"Kamu nggak terlambat, Kris?" tegur wanita itu.
Krisna menatapnya dengan sengit. Wanita itu selingkuhan ayahnya yang kini ikut tinggal di rumah Krisna. Dia bersembunyi dari semua orang karena perutnya yang sudah membuncit. Usianya bahkan tak terpaut terlalu jauh dari Krisna. Mungkin masih sembilan belas. Dia baru lulus SMA dan bekerja di kantor ayahnya setahun yang lalu.
"Terlambat atau nggak, itu bukan urusanmu," dengus Krisna.
Cowok itu memanggul tas begitu saja lalu melangkah keluar rumah. Ketika melewati ruang makan, dia berhenti sebentar di depan sebuah foto keluarga yang dipajang di sana. Tiga wajah tersenyum bahagia di foto itu. Dia bersama ayah dan ibunya. Krisna terdiam sejenak ketika memandang foto ibunya. Wanita itu kabur dari rumah sejak enam bulan yang lalu, ketika mendengar bahwa suaminya menghamili sekretarisnya. Kini Krisna bahkan tak tahu ibunya ada di mana. Dia hanya bisa berharap bahwa wanita itu baik-baik saja di mana pun berada.
Krisna mendesah sembari membuka pintu. Dengan berjalan kaki dia sampai di depan gerbang sekolah. Hari itu hari Senin dan dia seharusnya berangkat lebih pagi karena upacara.
"Sudah ditutup ya, payah," degusnya. Krisna menoleh ke bawah pagar dan terkejut melihat seorang gadia berjongkok di situ. Kok dia nggak menyadari keberadaan makhluk itu dari tadi?
"Hai, telat juga ya?" sapa gadis berkepang itu ragu-ragu.
Krisna tak menjawab. Dia melengos lalu berjalan mundur beberapa langkah. Dia mengambil ancang-ancang lalu berlari dan melompati tembok. Satu kali lompatan saja berhasil membuatnya bertengger di atas tembok.
Si gadis berkepang terpana melihat aksi pemuda tersebut. "Cu-curang! Aku juga mau masuk!" protes Jingga. Masalahnya, kakinya lebih pendek dari Krisna, jadi mustahil rasanya dia bisa melompati pagar tersebut.
Krisna mengawasi gadis berkepang itu sejenak lalu mengulurkan tangannya. Gadis itu tertegun, tak menyangka Krisna akan menawarkan bantuan.
"Ayo cepat, sebelum aku berubah pikiran," kata Krisna, karena cewek itu masih bergeming di tempatnya.
Cewek tersenyum kecil lalu meraih tangan Krisna. Dengan bantuannya, cewek itu berhasil naik ke atas tembok. Mereka lalu melompat turun bersama. Tiba-tiba saja, terdengar suara Pak Suparman si guru killer.
"Hei! Kalian telat ya!"
Krisna di si cewek berkepang kalang kabut. Mereka ketahuan.
"Ayo sini!" seru si cewek. Dia menggeret tangan Krisna begitu saja dan mengajaknya berlari. Mereka bersembunyi di dalam lemari tempat penyimpanan alay kebersihan di bawah tangga. Lemari yang sempit membuat mereka harus berhimpitan. Seketika Krisna merasakan debaran aneh di dadanya. Baru pertama kali dia sedekat ini dengan seorang cewek. Dia berdoa semoga cewek itu tidak dapat mendengar debaran jantungnya yang begitu kencang. Krisna memaki-maki dalam hati.
"Hei jantung! Bisa tenang sedikir nggak sih! Norak tahu!"
Cewek berkepang itu tampaknya tak terlalu peduli. Dia mengintip dari celah pintu. Melihat Pak Suparman sudah menyingkir, dia bernapas lega.
"Ayo keluar," usul cewek itu.
Mereka keluar dari lemari itu. Dengan was-was, mereka menyusuri jalan menuju lapangan voli tempat upacara sedang digelar. Tak banyak orang di belakang sehingga mereka bisa masuk ke dalam barisan dengan mudah.
"Namamu siapa?" tegur Krisna sebelum mereka memisahkan diri ke barisan putra dan putri.
"Jingga, kamu?" tanya gadis itu ramah. Krisna tercengung ketika melihat senyum gadis itu. Dia cantik sekali.
"Krisna," ucapnya.
***
"Silakan kumpul dengan kelompok kalian," ucap Bu Yuni, guru bahasa Indonesia.
Krisna berdecak. Dia tak terlalu suka dengan tugas kelompok di mana dia harus berinteraksi dan bekerja sama dengan orang lain. Ya udahlah, nanti dia pasang tampang seram aja biar nggak dikasih tugas.
Dengan malas Krisna bangkit dan menuju meja kelompok tiga. Dia terpegun sejenak menatap salah satu anggota yang sudah duduk di sana. Jingga. Cewek yang tadi pagi. Gadis berkepang itu tampaknya sadar lalu melambai padanya sok akrab.
"Duduk sini, Kris."
Krisna tak berkomentar apa-apa, tapi dia menurut saja dan duduk di sebelah cewek itu. Mata Krisna menatap anggota kelompok yang lain. Ada Erwin si anak berbadan bongsor tapi nyalinya ciut itu. Di sebelahnya ada Biru si cowok populer. Kayaknya setiap ketemu cewek di sekolah ini dia selalu aja mendengar mereka sedang memuji Biru. Emangnya dia seganteng apa sih? Kayaknya biasa aja tuh. Di sebelahnya ada cewek manis berbadan kecil nggak, Krisna nggak tahu nama cewek itu dan nggak peduli juga. Di sebelah kirinya persis ada di cewek berbedak tebal itu. Huh! Kelompok macam apa ini? Nggak menarik.
"Halo, boleh kenal? Namanya siapa ya?" Si Biru langsung SKSD sama si cewek cantik di sebelahnya.
"Vio," jawab gadis itu mungil itu.
"Aku Biru, salam kenal ya." Casanova itu lalu mencari mangsa lain. Dia mengulurkan tangan Jingga.
"Hei, kita belum sempet kenalan ya. Aku Biru."
Jingga memandangi tangan Biru lalu melengos. Hm ... ini cewek ternyata beda juga reaksinya. Kebanyakan cewek pasti seneng kalau diajak kenalan sama cowok paling ganteng di sekolah itu, kan?
"Hei, kamu masih marah soal kejadian kemarin?" tegur Biru.
"Iyalah!" sembur Jingga.
"Alah, gitu doang ngambek!"
Krisna memandangi kedua orang itu. Kejadian apaan ya? Kok dia jadi penasaran.
Jingga melotot dengan kejam. "Kamu nggak minta maaf sampai sekarang!"
"Maaf deh," ucap Biru tanpa rasa bersalah bikin Jingga makin keki. Gadis itu membuang muka lagi.
"Cie, cie, kalian berantem terus kayak suami istri aja," goda Erwin.
"Betul, namanya juga cocok. Biru dan Jingga. Jangan-jangan kalian jodoh," timpal si cewek berbedak tebal yang namanya masih menjadi misteri.
"Nggaklah! Siapa yang mau berjodoh sama dia!" geram Jingga. Berbanding terbalik sama Biru yang malah terkekeh.
"Mungkin juga," ucap cowok itu santai.
"Ng-ngomong apa kamu!" protes Jingga yang tampaknya terkejut dengan jawaban Biru.
Biru mengangkat bahu. "Kita kan nggak akan tahu apa yang bakal terjadi di masa depan," ujarnya. Jingga sampai melotot.
"Lagian kenapa kamu mengelak sampai segitunya sih? Jangan-jangan sebenarnya kamu emang naksir ya sama aku?" goda Biru.
Krisna melihat wajah Jingga berubah jadi semerah tomat. Oh ... jadi begini caranya mengerayu cewek? Si Biru ini emang jago. Pantas dia populer. Mulutnya manis tapi beracun.
"Nggaklah!" elak Jingga tak menyakinkan.
"Alah, ngaku aja deh. Aku nggak apa-apa kok ditaksir sama kamu," rayu Biru.
"Udah aku bilang nggak!" tegas Jingga.
Krisna menendang meja dengan sengaja sehingga membuat yang lain kaget dan memerhatikannya. Entah mengapa dia merasa kesal dengan perdebatan nggak penting antara Biru dan Jingga.
"Maaf, kakiku panjang," kata Krisna datar. Suasana langsung senyap seketika tak ada yang berani berbicara. Reputasi Krisna sebagai anak berandal di kampung ini memang sudah tersohor, tapi nampaknya Jingga tak tahu akan hal itu. Cewek itu mengerutkan kening dengan bingung.
"Sombong amat sih!" Gadis berkepang itu memukul bahu Krisna pelan. Krisna sampai tertegun. Baru pertama kali ada anak yang tidak takut padanya.