet dan beda pemikiran, bertengkar itu soal biasa."
Krisna menghela napas. Pertengkarannya kali ini bukan hal biasa. Bisakah dia tiba-tiba muncul di acara reuni ini seolah tanpa ada masalah apa-apa? Namun dia yakin istrinya tak akan memulai perdebatan di depan teman-temannya. ISetelah menikah, dia menyadari bahwa istrinya adalah tipe orang yang menghindari konflik, karena itulah selama ini sembilan tahun ini rumah tangga mereka adem ayem saja. Mungkin saja setelah pulang dari sini dia dan istrinya bisa mengobrol dan berbaikan lagi. Itulah harapannya.
"Kak Juna! Kris!" Seorang pria berbadan bongsor mendekat. Dia menyeringai dan menyapa dua koleganya itu.
"Kalian ngapain ngobrol di sini ayo masuk," ucap pemilik bengkel mobil yang lebih mirip sama altet smack down itu.
"Krisna nih. Aku dari tadi lihat dia di dalam mobil sini nggak berani keluar sampai lima belas menit. Katanya lagi berantem sama istrinya." cerocos Juna tiba-tiba. Nih, orang emang nyebelin. Belum juga Krisna mengiyakan pertanyaan tadi, informasi yang dia simpulkan sendiri sudah disebar luaskan ke Erwin.
Erwin terbahak. "Ngapain kamu nungguin Krisna yang nggak keluar dari mobil sampai lima belas menit, Kak? Jangan-jangan kamu sendiri juga lagi berantem sama binimu ya?"
Juna menepuk dahinya. "Hanya karena aku lupa ngangkat jemuran kemarin, seharian aku didiamkan," keluh dokter itu penuh derita.
Erwin dan Krisna tergelak. Ternyata Erwin jauh lebih peka. Kok Krisna tadi nggak mikir sampai ke sana. Pastinya Juna juga punya alasan kenapa dia tak segera masuk ke kafe tapi malah mengamatinya. Tapi alasan karena lupa mengangkat jemuran itu menurut Krisna cukup lucu. Masak sih iya kalau alasannys seperti itu saja Kak Juna bakal setakut itu? Dokter itu pasti hanya mengarang-ngarang alasan saja. Rumah tangga yang sudah terjalin sembilan tahun gonjang-ganjing hanya karena jemuran? Itu nggak logis banget.
"Udahlah, masuk aja. Ada banyak orang gini. Nggak mungkin mereka bakal ngamuk-ngamuk di sini, kan?" kelakar Erwin.
"Aku nyari temen. Takutnya dia udah di dalam. Aku nggak bisa masuk kalau cuman berdua sama dia, tapi si Krisna ini nggak keluar-keluar," aku Juna.
Krisna mendengus. Kok malah dirinya yang disalahkan sih? Dasar Kak Juna, manusia laknat. Krisna melirik Erwin yang hanya tertawa. Entah mengapa dia merasa kesal. Kok kayak gembira sekali hati raksasa ini. Seperti tidak punya beban hidup begitu.
"Kamu kayaknya lagi bahagia-bahagianya sama istrimu ya, Win," keluh Krisna sembari membuka pintu mobil dan melangkah keluar.
"Iya tuh kayaknya! Enak banget pengantin baru. Aku dulu juga tahun pertama nggak pernah berantem. Dunia serasa milik berdua," ucap Juna iri.
Erwin mengibaskan tangan. "Nggaklah, sama aja. Dia sudah sering ngomel tiap hari sejak pacaran. Setelah nikah malah lebih parah. Mungkin aku aja yang udah kebal."
Krisna menghela napas lalu menatap lantai. Berbagai perasaan campur aduk di dalam hatinya. Dia bahkan tak berani melangkah dan teringat kembali pada pertengkarannya tiga hari yang lalu.
"Aku, nggak yakin kalau dia mencintai aku," akunya tiba-tiba. Juna dan Erwin sampai berhenti dan memandangnya dengan prihatin.
"Dia kelihatannya belum bisa melupakan cinta pertamanya," lanjut Krisna.
"Kadang aku juga berpikir begitu," kata Erwin. "Mungkin dia nikah sama aku karena kasihan. Maksudku, dia cantik dan karirnya juga bagus. Kenapa dia mau nikah sama pekerja serabutan kayak aku gini?"
"Aku juga," lirih Juna. "Mungkin kita ini sebenarnya cuman second lead character. Tokoh utamanya adalah dia."
Tiga pria itu terdiam sejenak. Mereka kompak memandangi langit yang cerah di atas kepala mereka. Warna langit yang indah itu mengingatkan mereka pada satu nama yang tak akan pernah bisa mereka lupakan walaupun sudah lebih dari dua puluh tahun telah berlalu. Pemilik nama itulah yang selama ini membuat mereka tidak percaya diri.
***