Bab 1
Aku sayang kamu, Be. Janji, ya, nggak pernah tinggalin aku!
Diva duduk dengan cepat. Mimpi itu datang lagi, bersama senyuman samar seorang laki-laki. Diva memegang dadanya yang berdebar. Selalu seperti ini, jantungnya selalu berdebar keras seperti seseorang yang berlomba setiap kali mimpi itu datang. Sudah sepuluh tahun dan semuanya tidak berubah. Mimpi itu selalu datang sejak dia terbangun dari koma dan kehilangan ingatannya. Diva mengembuskan napas kuat dari mulut, menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Mata bulatnya melirik ke arah nakas, mengintip jam digital yang berada di atas sana. Sekali lagi Diva mengembuskan napas. Masih pukul tiga dini hari, pagi masih beberapa jam lagi, tapi dia tidak akan bisa memejamkan mata kembali. Seperti biasa, setiap mimpi itu datang dia akan tetap terjaga sampai pagi tiba.
Diva meraih botol air mineral di balas sebelah kanannya, tepatnya di sebelah jam digital. Membuka tutupnya dan meminum isinya sampai setengah bagian. Dia sangat haus. Mimpi yang sama dan selalu berulang setiap malam membuatnya dehidrasi. Memang sepertinya tidak ada hubungannya. Namun, percayalah, Diva selalu merasa haus setelah memimpikan itu.
Diva bangkit, menurunkan kaki dan melangkah menuju meja kerja yang terletak Berseberangan dengan televisi yang hampir tak pernah dinyalakan. Diva terlalu sibuk sekedar untuk menonton tayangan televisi. Dia lebih memilih untuk bekerja daripada menonton. Dengan bekerja dia bisa melupakan mimpi yang selalu datang di tidurnya setiap malam. Mimpi yang sama, suara yang sama, kata-kata yang sama.
Diva memencet pangkal hidung, mengambil ponsel dan menyalakannya. Dia akan menghubungi orang tuanya sebelum memeriksa pekerjaan untuk esok. Beberapa tahun tinggal di negeri orang, tepatnya sejak dia membuka mata sepuluh tahun yang lalu, Diva sudah memiliki pekerjaan yang mapan. Jabatannya sebagai salah satu manajer di salah satu perusahaan ternama di kota tak pernah tidur ini membuatnya tidak kekurangan apa pun. Diva terlalu malas untuk pulang ke tanah air, selain kedua orang tuanya yang tidak mengizinkan. Entah apa alasannya, kedua orang tuanya tidak pernah mau memberitahu. Dia juga terlalu sibuk untuk mencari tahu.
Sambungan panggilan video itu akhirnya terhubung setelah beberapa kali suara dering. Senyum Diva mengembang melihat wajah Della Wijaya, mamanya. Meski belum mengingat kedua orang tuanya, tapi Diva yakin dengan mereka. Hatinya mengatakan itu. Begitu juga dengan keluarganya yang lain, dia tidak meragukan mereka. Selama sepuluh tahun ini, mereka yang selalu mendampingi dan menguatkannya.
Amnesia yang dideritanya sedikit parah, buktinya dia masih belum mengingat sampai sekarang. Dia tidak boleh memaksakan mengingat atau akan berakibat fatal. Dia bisa kembali koma atau lebih buruk lagi membahayakan nyawanya. Oleh sebab itu Diva tidak pernah mencoba untuk mengingat. Dia yakin suatu saat ingatannya pasti akan kembali. Dokter yang menanganinya tidak menganjurkan hal itu. Menurut dokter yang menanganinya, ingatannya pasti akan kembali walau secara perlahan. Masalah ini juga menjadi salah satu alasan orang tuanya untuk tidak membolehkannya pulang ke tanah air. Dia harus berkonsultasi dengan dokter pribadinya itu, seminggu sekali rutin.
"Halo, Sayang. Gimana kabar kamu?"
Sapaan hangat Mama memasuki indra pendengaran Diva, memunculkan senyum di wajah cantiknya.
"Halo, Mama. Diva baik-baik aja," jawab Diva sambil menguap, dia menutup mulutnya menggunakan tangan kanan. "Mama sendiri gimana? Baik-baik juga, 'kan?"
"Apanya kamu yang baik-baik aja?"
Pertanyaan bernada keras Mama membuat Diva sadar. Buru-buru dia membenarkan duduknya. Mengusap wajah dan menggulung rambut ke atas asal-asalan. Diva selalu bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Dia tidak pernah menceritakan mimpinya kepada siapa pun, termasuk kepada orang tuanya. Diva yakin mereka pasti akan mengatakan telah dak tahu menahu dengan semua itu.
Pernah dulu dia bertanya sekali, saat mimpi itu pertama kali datang. Mama yang sedang mengupas buah apel untuknya berhenti, menatap Papa seolah meminta dukungan. Kemudian Papa yang menjawab kalau itu hanya mimpi, bunga tidur. Sejak itu dia tidak pernah bercerita lagi. Meski mimpi itu tetap datang setiap malamnya, dia mencoba meyakinkan dirinya kalau itu hanyalah bunga tidur saja. Seperti yang dikatakan Papa.
"Kamu pasti begadang lagi!"
Diva menggeleng cepat membantah tuduhan Mama. Kenyataannya dia tidak begadang, dia terbangun dan tidak bisa tidur lagi setelah bermimpi yang sama selama sepuluh tahun. Diva yakin kalau orang di dalam mimpinya adalah seorang laki-laki. Dari suara besar dan dalamnya Diva menyimpulkan. Lagipula dia seorang yang normal. Meski sampai sekarang dia masih sendiri tidak berarti dia memiliki perilaku seks menyimpang. Kesendiriannya hanya karena ingatannya belum kembali. Dia akan mencari pasangan hidup setelah semua ingatannya kembali.
"Diva nggak begadang, Ma," bantah Diva. "Bentar lagi juga tidur ini, masih ngerjain laporan buat besok."
Diva menggigit pipi dalamnya setelah mengatakan itu. Untuk kesekian kali dia telah membohongi Mama. Namun, sungguh, dia tidak bermaksud melakukannya. Diva hanya tidak ingin Mama khawatir saja.
"Sama aja! Itu artinya kamu juga begadang!"
Diva meringis, tersenyum kikuk. Memang kedua kata itu terdengar berbeda, tapi memiliki arti yang sama.
"Jangan tidur telat terus, dong, Sayang. Mama nggak suka, ya, kamu terus kayak gitu. Mending kamu nggak usah kerja, biar dikirimin Papa uang tiap bulan."
"Kalo nggak kerja mending Diva balik Indonesia aja," sahut Diva. Dia tahu betul, Mama pasti tidak akan menyetujui. Oleh sebab itu Diva selalu menggunakannya untuk membalas setiap kali Mama menekannya.
"Selalu aja kayak gitu!"
Dia benar, 'kan? Mama pasti akan menyerah dan mengatainya sebagai anak keras kepala. Diva sudah hafal di luar kepala sifat Mama. Memang benar dia kehilangan ingatan, tapi dia masih memiliki hati yang selalu bisa mengenali dan meyakini setiap sesuatu.
"Ancaman kamu nggak elite banget, sih, Va? Selalu ngancam Mama kayak gitu!"
Diva mengikik geli melihat delikan tajam Mama.
"Diva nggak ngancam Mama," sahut Diva memasang wajah tak berdosa.
"Nggak ngancam apanya?"
Diva tertawa kecil melihat bibir Mama yang maju beberapa sentimeter.
"Berapa kali udah Mama bilang, Mama nggak ngelarang kamu pulang cuma kamu juga harus mikirin gimana dengan konsultasi kamu. Emangnya dokter Rebecca mau ikut ke Indonesia? Atau kamu mau ganti dokter aja?"
Diva menggeleng cepat. Dia tidak mau menggantikan dokter Rebecca dengan dokter lainnya. Dia sudah terbiasa ditangani dokter Rebecca. Sejak awal membuka mata sampai sekarang, dokter Rebecca selalu menangani dan ada untuknya. Keberadaan dokter Rebecca juga yang membuat Diva betah di sini. Dokter perempuan itu sudah seperti pengganti Mama baginya.
"Nggak mau ganti, nggak suka." Diva mengedikkan bahu tanda tidak suka. "Diva nggak perlu dokter lain!" ucapnya dengan bibir mengerucut.
"Ya, udah, kalo gitu jangan bentar-bentar ngancam mau pulang."
Diva cemberut. Sungguh, kantuknya sudah benar-benar hilang sekarang. Perkataan Mama sukses membaut matanya terbuka sempurna.
"Isshhh Mama gimana, sih? Diva nggak ngancem Mama, ya. Diva cuman bilang kenyataan. Ngapain juga Diva tetap di sini kalo nggak ada yang dikerjain, mending pulang kali, Ma. Biar nggak ngabisin duit Papa." Diva masih manyun.
"Lha, itu juga yang mau Mama lakuin, ngabisin duit Papa kamu."
Diva memutar bola mata mendengar tawa Mama. Pipinya masih menggembung. Meski usianya sudah dua puluh tujuh tahun dan kehilangan ingatan selama bertahun-tahun, Diva masih tetap manja. Tinggal terpisah dengan kedua orang tuanya memang membuatnya mandiri tetapi tidak membuang sifat manja yang memang sudah mendarah daging. Seperti yang dikatakan Arkan, sepupunya. Sampai kapan pun, kehilangan ingatan atau tidak, sudah dewasa atau sudah tua dirinya akan tetap menjadi perempuan yang manja.
Sebenarnya Diva tidak masalah dengan semua ini. Masih belum mengingat masa lalu dan semua orang yang dikenalnya juga dia tak dak terlalu memikirkan. Satu-satunya yang menjadi masalah di dalam hidupnya adalah mimpi yang selalu datang setiap malam. Mimpi yang sama, seseorang yang memintanya untuk tetap bersama dan tidak meninggalkan walau apa pun yang terjadi. Yang dia yakin sebagai bagian dari masa lalunya. Diva sangat ingin mengingat kembali, atau setidaknya dia tahu siapa laki-laki di dalam mimpinya. Dia sangat ingin tahu apa arti laki-laki itu baginya. Sayangnya, kepalanya sangat sakit sampai rasanya ingin meledak setiap dia berusaha mengingat.
"Kamu yang tenang aja di sana. Fokus sama penyembuhan kamu, jangan mikirin yang lain dulu. Ingat, 'kan, apa kata dokter Rebecca, kalo ingatan kamu pasti bakalan balik lagi."
Jeda, Mama menarik napas. Wajahnya yang masih terlihat cantik terlihat sedikit menegang sedetik, lalu di detik berikutnya menekuk. Semuanya telah dak lepas dari pengamatan Diva.
"Jangan maksain diri buat ingat. Mama yakin suatu saat ingatan kamu pasti balik. Kamu pasti bakalan ingat siapa diri kamu, siapa Mama, siapa Papa bagi kamu. Buat sekarang, Mama udah lega kamu baik-baik aja, udah nggak koma atau sakit kepala kayak dulu lagi."
Diva ikut menarik napas ketika dilihatnya Mama menarik napas. Apa yang dikatakan Mama memang benar, setidaknya dia sudah tidak berbaring di rumah sakit lagi seperti saat dirinya baru pertama kali sadar. Koma nyaris setahun karena sakit yang dia sendiri tidak mengingatnya merupakan sebuah kenangan yang sangat tidak menyenangkan, dan Diva tidak ingin itu terulang.
"Kamu manggil Mama dengan sebutan Mama juga udah bikin Mama senang banget, Sayang."
Diva berdecak. Mama menangis, dan dia tidak suka itu. Dia benci melihat Mama menangis. Dadanya juga ikut merasa sesak. Bahkan rasanya jauh lebih sesak saat dia menonton sesuatu yang sedih di televisi. Itulah sebabnya dia tidak terlalu menyukai tayangan televisi apalagi opera sabun. Apa yang mereka lakukan hanya akting, bukan kejadian yang sebenarnya. Coba saja kejadian seperti itu benar-benar mereka alami, Diva jamin tidak ada lagi orang yang mau berperan menjadi orang tidak mampu dan seorang kekasih yang patah hati.
"Mama, kok, nangis?" tanya Diva dengan suara serak. "Jangan nangis, dong. Ntar Diva juga ikut nangis." Tangan Diva terulur mengusap layar ponsel, seolah mengusap air mata Mama. "Diva yakin sama apa yang Mama bilang. Hati Diva percaya kalo Mama, Papa, Arkan, dan semua keluarga kita adalah keluarga Diva." Diva tersenyum, menyebabkan dua bulir bening menuruni pipinya. "Diva sayang Mama, pengen meluk Mama."
"Duh, anak gadis Mama udah dewasa masih aja cengeng."
Kata-kata itu tidak menghentikan tangis Diva. Air matanya justru semakin deras. Dadanya semakin sesak. Bukan hanya rindu pelukan Mama, tetapi dia sangat ingin melihat tanah airnya. Ingin kembali ke sana. Diva yakin ingatannya pasti akan kembali kalau dia pulang ke tanah sir karena di sanalah semuanya berawal. Namun, sekali lagi dia harus mengalah dengan air mata Sang Ibu. Entah kapan dia bisa kembali ke tempat dia dilahirkan. Di sini Diva yakin dia tidak akan mendapatkan apa-apa, buktinya sampai sekarang ingatannya masih belum kembali.
"Cup, cup, cup. Jangan nangis dong, Sayang."
Diva mencoba tersenyum, hanya untuk menyembunyikan rasa sakit yang tiba-tiba menyerang kepalanya. Rasanya nyeri dan berdenyut. Sekelebat ingatan memasuki kepalanya. Mama yang sekali menghiburnya dengan kata-kata itu, selalu sama sejak dia masih kecil. Diva menggigit bibir, hatinya selalu benar. Mama Della memang mamanya. Diva mengambil tisu, mengusap air matanya.
"Diva matiin, ya, Ma? Diva udah selesai ngerjain tugasnya, mau istirahat dulu."
Diva tersenyum, menggigit pipi dalamnya. Dia kembali membohongi Mama untuk yang kesekian kali malam ini. Mematikan ponsel dan mengembalikan ke tempat semula, Diva memilih kembali ke tempat tidur. Meski tidak akan bisa terlelap lagi, dia masih beristirahat.
Diva menyandarkan punggung pada kepala ranjang, mendongak dan memejamkan mata. Menarik napas dan mengembuskannya dengan pelan. Dia selalu melakukannya kala kepalanya berdenyut seperti sekarang ini. Denyutan yang disebabkan oleh dia mengingat sesuatu. Inilah yang menyebabkan orang tuanya melarang untuk kembali ke tanah air sebelum ingatannya pulih. Mereka tidak ingin dia kenapa-kenapa, Diva mengerti itu. Namun, yang tidak dimengertinya adalah kedua orang tuanya yang seolah me.ywmbunyikan sesuatu. Entahlah, mungkin itu hanya perasaannya saja. Namun, hatinya selalu benar dan dia tidak ingin kali ini juga benar. Dia harus yakin, apa pun yang dilakukan kedua orang tuanya, semua demi kebaikannya. Pasti seperti itu.
Mata bulat Diva perlahan terbuka. Rasa sakit di kepalanya mulai mereda. Diva mengembuskan napas lega. Entah sampai kapan dia akan seperti ini, hidup tanpa ingatan masa lalu sangatlah tidak menyenangkan. Seolah dirimu adalah seorang bayi tapi dalam tubuh dewasa. Sangat menyebalkan. Seseorang yang ingin berbuat curang atau ingin menjatuhkanmu juga akan dengan mudah dapat melakukannya. Diva beruntung karena orang-orang di sekelilingnya tidak memiliki pikiran jahat seperti itu. Jangan sampai dia menemukannya.
Namun, rasanya Diva sudah tidak tahan lagi. Dia merasa sangat terganggu dengan terus dihantui mimpi yang sama. Mimpi yang hanya memperdengarkan audio tanpa visual yang nyata. Mimpi yang sudah membuatnya kehilangan separuh waktu istirahatnya dalam sepuluh tahun terakhir.
Mungkin ide yang saat ini terlintas di kepalanya bukanlah ide yang baik, sangat buruk malah. Namun, sepertinya dia akan melakukannya. Dia ingin mencari tahu siapa laki-laki di dalam mimpinya, dan apa hubungan mereka. Setelah tahu, mungkin saja dia bisa kembali mendapatkan kenyamanan tidur yang sangat diimpikannya.
Untuk masalah orang tuanya, dia akan memikirkannya nanti di dalam perjalanan. Yang penting sekarang memesan tiket untuk penerbangan besok pagi.