Lucas Fernando berjalan dengan tegap saat memasuki restoran khas Italia yang sudah Felix reservasikan malam ini. Kemeja putih, dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam yang pria itu kenakan nampak terlihat pas membalut tubuhnya yang begitu altelis.
Rambut Lucas yang biasanya klimis dan berponi, kini berganti model menjadi undercut messy dengan warna kecokelatan. Bahkan, kacamata tebal yang biasa bertengger di hidung mancungnya, kini tidak terlihat sama sekali pria itu kenakan.
Sungguh, penampilan Lucas Fernando malam ini berbeda 180 derajat seperti Lucas yang biasanya. Kalau di kantor ia terlihat begitu cupu atau culun, maka malam ini Lucas benar-benar menjelma menjadi sosok tampan layaknya pangeran yang sebenarnya.
"Maaf aku telat. Kamu udah lama nunggu di sini?"
Lucas menghampiri meja di mana tunangannya berada. Menarik kursi, kemudian ikut mendudukkan dirinya tepat berhadapan dengan wanita cantik di depannya itu, lalu menyapa dengan sopan.
"It's ok. Aku juga baru sampai satu atau dua menit yang lalu. Jadi, belum terlalu lama tunggu kedatangan kamu."
Davina Sastrawijaya tersenyum manis. Mengenakan mini dreas A-line off shoulder berwarna hitam dengan aksen glitter, membuat wanita yang sudah satu tahun bertunangan dengan Lucas Fernando itu terlihat begitu cantik dan anggun seperti biasanya.
Sebenarnya, Lucas dan Davina sudah saling kenal sejak kecil. Selain orang tua mereka yang berteman, keduanya bahkan sempat beberapa kali bersekolah di tempat yang sama. Mungkin karena kedekatan inilah yang memicu orang tua Lucas dan Davina memutuskan untuk menjodohkan mereka.
Padahal, Lucas sama sekali tidak berminat. Sebagai pribadi yang bebas, tentu ia juga ingin menentukan jalan hidupnya sendiri. Tapi, sial. Kenapa juga harus terlahir sebagai anak bungsu dan berjenis kelamin laki-laki?
Di dapuk untuk memikul tanggung jawab besar sejak dini. Segala bentuk ekspektasi besar dikerahkan begitu luar biasa kepada dirinya. Di gadang-gadang sebagai penerus bisnis keluarga membuat kedua orang tuanya juga sangat hati-hati mencarikan calon pendamping.
"Kamu udah ketemu sama Mama dan Papa?" tanya Lucas, lalu menyesap minuman yang sudah terhidang di atas meja.
"Udah," angguk Davina. Bagaimana dirinya tidak bertemu. Baru sampai di Indonesia saja, ia langsung dijemput dan dijamu oleh orang tua tunangannya itu. "Jadi, kapan kita menikah, Luc? Papa dan Mamamu bahkan memberiku pilihan antara akhir tahun ini setelah natal atau awal tahun setelah perayaan tahun baru," tanya Davina kemudian.
Lucas hampir saja tersedak minuman yang ia sesap sebelumnya. Padahal, pertanyaan ini yang ia hindari sedari tadi. Asal tahu saja, dulu ia pernah bercita-cita kalau dewasa nanti ingin sekali menikah dan membangun rumah tangga dengan wanita yang ia suka. Bukan malah dijodohkan seperti sekarang.
"Davina ... kamu tau kan, sebenarnya dari awal aku malas membahas soal pernikahan. Kamu juga tau kalau aku ---"
"Nggak sedikit pun cinta sama aku? Itu kan yang mau kamu katakan?" potong Davina, lalu gadis itu tersenyum masam. "Oh, ayolah, Luc. Kamu pikir aku suka dan cinta sama kamu? Kalau bisa menolak, dari awal kita nggak bakal sampai bertunangan apalagi siap-siap menikah seperti sekarang. Salahnya juga kita udah saling kenal dari kecil. Tapi, mau gimana lagi. Kita berdua sama-sama nggak bisa melakukan perlawanan, bukan?"
Lucas terdiam. Ucapan Davina sedikit pun tidak ada yang salah. Karena dari kecil memang terdidik sebagai anak yang penurut, Lucas mau tidak mau setuju dengan segala rencana yang sudah orang tuanya siapkan.
"Nggak ada yang bisa kita lakukan selain menurut. Aku bahkan sudah berbesar hati belajar mencintai kamu. Jadi, tolong kerja-samanya."
Davina lantas meraih gelas wine miliknya. Menyesap minumannya sejenak sembari terus memandangi wajah Lucas.
"Oke, kita bakal tetap menikah. Tapi, aku minta tolong sama kamu buat kasih aku waktu terlebih dahulu untuk menyelesaikan tugas penting yang sedang Papa kasih ke aku. Setelah ini semua selesai, aku janji bakal nikahin kamu."
"Berapa lama aku harus menunggu?"
Mata Davina memicing. Menatap lekat. Menunjukkan raut wajah penuh penuntutan. Ia tidak ingin kedatangannya jauh-jauh ke Indonesia tanpa hasil. Jadi, detik ini juga kalau bisa ia ingin memastikan kapan Lucas mempersunting dirinya.
"Mungkin enam bulan," sahut Lucas.
"No!" Davina langsung menggeleng tidak setuju. "Aku pikir tiga atau empat bulan udah jauh lebih dari cukup."
Lucas mendesah pelan. Menimbang beberapa saat apakah tugas yang ayahnya beri bisa diselesaikan dalam waktu yang sudah Davina tentukan barusan. Lantas tak lama ia pun mengangguk. Menyodorkan tangan mengajak bersalaman, menandakan kalau dirinya setuju dengan apa yang tunangannya itu pinta.
"Deal. Empat bulan lagi kita menikah. Dan aku minta dalam masa tersebut, jangan ganggu aku dengan apa pun itu yang berurusan dengan pernikahan. Tolong beri aku ruang terlebih dahulu untuk menyelesaikan apa yang harus aku selesaikan."
Davina mengangguk setuju. Bukan perkara sulit juga baginya untuk menunggu selama empat bulan. Toh, dari awal ia juga sudah terbiasa menunggu kepastian dari calon suaminya itu.
"Oke. Aku bakal kembali sesuai waktu yang sudah kita sepakati. Aku harap, setelah ini nggak ada alasan lagi buat kamu menunda pernikahan."
Lucas mengangguk disertai senyum. Setelahnya mereka berdua melanjutkan acara makan malam sebelum akhirnya berpisah seperti biasa.
***
Selesai mengantarkan Davina kembali ke Hotel, Lucas tidak langsung pulang. Pria itu memilih untuk singgah terlebih dahulu ke salah satu Bar yang sering ia kunjungi.
Di sana, sudah ada Felix yang menunggu. Asistennya itu memang berjanji ingin memberikan informasi terkait apa yang selama ini tengah ia selidiki.
"Ini dokumen Pak Argantara. Lengkap dari soal total kekayaan. Aliran dana hingga catatan keluar masuknya uang yang beliau simpan."
Lucas lantas meraih map cokelat yang Felix berikan. Mengeluarkan lembaran di dalamnya untuk kemudian ia baca terlebih dahulu.
"Akhirnya setelah sekian lama menyelidiki, dapat juga laporan bapak satu ini," gumam Lucas sambil terus membaca. Lalu tak lama matanya berhenti pada salah satu lembar yang membuatnya sedikit terkejut. "Jadi, Pak Argantara punya rekening di luar negeri?"
Felix mengangguk. Membenarkan pertanyaan Lucas. Bukan perkara mudah juga baginya mendapatkan informasi ini. Setelah berulang kali menemukan jalan buntu, akhirnya ia berhasil juga melaksanakan tugas yang Lucas beri.
"Sengaja dibuat untuk menutupi dana terlarang yang beliau gelapkan, Pak. Ada juga catatan aset beberapa properti yang sengaja beliau beli di luar negeri."
Lucas menarik sudut bibirnya, kemudian tersenyum sinis. Tidak habis pikir dengan jalan pikiran para tikus-tikus yang berhasil menggerogoti perusahaan ayahnya selama ini demi menambah pundi-pundi kekayaan.
"Aku bakal pelajari semua datanya. Setelah ini giliran Danu dan Daniel yang bakal aku kuliti."
"Gimana dengan Bu Deasy Vendela?" tanya Felix kemudian. Sebagai orang yang sering membantu dan juga sering Lucas beri tugas, Felix tentu tahu siapa-siapa saja yang menjadi target dan dan yang belum terjamah oleh atasannya itu.
"Sure. Deasy juga bakal aku selidiki. Tapi, sejauh ini data dia bersih. Dari semua kandidat, memang Danu yang mencurigakan."
"Saya tau tugas ini lumayan berat. Tapi, saya berharap Pak Lucas bisa segera menyelesaikannya," doa Felix dengan tulus.
Belum lagi selesai Lucas dan Felix berdiskusi, dari sudut lain terdengar keributan dari salah satu pengunjung. Awalnya, Lucas ingin abai. Tapi, ketika menyadari siapa yang sudah menjadi pusat perhatian, detik itu juga ia bangkit kemudian memutuskan untuk mendekat.
"Bu Deasy," tegur Lucas begitu sampai di meja di mana Deasy tengah berada. Bosnya itu tampaknya terlibat adu mulut dengan pengunjung lainnya.
"Dia teman kamu?" tanya pengunjung tersebut.
"I-iya. Dia ----"
"Mending buruan bawa pulang. Berisik banget dari tadi ngoceh nggak jelas. Saya sebagai pengunjung lain merasa terganggu. Mana nyolot banget waktu ditegur."
"Pak, ini Bu Deasy sepertinya mabuk banget."
Felix yang menyusul Lucas nampak memerhatikan dengan seksama bagaimana Deasy yang terlihat begitu sempoyongan. Wanita itu mengoceh tidak keruan dan benar-benar menganggu pengunjung lainnya.
"Bantu aku buat bawa dia ke mobil. Biar aku yang antar dia pulang."
Felix mengangguk dan langsung sigap meraih tubuh Deasy. Bantu menuntun wanita itu masuk ke mobil Lucas dengan hati-hati.
"Ini serius Pak Lucas yang mau antar bu Deasy ke apartemennya? Penampilan Pak Lucas kan nggak sama seperti ----"
"Nggak apa-apa," potong Lucas. "Deasy lagi mabuk berat gini Dia pasti nggak ngeuh. Mau sadar sekali pun, kayaknya dia nggak bakal ngenalin aku. Jadi, biar aku aja yang antar. Kamu suruh orang buat bawa mobilnya Deasy dan antar ke apartemennya malam ini juga."
Lucas kemudian masuk ke mobil. Segera memacu Ferrari merah yang ia kendarai menuju apartemen milik Deasy. Mau bagaimana pun, tidak mungkin juga ia tega menelantarkan bosnya itu. Apalagi mereka pernah tidur bersama sebelumnya.
Begitu sampai di Park Avenue, Lucas tampak peralahan menuntun wanita itu keluar dari mobil. Memapahnya dengan hati-hati hingga sampai di depan pintu unit apartemen yang Deasy tempati selama ini.
Beruntungnya, dari pengalaman sebelumnya yang pernah mengantarkan Deasy saat dalam keadaan mabuk juga, Lucas tahu kalau membuka pintu unit apartemen wanita itu cukup dengan menempelkan jari saja.
Dan benar saja, setelah pintu terbuka, buru-buru Lucas membawa Deasy masuk kemudian mendudukkan wanita itu di sofa.
"Deasy ... Deasy ... cantik begini tapi hobinya kok mabuk, sih. Putus cinta aja sampai segini galaunya. Buang-buang waktu."
Lucas bergumam sambil menggelengkan kepala. Memastikan Deasy yang sudah aman duduk di sofa, ia bermaksud untuk pulang. Bahaya saja kalau berlama-lama di sana.
Namun, baru saja berbalik badan dan hendak melangkah, pergelangan tangan Lucas tiba-tiba ditarik dari belakang. Menoleh, ia mendapati Deasy yang setengah sadar tersenyum ke arahnya.
"Tunggu! Kamu siapa? Muka kamu kayaknya familiar."
Lucas mendesah. Menoleh, kemudian berdoa dalam hati, semoga saja Deasy tidak benar-benar mengenali dirinya malam ini.
"A-aku ... aku ---"
"Ah, udah, nggak penting kamu siapa. Tapi, kenapa buru-buru banget?"
Sekali lagi Lucas mendesah. Beruntung Deasy tidak mempermasalahkan siapa dirinya.
"Tugasku cuma anterin kamu pulang karena tadi mabuk parah di Bar. Karena kamu udah aman, sebaiknya aku segera pulang."
Deasy tampak mengangguk. Lucas pikir setelah mendengar penjelasannya, Deasy akan membiarkannya pergi. Tapi, lagi-lagi dugaannya salah. Wanita itu malah menariknya hingga ia terduduk di sofa.
"Kalau ku perhatikan, kamu cakep juga. Nggak pengen temenin aku dulu sebelum pulang?"
"Temenin kamu?" ulang Lucas sedikit panik. Apalagi setelah melihat gelagat Deasy yang mulai agresif.
"Iya," angguk Deasy kemudian. "Aku lagi patah hati banget dan butuh hiburan."
Deasy kemudian berpindah tempat. Dengan berani naik, kemudian duduk tepat di atas pangkuan Lucas.
"Nggak tau kenapa, aku ngerasa kayak nggak asing sama wajah kamu. Dan rasa-rasanya, aku pengen banget ngelakuin hal ini ke kamu."
Deasy tanpa aba-aba meraih tengkuk kemudian mendaratkan bibirnya tepat di atas bibir Lucas. Memagutnya berulang kali, membuat Lucas sedikit kewalahan.
"Deasy!" tegur Lucas setelah berhasil mengurai ciuman membabi buta yang Deasy beri. "Kamu kalau mabuk suka nggak kira-kira, ya?"
Lucas heran sendiri. Entah ini memang kebiasaan Deasy atau efek dari patah hati yang tengah dirasakan. Yang pasti, wanita itu tampak bertindak di luar batasan ketika mabuk.
Kalau kemarin Deasy tanpa terduga menyerahkan begitu saja keperawananya, entah malam ini hal apa lagi yang akan wanita itu lakukan.
"Tuh, kan. Bibir kamu aja rasanya nggak asing. Apa sebelumnya, kita ---"
Lucas buru-buru menggeleng. Ia bahkan berusaha bangkit padahal Deasy masih berada di atas pangkuannya.
Namun, usaha Lucas tidak sedikit pun berhasil. Deasy malah kembali menarik tubuh Lucas. Tidak sedikit pun membiarkan pria itu bangkit dari duduknya.
"Mau ke mana sih buru-buru?"
"Aku mau pulang."
Deasy tertawa kecil. Bangkit dari duduknya, wanita itu sengaja berdiri tepat di hadapan Lucas sembari membuka satu per satu kancing kemeja yang ia kenakan.
"Iya, kamu boleh pulang. Tapi, setelah senang-senang bareng aku dulu."