When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Dalam perjalanan menuju pemakaman umum desa Rembang Kepuh, suasana hening begitu kental. Tak ada satu pun di antara Abimanyu atau pun Pak Raharja yang berminat untuk membuka pembicaraan. Pak Raharja hanya fokus dengan langkahnya, sementara Abimanyu fokus mengikuti sekuriti itu. Yang terdengar hanya langkah setapak mereka sendiri. Benar kata Pak Raharja, tempat pemakaman umum itu memang tidak jauh. Tempatnya berdekatan dengan sumber mata air yang jernih. Berhiaskan pohon - pohon besar yang membuat mereka sulit untuk melihat langit. Siang hari tam terasa seperti siang. Lebih mirip situasi di sore hari, menjelang maghrib, atau di Jawa dikenal dengan istilah waktu surup. Ketika baru sampai, Abimanyu langsung mengucap salam pada pada ahli kubur dan semua yang bertempat tinggal di tempat pemak