Ketika sudah selesai dengan acara makan malam, beberapa orang masih sibuk mengobrol. Pun halnya dengan Gery yang menerima banyak pertanyaan dari keluarga Gea, entah seputar pekerjaan sampai mengenai hubungannya dengan Gea, sehingga lelaki itu pun terjebak bersama para orang tua. Sementara Gama malah sibuk mengobrol bareng Gio yang merupakan kakak lelaki Gea.
Gea sendiri karena tidak tau harus berbuat apa, merasa canggung lantaran ada mamanya Gery. Memilih untuk membantu para asisten rumah tangga membereskan meja makan. Biar saja sekalian mempromosikan diri agar dilihat rajin oleh calon mertua.
Langkah kaki Gea yang meninggalkan dapur, terhenti di ambang pintu belakang, yang dekat dengan dapur dan taman belakang. Sosok Gibran yang sedang menyesap rokok sendirian, menarik perhatian Gea.
Gea tau sejak dulu jika Gibran memang perokok, tapi jarang-jarang sekali dia mendapati sepupunya menyesap nikotin jika tidak sedang lagi pusing, stress dan punya masalah. Gadis itu pun memutuskan untuk melangkah mendekati sepupunya. Berdehem sebentar guna menarik perhatian Gibran.
"Bran, elu ngapain ngerokok di sini sendirian?" tanya Gea ketika Gibran sudah membalikkan badannya.
Senyum masam Gibran tunjukkan, lalu membuang puntung rokok sembarangan. Melihat tingkah laku sepupunya itu, reaksi Gea hanya geleng-geleng kepala.
Tak ada kata yang keluar dari mulut Gibran. Lelaki itu malah menjatuhkan tubuh pada kursi yang ada di sana. Teras belakang yang sering digunakan oleh Gustaf dan Gina untuk menikmati secangkir teh di sore hari. Atau di saat Gustaf sedang ingin membaca koran di pagi hari sembari menunggu Gina memasak sarapan. Teras belakang yang sangat nyaman digunakan untuk bersantai dan juga melamun seperti ini. Ditambah suara gemericik air dari kolam ikan yang terdapat di pojok taman, semakin menambah syahdu suasana malam.
Gea ikut-ikutan duduk di samping Gibran. "Elu kenapa sih! Ditanya juga, malah diam," gerutu Gea mulai kesal. "Lagi ada masalah? Cerita, gih. Nggak seru kan di saat gue lagi bersuka cita karena dilamar pria kaya, elunya malah sedih begitu."
Gibran membuang napas kasar. Menolehkan kepala sebentar hanya untuk melirik sekilas sepupunya yang malam ini Gibran akui sangat cantik sekali. "Elu beneran mau nikah tiga bulan lagi?"
Gea mengernyitkan kening bingung. Ditanya malah ganti tanya balik. Wanita itu berdecak sembari memukul pelan pahan Gibran karena posisi duduk mereka memang berada di satu kursi yang sama. Kursi panjang terbuat dari kayu jati yang menghiasi teras belakang ini.
Gibran meringis. Bukan karena kesakitan, tapi reaksi tubuhnya ini cukup berlebihan ketika bersentuhan dengan Gea. Untungnya hanya sebentar karena selanjutnya Ges malah mengomelinya. "Elu ini gue tanya malah balik tanya. Jangan mengalihkan pembicaraan. Buruan cerita. Ada apa sih lu sebenarnya? Kelihatan banget lagi banyak masalah. Wajah kusut, dan itu tadi. Ngapain pake acara ngerokok segala. Bukannya ikut ngobrol di dalam sama orang-orang. Ini malah mojok sendirian."
Gibran terkekeh. Kenapa Gea ini tidak peka sama sekali jika kegalauan hatinya lantaran mengetahui Gea akan menikah tiga bulan lagi.
"Kamu ini bener-bener nggak peka, ya? Sudah tahu aku lagi galau karena kamu. Ini malah ditanyain yang macam-macam."
Gea menyipitkan matanya. "Apa? Coba ulangi? Gue nggak salah denger kan?"
Gibran terkekeh. "Jangan membuatku makin malu sama kamu, Ge."
"Hah! Maksudnya apa?"
Gea sungguh seperti orang cengo yang memang tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Gibran kali ini. Baru juga Gea akan bertanya lagi agar Gibran menjelaskan semuanya, suara deheman keras seorang pria, tak hanya membuatnya terkejut sampai tubuhnya terlonjak. Tapi Gibran pun sama. Sampai-sampai pria itu salah tingkah sendirian.
"Pak Gery! Ngagetin aja sih. Tiba-tiba sudah berdiri di situ." Gerutuan yang dilontarkan oleh Gea.
Gery berjalan dua langkah lebih maju. Melipat tangan depan dadaa sembari memperhatikan bergantian antara Gea dan Gibran yang duduknya pepet-pepetan.
"Kalian ngapain dua-duaan di sini?" tanya Gery tidak suka.
Gea yang merasa tidak enak hati, gegas beranjak berdiri dengan panik.
Gery mencondongkan sedikit badannya. "Kata orang, lelaki dan perempuan yang bukan muhrim dilarang dua-duaan karena yang ketiga adalah setan."
"Ya Pak Gery itu setannya. Kan bapak yang jadi pihak ketiga."
Selagi Gery melotot pada Gea lantaran tidak terima karena Gea mengatainya setan, Gibran malah cekikikan.
"Gea, masuk!"
"Iya."
Gery melengos dan kembali masuk ke dalam disusul oleh Gea.
"Pantas saja aku cari ke mana-mana nggak ada. Rupanya lagi berduaan dengan pria lain," sindir Gery untuk Gea.
"Dia sepupu aku, Pak."
Gery balik badan, Gea yang tidak bisa mengerem laju langkahnya, malah menabrak tubuh besar Gery. Hampir saja terhuyung jika Gery tidak sigap menangkap pinggang Gea. Untuk sesaat keduanya saling diam dan berpandangan hingga kedatangan Gio yang berdehem-dehem menyadarkan keduanya.
Gery refleks melepaskan tubuh Gea membuat wanita itu kembali terhuyung dan hampir saja jatuh jika tidak lekas berpegangan pada lengan kekar Gery.
"Etdah. Kalian dicaraiin malah pacaran di sini," goda Gio lantas terkekeh geli melihat wajah adiknya yang memerah. Lain dengan Gery yang bisa menguasai diri dengan berekspresi datar dan sangar.
"Kakak, ish!" Meski tomboi, jika bersama kakaknya Gea akan berubah menjadi gadis imut dan manja.
"Ayo ke depan," ajak Gery lalu menarik lengan Gea.
Ternyata Gandhi dan Gwen sedang pamit pada keluarga Gea lantaran hari sudah malam juga. Tidak enak hati jika bertamu sampai malam-malam begini.
"Ger, sudah selesai kan urusannya dengan Gea? Jika sudah, ayo kita pamit pulang," ajakan Gandhi yang diangguki kepala oleh Gery.
"Iya, Pa. Aku sudah tidak ada lagi yang akan dibahas. Mengenai acara akad nikah nanti, kita bahas sambil jalan saja. Toh, masih ada waktu tiga bulan."
"Lagipula kamu dan Gea tiap hari juga ketemu di kantor, kan?"
Gery menganggukkan kepala mengiyakan.
"Baiklah. Pak Gustaf, Pak Gufran, Bu Gina dan Bu Gilda. Karena semua sudah selesai, maka kami ingin pamit undur diri. Mengenai acara pernikahan Gery dengan Gea, nanti kita akan bahas lagi bisa melalui telepon atau kami juga persilahkan Pak Gustaf dan keluarga untuk gantian bersilaturahmi ke rumah kami. Dengan senang hati kami akan menyambutnya dengan tangan terbuka."
"Baik Pak Gandhi. Nanti kita saling kabar-kabari saja. Insyaallah saya juga akan atur waktu untuk dapat berkunjung ke rumah Pak Gandhi."
"Baiklah. Kalau begitu kami pamit dulu. Selamat malam dan terima kasih banyak atas jamuan makan malamnya."
"Sama-sama, Pak Gandhi. Hati-hati di jalan."
Mereka saling bersalaman. Ketika Gery dan Gibran saling berhadapan untuk berjabat tangan, ada rasa tidak suka menelusup ke dalam hati Gery. Entah kenapa perasaan Gery tidak enak begini. Dia curiga jika ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Gibran. Bisa jadi lelaki yang mengaku sepupu ini diam-diam menyukai Gea. Wah, bisa bahaya karena Gery merasa terancam lantaran ada saingan. Meskipun dia belum mencintai Gea dan melamar Gea hanya sebagai pelarian semata, tetap saja Gery tidak suka jika harus berbagi wanita dengan pria lainnya.