When you visit our website, if you give your consent, we will use cookies to allow us to collect data for aggregated statistics to improve our service and remember your choice for future visits. Cookie Policy & Privacy Policy
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
"Jaya, kapan kamu akan memulai ritual, Nak? Kamu harus mulai belajar sedikit demi sedikit. Supaya kelak jika Bapak sudah meninggal, kamu bisa langsung berdiri sendiri. Karena Bapak sudah membimbing kamu sejak awal. Ayo, sebelum semuanya terlambat, Nak." Harjo Subandi sedang bicara empat mata dengan putra semata wayangnya. Sementara Jaya Sukardi hanya diam menunduk. Ia memikirkan banyak hal. Sisi hati nuraninya berkata bahwa ajaran orang tuanya tentang pesugihan itu sama sekali tidak benar. Namun di sisi lain ia juga begitu terbebani sebagai anak satu - satunya. Warisan dari kedua orang tuanya hanya itu. Ia merasa menjadi anak yang durhaka jika tidak menuruti keinginan orang tuanya itu. Yang membuat pikiran Jaya Sukardi semakin terbebani adalah, istrinya Larasati selalu mengingatkannya su