Kembali ke apartemen sama artinya kembali berpelukan dengan sepi. Tidak ada yang menyambut apalagi menunggu kepulangannya. Ia tinggal sendirian di apartemen, tanpa ada seorang pun pelayan. Ia yang tidak menginginkannya, ia hanya memesan petugas kebersihan yang disediakan oleh pemilik gedung sebagai salah satu fasilitas, untuk membersihkan apartemennya satu kali dalam seminggu. Untuk urusan perut, ia cukup bersahabat dengan masakannya sendiri. Jika sedang malas untuk memasak, ia akan memesan atau makan di luar. Benar-benar hidup yang mudah dan tak ada beban.
Sebagian orang berpikir demikian. Namun, tidak bagi mereka yang mengenalnya. Semua yang sudah bersahabat dengannya sejak masih sekolah pasti memiliki pemikiran berbeda. Sahabat-sahabatnya tahu kenapa sampai sekarang ia masih betah sendiri, padahal sudah memiliki segalanya yang dibutuhkan untuk berumah tangga. Calon juga sudah tersedia. Banyak wanita yang mengantre untuk dekat dengannya, ataupun sekedar teman tidur satu malam saja. Sayangnya, ia sudah tidak seperti yang dulu lagi. Ia sudah berubah sejak menemukan pawangnya. Pun setelah Sang Pawang tiada, ia tetap bertekad menjadi William Arjuna Dirgantara yang lebih baik lagi. Bukan hanya karena ia sudah berjanji kepada wanita yang dicintainya, melainkan karena keinginannya sendiri.
Sepi. Keadaan yang sama setiap kali ia memasuki unitnya. Sepi juga yang dirasakannya walau di mana pun ia berada. Semua tempat sama saja baginya. Seandainya saja Diva masih bersamanya, keadaan pasti akan menjadi lain. Mereka pasti bahagia bersama anak mereka. Namun, Diva memiliki pikiran berbeda dengannya. Dia memilih untuk tinggal berdua saja bersama anak mereka, tanpa membawanya.
Juna melempar tas kantornya ke arah single sofa yang berada tak jauh dari meja kerja. Keduanya berada di bagian kiri kamarnya. Ia melangkah terhuyung menuju tempat tidur, melempar tubuhnya kasar dalam dalam jarak satu kaki. Tempat tidur itu bergerak, seakan bergelombang karena menerima beban tubuhnya secara tiba-tiba. Mata karamelnya terpejam setelah beberapa saat menikmati interior langit-langit kamar tidurnya yang masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Ada hiasan banyak bintang dan planet-planet di sana. Diva yang meletakkan benda-benda itu, dia menyukai angkasa.
"Kamu lagi ngapain di sana, Be?" tanya Juna lirih. "Kamu baik-baik aja, 'kan, Be? Anak kita juga baik-baik aja, :kan?" Juna membuka mata, dua bulir bening menuruni sudut matanya. "Aku kangen kamu, Be. Aku sepi nggak ada kamu."
Tubuh tinggi besar itu meringkuk di atas ranjang berukuran king size. Juna menarik kedua lutut, memeluknya erat setelah mengubah posisi berbaringnya menjadi menyamping, menghadap ke sebelah kanan. Tangan kanannya terukur ke arah nakas, mencoba menggapai sesuatu yang berada di atasnya, tanpa menatap. Beberapa menit mencoba, tapi tak berhasil, ia mendongakkan kepala, mencoba mengintip di mana benda yang dicarinya berada.
Bingkai foto berwarna emas itu terlihat serasi dengan foto di dalamnya yang menampakkan seorang gadis remaja berambut sepunggung dengan pipi chubby kemerahan. Rambut panjangnya tergerai menutupi sebagian bahu kanannya. Sangat cantik. Diva menang selalu memesona dalam setiap kesempatan. Juna membawa pigura berisi foto Diva ke dadanya, memeluk foto erat itu seolah ia memeluk Diva. Tak ada lagi suara. Juna selalu tenggelam dalam dunianya sendiri setiap kali kembali ke unitnya. Tubuhnya bergetar, bahu berguncang, bulir-bulir air mata jatuh dengan deras membasahi kasur. Juna akan tertidur dalam kesedihannya. Bangun tengah malam untuk berbicara dengan foto Diva yang berada dalam pelukannya.
***
Diva terbatuk beberapa kali, tersedak air liurnya sendiri saat sedang meminta izin pada Papa untuk keluar rumah besok. Dia akan menyerahkan berkas lamaran pekerjaannya ke perusahaan milik Arsen. Dia sudah memberitahu sepupunya itu tadi sebelum makan malam, jika akan ke kantornya untuk melamar kerja.
"Kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya Ronny khawatir. Mata Diva merah berair. Ia memajukan tubuhnya mengamati wajah putrinya yang memerah.
Della yang duduk di sebelah Diva langsung memberikan air minum ke tangannya. "Kamu minum dulu, ya, Sayang!" pintanya dengan suara bergetar dan tangan yang mengusap-usap punggung Diva.
Della baru pulang ketika Diva menyerahkan berkas lamaran kerjanya. Dia meminta papanya untuk memeriksa. Della bergabung dengan mereka di ruang keluarga. Baru saja Diva berbicara, meminta izin pada papanya, dia sudah terbatuk hebat. Tidak berhenti sampai meneteskan air mata.
"Kamu kenapa, sih, Nak? Kok, batuknya sampe gini amat?" Della bertanya sambil terus mengusap punggung Diva.
"Nggak apa-apa, kok, Ma, Pa." Diva menggeleng, bibirnya mengulas senyum untuk meyakinkan kedua orang tuanya bahwa dia baik-baik saja. "Nggak tau tadi kenapa Diva jadi batuk, kecepatan ngomong kali, ya?" Dia meringis. "Udah, 'kan, Pa? Diva boleh ke kantor Arsen, 'kan, besok?" tanyanya sekali lagi. "Atau gini aja, Papa aja yang nganterin Diva, gimana?"
Ronny mengangguk. "Boleh," jawabnya. "Kamu ntar pulangnya minta anterin Arsen aja atau dijemput sama Pak Dudung."
Diva mengangguk sambil tersenyum lebar. "Siap, Bos!" Dia berdiri, memberi hormat, dan tertawa. "Diva ke kamar dulu, ngantuk."
"Istirahat yang benar!" pesan Della. Dia juga berdiri, menjajari putrinya, mengecup keningnya. "Selamat tidur, ya, Sayang."
Diva mengangguk. "Selamat tidur, Mama. Selamat tidur, Papa." Dia berbalik, meninggalkan ruang keluarga dengan langkah lebar.
Diva menaiki tangga tergesa. Dia ingin segera sampai ke kamarnya dan berbaring untuk meredakan debaran jantungnya yang berpacu dia kali lebih cepat. Bukan karena terbatuk tadi, melainkan karena hal lain. Diva berbohong pada kedua orang tuanya saat mengatakan dia baik-baik saja. Keadaannya sebaliknya. Tubuhnya bergetar, jantungnya memacu kencang. Seseorang memanggilnya dengan suara serak, seorang pria. Diva yakin itu adalah pria dalam mimpinya. Pria itu menangis. Diva semakin yakin jika dia ada hubungannya dengan masa lalunya. Bayangan pria itu semakin sering muncul, suaranya semakin sering terdengar, bahkan saat dia terjaga.
Diva menarik selimut sampai menutupi d**a. Memejamkan matanya, mencoba untuk mengingat kejadian di masa lalunya. Namun, tak bisa. Dia hanya melihat kabut tebal di sana. Dia sangat ingin tahu siapa pria yang selalu hadir di mimpinya setiap malam. Dia yakin mereka pasti memiliki hubungan. Entah bagaimana jenis hubungan itu, yang pasti mereka dekat, sangat dekat. Dia merasa sesak setiap kali mendengar suaranya. Ada sesautu yang tak terkatakan. Suara itu seolah tak asing, terdemgar akrab, tapi dia lupa siapa pemiliknya.
"Siapa kamu?" Tak ada siapa-siapa di kamarnya. Diva bertanya pada angin kosong di atasnya. "Jangan bikin aku penasaran, dong. Tunjukin muka kamu, Juna!" pintanya tanpa sadar menyebut nama.
Diva terkejut. Tangan kanannya terangkat, menutup mulutnya dengan cepat. Dengan cepat juga dia bangun, meraba dadanya yang berdebar kuat. Dia menyebut nama seseorang yang tidak dikenalnya. Siapa Juna? Kenapa dia bisa menyebutkan namanya? Diva mengacak rambutnya yang panjang sepunggung, kembali berbaring dengan kasar. Selimut ditarik lagi, kali ini hanya sampai pinggang. Mungkin tadi dia kegerahan sehingga meracau. Diva menguap. Dia menyamankan posisi beebaringnya, menuruti permintaan otaknya untuk beristirahat segera.
"Selamat tidur, Juna."
Diva mengucapkannya dengan mata yang terpejam. Ketika alam bawah sadarnya mengambil alih, hal-hal penting yang dilupakannya kembali teringat. Diva divonis menderita Retrograde Amnesia sembilan tahun yang lalu ketika dia sadar dari koma dan tidak mengingat apa-apa. Hanya saja, terkadang dia menyebutkan sesuatu tanpa sadar. Sesuatu yang dia yakin berhubungan dengan masa lalunya.
***
Juna bangun dengan cepat. Suara Diva terdengar sangat jelas di telinganya seolah dia di sini. Diva mengucapkan selamat tidur padanya, seperti biasa saat mereka masih bersama.
"Be!"
Juna berseru. Turun dari tempat tidurnya tergesa. Saking cepatnya ia nyaris terjerembap karena kakinya terlilit selimut. Beruntung, ia memiliki keseimbangan tubuh yang baik sehingga dapat mendarat dengan kedua kaki di atas lantai kamar tidurnya.
"Be!"
Sekali lagi Juna berseru, memanggil wanita yang dicintainya dengan suara yang serak karena putus asa. Ia membuka pintu kamar mandi, berharap menemukan sosok Diva di sana. Namun, tak ada siapa-siapa. Juna kembali menutupnya, membanting pintu dengan kasar. Ia menuju keluar, menuruni tangga dengan cepat. Tak sabar, kaki panjangnya melompati dua atau tiga anak tangga sekaligus. Juna berlari ke arah dapur begitu berada di lantai satu unit apartemennya. Hasilnya sama saja, tak ada siapa pun di dapurnya. Ia seorang diri di unitnya.
Pencarian Juna berakhir di ruang tengah. Ia terduduk di salah satu single sofa dengan kepala tertunduk dan kedua tangan menahan kepalanya. Bahu kekarnya merosot, kembali berguncang untuk kesekian kali. Bulir-bulir bening menuruni pipi dengan cepat, berkumpul di dagu sebelum akhirnya jatuh di atas celana bahan, membentuk sebuah bulatan abstrak.
"Kamu di mana, Be?" Juna bertanya seorang diri. "Kamu tadi di sini, 'kan?"
Juna mengangkat kepala, mengusap wajah kasar, membuang tubuhnya ke belakang dengan kuat, bersandar pada sandaran sofa yang didudukinya. Apakah itu hanya mimpi seperti biasanya? Lalu, kenapa semuanya terasa sangat nyata? Suara Diva terdengar dekat, seakan sengaja membisikinya. Juna mengusap air matanya kasar, bangkit, dan menaiki tangga dengan tergesa untuk mengambil kunci mobil yang tadi diletakkannya di atas meja kerja. Jika tadi hanyalah mimpi, jika Diva tidak benar-benar mendatanginya maka ia yang akan mendatangi wanitanya.
***
Tempat pemakaman selalu identik dengan hal-hal yang mengerikan, apalagi bila didatangi pada malam hari. Namun, semua itu tidak berarti bagi Juna. Ia nekat mendatangi makam Diva, tak peduli jika malam sudah lumayan larut. Tak ada yang ditakutkan bila bersama wanita kecintaannya. Ia bahkan sering lupa waktu, seperti dua haru yang lalu.
Setiap sore sepulang dari bekerja, Juna selalu menyempatkan diri mengunjungi makam Diva dan buah hati mereka. Tidak pernah absen kecuali ia sedang berada di luar kota atau di luar negeri untuk urusan bisnisnya. Bercerita tentang semua yang dialaminya, juga apa yang terjadi pada teman-teman mereka merupakan topik yang selau dibicarakan Juna saat berkunjung. Juna juga bercerita mengenai para wanita yang masih saja berusaha mendapatkannya, kemudian meminta maaf, dan meyakinkan Diva jika sosoknya tidak akan terganti.
Juna tidak peduli jika ada yang menyebutnya gila. Tahu apa mereka dengan apa yang dialaminya. Kehilangan dua orang yang dicintai dalam satu waktu yang sama –bersamaan– merupakan pukulan berat bagi seorang remaja berusia delapan belas tahun. Ia beruntung bisa bertahan, meskipun dengan usaha sekuat tenaga, juga dorongan dari orang-orang terdekatnya, termasuk keluarga Diva, akhirnya ia bisa sampai ke tahap ini. Tahap bertahan yang paling sulit karena mimpi tentang Diva semakin sering datang. Terkadang ia seakan merasakan pelukannya, terkadang mendengar suaranya seperti tadi.
Juna meletakkan dua buket bunga mawar putih di dua makam yang berbeda. Makam Diva dan makam anak mereka yang berukuran lebih kecil. Juna tidak tahu jenis kelamin anak mereka sehingga ia tidak memberinya nama. Di batu nisan pun hanya tertulis 'Anak William Arjuna Dirgantara dan Diva Sandora Wijaya', sedikit lebih panjang dari nama yang terukir di batu nisan lainnya. Juna mengusap batu nisan bertuliskan nama Diva, mengecupnya sekilas, kemudian berpindah pada batu nisan anak mereka. Ia melakukan hal yang sama.
"Aku dateng malam-malam, ya, Be?" Juna terkekeh seorang diri. "Nggak kayak biasanya, 'kan? Aku kangen banget sama kamu, makanya aku ke sini." Juna menghela napasnya yang tiba-tiba terasa sesak. Ia mendongak, menatap langit malam bertabur bintang. Minimnya penerangan di area pemakaman membuat sinar bintang terlihat lebih terang. "Tadi kamu datang ke unit kita, 'kan, Be?"
Apartemen yang ditinggalinya memang bukan miliknya seorang saja. Juna berniat untuk memberikannya pada Diva setelah pertunangan mereka. Ia berniat menikahinya saat pengumuman kelulusan sekolah mereka. Sayangnya, semua tak berjalan sesuai harapan. Diva tewas di usianya baru tujuh belas tahun karena menenggak obat tidur berlebihan. Dia juga membawa anak mereka bersamanya, menyisakan dirinya seorang diri.
"Aku denger suara kamu jelas banget, kayak bukan mimpi." Jeda. Sekali lagi Juna menarik napas, lebih dalam dari tadi. Paru-parunya terasa kosong, dadanya memanas seakan terbakar. Wajahnya basah oleh air mata yang tumpah tanpa sadar. Kerinduan akan Diva selalu membuatnya tenggelam dalam kesedihan tak berujung. "Be, aku kangen." Juna terisak. Ia tak lagi menahan air matanya. "Aku pengen ketemu, Be. Sekali aja asalkan bisa liat kamu lagi."
Tak ada jawaban. Hanya suara gemericik dedaunan yang tertiup angin yang masuk ke indra pendengarannya. Juna tak beranjak meski malam semakin merambat. Ia ingin tetap di sini, bersama Diva dan anak mereka. Meskipun berada di pemakaman yang sepi, ia tidak merasa demikian, ia merasa lebih bahagian di tempat ini. Bersama dengan dua orang yang dicintainya, ia serasa memiliki dunia.
"Malam ini aku nggak mau pulang, Be. Aku mau sama kamu sama anak kita aja. Seandainya aja bisa, aku nggak mau pisah lagi." Juna mengusap kedua batu nisan bergantian. "Aku sayang kalian," ucapnya tanpa suara.
***
"Juna!"
Diva duduk dengan cepat. Napasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat, keringat membasahi pelipis dan tengkuknya. Diva mengusap wajah kasar beberapa kali menggunakan tangan kiri, tangan kanan menekan dadanya yang berdegup kencang. Dia kembali bermimpi, kali ini mimpi yang berbeda. Pria itu masih terlihat samar, tapi suaranya semakin jelas terdengar. Dia selalu memanggil 'Be', panggilan yang sama di setiap mimpinya. Satu lagi, dia kembali menyebutkan nama itu, nama tak dikenal dari seorang pria. Juna, Arjuna. Entahlah. Namun, nama itu terasa tak asing di telinganya. Dia yakin pernah akrab dengan pemilik nama itu. Juna.