Tidak ada yang lebih gila dari Juna. Fakta itu didapat Kevin setelah bosnya itu bercerita jika tadi malam dia tidur di sisi makam Diva dan anak mereka. Kalaupun ada tingkatan yang lebih tinggi dari gila, kata itu pantas disematkan pada Juna. Area pemakaman adalah tempat yang menakutkan bagi sebagian besar orang, tapi tidak berlaku bagi Juna. Entah ia harus kagum atau apa, yang pasti ia tidak dapat berkata-kata. Tercengang selama Juna menceritakan apa yang telah dilakukannya tadi malam.
"Gue nggak tau harus bilang apa, Jun." Kevin menggeleng. "Tapi, kalo lu nggak keberatan gue sebut gila, gue bakalan bilang kayak gitu. Lu gila, Juna!"
Tawa lirih meluncur dari mulut Juna. "Gue sama sekali nggak keberatan, Vin, karena tadi malam tuh gue ngerasa kalo gue emang udah gila." Juna menggeleng pelan beberapa kali. "Gue sadar itu, tapi gue tetap mau sama mereka. Gue kangen mereka, Vin."
Suara Juna merendah. Kerinduan pada kekasihnya yang sudah tiada membuatnya nekat melakukan itu. Persetan dengan cerita mistis yang selalu mengikuti setiap kali tempat peristirahatan terakhir itu disebutkan. Toh, faktanya tidak ada apa-apa di sana selain suara nyanyian serangga malam yang merobek keheningan malam, dan sepasukan nyamuk yang tak pernah bisa menggigitnya. Ia sudah mempersiapkan semuanya termasuk lotion anti nyamuk. Ia dapat tidur dengan nyenyak seperti saat tidur di dalam kamarnya. Bangun bertepatan dengan matahari terbit dan langsung pulang setelah berbincang sebentar dengan makam Diva dan anak mereka, agar tidak ada yang melihat kegilaannya.
Kevin mengangguk. Ia mengerti kerinduan Juna pada dua orang yang disayanginya itu, tapi yang tidak dimengertinya adalah cara Juna mengekspresikan kerinduannya. Sangat anti-mainstream.
"Gue ngerasa tadi malam Diva datang ke unit gue, Vin, terus ngucapin selamat tidur." Juna melanjutkan ceritanya. "Makanya tadi malam gue ngunjungin dia, biar dia tau kalo gue kangen banget sama dia."
Kevin mengusap wajah kasar, masih tidak habis pikir dengan Juna. Ternyata cinta bisa membuat seorang jenius bisa menjadi bodoh. Contohnya adalah pria di depannya ini. Kevin berdehem satu kali sebelum menyahut. "Gue yakin Diva pasti perasaan lu tanpa lu harus ngelakuin hal ekstrem kayak gitu, Jun. Dia nggak bakalan suka sama yang lu lakuin kalo dia tau. Lu lupa? Ikut tawuran aja lu dilarang apalagi tidur di kuburan." Tanpa sadar Kevin bergidik.
Juna tersenyum simpul. Ia melihatnya, dan yakin Kevin pasti merasa ngeri dengan apa yang sudah ia perbuat. Tak apa, asal jangan meragukan kewarasannya, apa pun yang dilakukan orang-orang di sekelilingnya, ia tidak ada masalah dengan itu. Untuk apa yang dilakukannya tadi malam, itu adalah sesuatu yang tidak direncanakan sebelumnya. Ia merasa putus asa, sudah tak dapat membendung lagi kerinduannya sampai melakukan hal di luar nalar. Katakan saja ia tidak sadar. Sekarang, seandainya diminta, mungkin ia tidak akan mau melakukannya lagi. Kevin benar, Diva tidak akan suka dengan apa yang dilakukannya. Tidur di area pemakaman adalah sesuatu yang gila, yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang juga gila.
"Jangan ngelakuin hal kayak gitu lagi, Jun!" pinta Kevin sungguh-sungguh. "Atau lu mau gue aduin sama Helen?"
Juna mendelik tak suka. Ancaman Kevin sangat tidak lucu baginya. "Lu mau gue pecat?" Ia balas mengancam.
Kevin tertawa. "Lu nggak bakalan ngelakuin itu. Lu itu masih perlu gue, Juna."
Juna mendengkus, ia membuang muka. Sekali lagi Kevin benar. Ia tidak akan memecat Kevin, tak ada sekretaris sehebat dan secakap pria yang duduk di depannya. Tak mudah mencari seseorang yang dapat dipercaya, di zaman sekarang ini di saat semua orang berlomba untuk memperkaya diri sendiri. Sudah terlalu banyak jasa Kevin pada perusahaannya, juga pada dirinya secara pribadi.
"Lu aduin gue sama Helen, lu gue aduin sama Nora." Skakmat! Juna menaik-turunkan alisnya. Kevin tidak akan bisa berkutik di tangan tunangannya.
"Astaga! Lu nggak adil banget!" Kevin membelalak. "Bisa nggak, sih, lu nggak bawa-bawa tunangan gue?"
Juna mengedikkan bahu. Bibirnya tersenyum mengejek. Seorang pria, senakal apa pun pasti akan bertekuk lutut pada wanita yang dicintainya. Kevin adalah bukti nyata dari kata mutiara itu. Dia akan melakukan semua yang dikatakan Nora. Seandainya Diva masih hidup, dia pasti akan mengejeknya habis-habisan, juga bahagia atas kebahagiaan mereka. Kevin dan Nora adalah teman sekelas Diva, mereka juga sahabatnya.
"Nyebelin banget jadi orang!" Kevin misuh-misuh. Mulutnya meruncing, terus mengomel menumpahkan kekesalannya. "Untung aja lu bos gue, untung juga gue sayang sama lu. Kalo nggak, udah gue tinggalin lu dari lama!"
Juna menggeliat jijik. Bersyukur tidak ada yang mendengar perkataan Kevin sehingga tidak ada yang akan menganggap mereka sebagai pasangan. Astaga! Jangan sampai itu terjadi. Meskipun sampai sekarang ia masih belum memiliki pasangan, ia tetap seorang pria normal. Pria normal yang kesepian, yang terkadang melakukan hal konyol yang tidak terduga seperti tadi malam. Juna tersenyum kecut mengingatnya Ia berjanji dalam hati tidak akan melakukan hal seperti itu lagi
"Bisa nggak lu nggak ngomong kayak gitu?" tanya Juna melemparkan bolpen ke arah Kevin. "Jijik gue dengernya. Ntar kalo ada yang denger kita dikira apaan lagi."
Tawa Kevin pecah. "Bisa geli juga lu?" ejeknya. Ia balas melempar bolpen yang sama. Semakin tergelak melihat bolpen jatuh tepat megenai wajah tampan bosnya yang menekuk. "Gue, sih, aman, 'kan, ada Nora. Nah, lu nggak punya siapa-siapa."
Juna mendengkus. Ia kena lagi.
"Makanya cari pasangan. Diva pasti nggak suka liat lu kayak gini."
Juna menatap Kevin tak acuh, lantas mengedikkan bahu. "Gue tipe cowok setia, Bro. Nggak gampang pindah ke lain hati."
Kevin mengembuskan napas melalui mulut pelan. "Lu pikir Diva suka liat lu kayak gini?" tanyanya hati-hati. Ia yang menjadi saksi apa yang selalu terjadi pada Juna hampir setiap malamnya, setiap kali ia menginap di unit pria itu. Oleh sebab itu, ia tahu betapa menyedihkannya seorang Arjuna Dirgantara. Di depan semua relasi ataupun lawan bisnisnya, Juna selalu terlihat garang. Namun, di belakang mereka semua, saat sendirian di apartemennya, Juna adalah seorang pria lemah dan menyedihkan. "Dia pasti pengen lu bahagia, Jun."
Juna menggeleng. "Gue nggak bisa, Vin," sahutnya. Ia menyandarkan punggung pada sandaran kursinya, mendongak, dan memejamkan mata. Tersenyum pahit saat sosok Diva yang masih mengenakan seragam sekolah mereka saat masih SMA, berkelebat di sana. "Diva pasti ngerti karena gue cuman cinta sama dia." Juna mengembuskan napas melalui mulut, menegakkan punggung, menatap Kevin dengan pandangan berkabut. Matanya selalu berair setiap kali mengingat almarhumah gadisnya. Kelemahan yang hanya ditunjukkannya di depan orang-orang yang dianggapnya bisa dipercaya. "Dia tau itu."
Kevin menatanya iba. Ada kagum dan bangga terselip dalam tatapannya. Sangat jarang dijumpai seorang pria yang begitu setia pada kekasihnya yang sudah tiada. Banyak pria di luar sana yang mendua padahal pasangannya masih hidup. Sementara Juna, tetap pada sendirinya meskipun sudah ditinggalkan Diva pergi selamanya, selama sepuluh tahun. Juna adalah salah satu dari sekian pria yang jarang itu.
Kevin tersenyum.Jika Juna sudah berkata seperti itu, tidak ada yang dapat memaksanya biar pun Roma sekalipun yang meminta. Juna terlalu keras kepala untuk cintanya, untuk cinta pertamanya yang jatuh pada seorang Diva Wijaya.
"Jadwal gue hari ini apa, Vin?" tanya Juna. Ia memencet pangkal hidungnya. Punggungnya kembali menempel pada sandaran kursinya. "Nggak ada meeting, 'kan? Gue malas ketemu orang-orang yang nggak gue kenal."
"Nggak ada, Bos," sahut Kevin bergurau. Meskipun sebenarnya ia serius. Hari ini jadwal Juna kosong, tak ada satu pertemuan pun yang akan dihadirinya. "Lu bebas hari ini."
"Syukurlah." Juna mengembuskan napas pelan. "Gue mau pulang cepat hari ini. Lu cek aja apa-apa yang perlu gue tanda tangani, ntar bawa ke apartemen. Biar gue tanda tangan di apartemen aja."
Kevin mengernyit. Tidak biasanya Juna seperti ini, meskipun sedang bersedih karena mengenang almarhumah Diva. Sangat tumben melihatnya tak bersemangat seperti sekarang ini. "Lu sakit, Jun?" tanya Kevin penasaran.
Juna menggeleng. "Nggak," sahutnya singkat. Ia membereskan barang-barangnya. "Lu lupa hari ini hari apa?" Ia balas bertanya.
Kevin mengerutkan alis, mencoba mengingat. "Hari Rabu, 'kan?" Ia bertanya ragu. Namun, ia juga yakin jika sekarang adalah hari Rabu.
Juna mengangguk. "Ingat nggak siapa yang bakalan ke sini hari Rabu gini?"
Mata Kevin membelalak horor. "Astaga!" Ia menepuk dahinya cukup kuat membuat bunyi pertemuan kulit dengan kulit terdengar memantul beberapa saat. "Kok, gue bisa.lupa, ya, Jun?" Kevin meringis. Menyesali sikapnya yang pelupa. Namun, selalu ingat dengan hal-hal yang dianggapnya penting.
Juna tidak menjawab. Ia hanya mengedikkan bahu dan terkekeh. Setiap hari Rabu, ia selalu mencoba keluar dari kantornya sebelum jam makan siang tiba. Biasanya sepuluh atau lima belas menit lebih awal. Yang pasti sebelum kedatangan wanita bertubuh mungil yang menyebalkan itu. Entah sudah berapa ribu kali ia menolak ajakannya untuk menghabiskan waktu bersama, atau sekedar makan siang saja, tapi Tasya tetap saja datang. Padahal dia sudah meminta pada penjaga untuk tidak memperbolehkan Tasya masuk, tapi mereka meloloskannya dengan berbagai alasan. Tasya memang sangat pintar berkelit, wajah imut dan polosnya juga –masih saja– menipu sampai sekarang.
"Beneran nggak ada yang penting, 'kan, jadwal gue hari ini?" Juna bertanya sekali lagi. Ia berdiri, menjinjing tas kantornya yang memuat semua keperluannya saat bekerja.
Kevin mengangguk. "Nggak ada yang penting, sih, selain kunjungan Tasya." Ia tertawa, lantas berlari keluar sebelum Juna melemparnya dengan vas cristal di atas mejanya itu.
***
"Itu udah beres semua, 'kan, Ar? Nggak ada yang kurang, 'kan? Biar aku lengkapi sekarang."
Pria tampan berambut hitam berusia tiga puluh dua tahun itu mengangguk. Arkan Wijaya tersenyum, memberikan ibu jari tangan kanannya pada sepupu cantiknya yang duduk di seberangnya. Sebuah meja kerja berukuran cukup besar memisahkan mereka. Berbagai macam kertas dan alat tulis lainnya serta sebuah laptop yang menyala di atas meja.
"Berarti besok aku udah bisa masuk kerja, dong!" seru Diva gembira. Mata cokelatnya melebar, selebar senyum yang menghiasi wajah cantiknya.
"Kata siapa boleh besok?"
Protes bernada tanya itu menyurutkan senyum Diva. Binar riang di matanya menguap. Punggungnya yang tadi tegak sekarang merosot, menempel pada sandaran kursi yang didudukinya. Bibir mungilnya yang dipoles pemulas berwarna merah, mengerucut. "Kok,nggak boleh?" tanyanya memprotes. "Terus kapan aku bisa masuk kerja?"
"Lu harus ikuti prosedur dulu lah!" sahut Arkan tersenyum penuh kemenangan. Ia memang sedang mengerjai Diva. Kinerja sepupunya dalam mengelola keuangan perusahaan tidak diragukan lagi. Diva memiliki pengalaman empat tahun bekerja, di salah satu perusahaan besar di negara adidaya. Sebenarnya besok pun Diva sudah bisa bekerja, hanya saja ia tidak enak dengan para karyawan lain. Ia tidak ingin dituding sebagai atasan yang tidak adil, mempekerjakan sepupunya tanpa mengikuti prosedur penerimaan karyawan.
"Eh? Kok, gitu?" Diva mengerjap.
"Besok lu datang lagi buat interview." Arkan tersenyum. Kesepuluh jarinya bertaut, siku menumpu pada meja, menopang dagunya. "Lu tenang aja, pasti diterima. Kebetulan salah satu manajer gue mengundurkan diri karena melahirkan, lu bisa ngisi posisinya."
Diva melemparkan bolpen ke arah Arkan. Bibirnya masih mengerucut. Meskipun dijanjikan posisi yang memadai, dia tetap kesal. Namun, Arkan juga tidak salah. Sepupunya hanya ingin semua sesuai dengan peraturan yang berlaku di perusahaan miliknya.
Arkan berkelit ke kanan menghindari bolpen Diva. "Sadis amat lu, Va!" belalaknya. "Katanya lu mau kerja sama gue, belum diterima aja lu udah nimpuk gue. Astaga!" Arkan mengusap lengannya yang terkena lemparkan bolpen, dengan dramatis.
"Astaga, geli liatnya!" Diva bergidik. Mengambil tas selempang dan menyampirkannya ke bahu kanan. "Mending pulang!" Dia langsung berbalik, melangkah cepat menuju pintu.
"Jangan lupa besok ke sini lagi, woy!" seru Arkan sebelum Diva benar-benar keluar dari ruangannya. Dia sudah berada di depan pintu yang terbuka.
Diva hanya menoleh sekilas. Dia menjulurkan lidah mengejek kemudian menutup pintu lumayan keras. Persetan dengan Arkan dan sekretarisnya jika mereka terkejut. Dia juga mengabaikan tatapan tak suka dari wanita dengan dandanan menor itu. Setengah berlari Diva menuju lift khusus direksi yang terletak beberapa meter lagi di depannya. Sebelum memasuki lift kosong yang pintunya terbuka, Diva sekali lagi menoleh pada sekretaris sepupunya, melemparkan tatapan membunuh pada wanita berpakaian minim itu.
Masih terlalu pagi untuk pulang. Sopir jemputan juga belum datang. Dia meminta sopir untuk menjemputnya bertepatan dengan jam makan siang. Masih ada dua jam lagi sebelum makan siang tiba, dan sekarang dia bingung harus ke mana. Dia tidak mengenal kota ini. Ralat, bukan tidak mengenal, tapi tidak ingat. Diva menarik napas, memutar tubuh ke arah kanan, dan mulai melangkahkan kaki. Dia mengikuti kata hatinya.
Dua puluh menit bukan waktu yang sebentar bagi seseorang berjalan kaki. Tadi dia mengikuti penunjuk arah dari ponselnya. Dia tengah mencari kafe untuk berisitirahat, tapi belum menemukannya juga. Diva mengembuskan napas melalui mulut dengan sedikit keras. Bukannya lelah, dia hanya berusaha untuk mengurangi rasa cemas yang mulai merayapi hatinya karena takut tersesat. Untuk berjalan kaki sejauh apa pun, dia sudah terbiasa. Dari stasiun kereta ke tempat kerjanya dulu dia harus berjalan kaki selama lima belas menit.
Diva mengibas-ngibaskan tangan di depan wajahnya. Cuaca ibu kota hari ini lumayan menyengat, ditambah dengan dia yang tidak tahu sedang berada di mana membuat bulir-bulir keringat menghiasi pelipis dan lehernya. Kakinya terangkat berniat melanjutkan langkah sebelum sebuah seruan membuatnya berhenti.
"Be?"