FL 08

1710 Words
Tangisan pemuda itu kian terdengar pilu, Vernon menumpukan kepalanya di pinggiran ranjang tempat Maura berbaring. Tubuh kekar yang kini telungkup itu terlihat bergetar. "Ver.... maafkan aku, aku yang tidak bisa menjaga nya," lirih Maura, seraya mengelus lembut rambut sang suami. Jujur ia takut jika pemuda itu tiba-tiba menyalahkan nya. Namun tidak! Semua masih dalam kendali nya. Vernon mengangkat wajahnya, menatap wajah sang istri dengan kedua mata sembab. "Tidak sayang.... semua ini salah ku, jika saja aku tak marah pada mu tadi, semua tidak akan terjadi... dan pasti anak kita masih ada," tangis Vernon semakin menjadi. Maura mendudukkan tubuhnya susah payah, dan meraih tubuh sang suami agar terduduk di dekat nya, kemudian wanita itu memeluk tubuh bergetar suaminya tersebut. Memberikan ketenangan, tanpa di ketahui, Maura tengah berseringai menatap ke arah sang Dokter yang kini masih berdiri di belakang Vernon. 'Bagus..... teruslah menyalahkan diri mu, semakin kau merasa bersalah, semakin kau jatuh dalam genggaman ku, Vernon.' Batin Maura menang. Dokter Im, yang menyaksikan itu semua memilih pergi, ia tak sanggup melihat orang yang sudah mempercayai nya sekian tahun, harus menyalahkan diri nya sendiri demi gadis penipu seperti Maura. "Ver.... maafkan aku, aku bodoh....aku tak pantas di sebut sebagai istri," racau Maura lagi, tentu nya hanya untuk membuat Vernon semakin simpati pada nya. Vernon melepas pelukannya berlahan, mengusap air mata buaya wanita di hadapannya. "Tidak sayang.... jangan salah kan dirimu sendiri. Aku yang bersalah di sini, karena aku sebagai suami tak bisa menjagamu," ucap pemuda itu benar-benar menyesal. Maura terdiam, ia menundukkan wajahnya. "Ver..... kita menikah karena aku hamil kan? Dan sekarang, anak itu sudah tidak ada lagi.... kau bisa menceraikan ku," lirihnya, hanya ingin memastikan jika CEO kaya, di hadapannya ini sudah berada dalam kuasa nya. Vernon terkejut dan menatap tajam ke arah sang istri. "Apa kau bilang? Cerai? Maura....aku tidak pernah main-main dengan ucapan janji suci yang pernah ku ikrarkan di saat pernikahan kita. Aku mencintaimu, aku menerima mu, entah adanya kehadiran seorang anak atau pun tidak. Aku sangat bahagia memiliki istri sebaik dirimu, jadi ku mohon. Jangan pernah berfikir jika aku akan meninggalkan mu ok," Maura semakin terisak dan memeluk erat tubuh pemuda di hadapannya. "Vernon.... terima kasih," tangisnya, namun ia bisa tersenyum puas. Sangat yakin jika sang suami sudah masuk dalam belenggu cinta nya. 'Kau sudah masuk dalam perangkap ku Vernon, teruslah memuja ku.... hingga aku puas menikmati kekayaan mu.' tawa Maura dalam hati. Selang beberapa waktu kemudian, datang kedua orang tua Vernon. Nyonya Jungnara langsung memeluk menantu kesayangannya. "Sayang.... apa yang terjadi hm? Sssshhh..! Jangan menangis lagi, ada Mama di sini," elusnya lembut pada punggung sempit sang menantu. "Ma.... maafkan aku, aku tak bisa menjaga calon cucu Mama...aku kehilangan nya," tangis Maura kembali menjadi. 'Sial....aku lelah dari tadi harus berpura-pura sedih begini, air mataku bisa kering jika terus menangis.' gerutunya dalam diam. Nyonya Jungnara menepuk pelan punggung Maura, sembari membisikkan kata-kata penenang, ia sudah tau perihal tentang keguguran yang di alami menantu kesayangan nya itu. "Sayang...ini bukan salah mu, kau sudah berusaha. Ingatlah ini sudah takdir, jadi mencoba lah untuk mengiklaskan kepergian nya. Mama yakin suatu hari nanti pasti Tuhan, akan mempercayakan nya lagi pada mu," tuturnya lembut. Maura hanya menangis tanpa menyahut. Walau dalam hati nya sudah menggerutu sebal. 'Ck,..aku tidak sudi mengandung anak lelaki itu, enak saja!' Satu minggu berlalu. Maura sudah di perbolehkan keluar dari rumah sakit, sebenarnya gadis itu terlampau malas. Secara, dia tak kenapa-kenapa, harus di rawat selama seminggu. Dan sayang nya ia tak bisa menolak karena itu mutlak perintah sang suami. Di Mansion Vernon. Maura tengah beristirahat di kamar megahnya, di temani sang Mama mertua. Yang kini terlihat tengah menyuapi wanita di hadapannya dengan memegang semangkuk bubur. "Sayang...makan yang banyak ya, biar kesehatan mu cepat pulih," ucap nya begitu sabar. Sedang Maura, rasanya sudah ingin muntah, karena harus menghabiskan semangkuk bubur hambar di hadapannya. Ia ingin makan enak seperti biasanya, jika kalian tau. Namun apa daya, ia sedang berakting menjadi orang sakit. Jadi sedikit berkorban tak masalah baginya, walau sangat terpaksa. Vernon selesai bersiap-siap akan pergi ke kantor seperti biasa, dan kebetulan hari ini ia berangkat ke kantor sedikit siang. Tak lupa ia menghampiri sang istri yang kini terlihat sedang memainkan phonsel di atas ranjangnya. "Sayang...aku berangkat kerja dulu ok, ingat jangan kemana-mana. Jika kau butuh sesuatu tinggal panggil pelayan saja. Aku tidak ingin kau kenapa-kenapa. Jika perlu aku akan menyuruh bodyguard untuk menjagamu di sini," posesif Vernon. Maura mengernyitkan dahi nya tak suka, apa dia bilang? Menyuruh bodyguard untuk menjaga nya di dalam kamar?. Oh, mimpi buruk!. "Tidak usah berlebihan Ver....aku baik-baik saja. Aku tidak butuh penjaga di sini, lagi pula kan ada Mama. Sebenarnya kau ini mau menghukum ku atau bagaimana? Kenapa melakukan penjagaan seketat itu," gerutu Maura sambil bersedekap d**a. Vernon hanya terkekeh melihat kelucuan istrinya ini. "Iya....iya terserahmu saja. Aku hanya ingin yang terbaik untuk mu," ucap Vernon, yang mana membuat Maura tersipu malu. 'Kenapa aku jadi malu begini sih,.. Muara lupakan, kau tidak boleh masuk dalam kehidupan pemuda ini.' Batin Maura mengingatkan dirinya sendiri. "Baiklah...aku berangkat dulu sayang,... sudah telat 10 menit, aku yakin pasti Daniel, sudah marah-marah di kantor," kekehnya, sembari mengecup singkat bibir sang istri. Maura terdiam, seutas senyum tipis tergaris di bibirnya. Berlahan jemari lentiknya mengusap kedua bilah bibir manisnya. "Bibir itu..... kenapa manis sekali," gumamnya tanpa sadar. Sesampainya Vernon di kantor. Benar sesuai dugaan nya, baru saja ia masuk loby, sudah di hadiahi cercaan dari sahabat nya, lebih tepatnya Sekretaris. Padahal Vernon yang berkuasa di perusahaan ini, tapi kenapa malah ia yang di marahi oleh Sekretaris nya tersebut?. "Kenapa kau lama sekali ha? Astaga... kau membuatku kerepotan harus mengerjakan berkas-berkas ini," gerutu Daniel sambil meletakkan setumpuk map di atas meja kerja Vernon. "Bukankah itu sudah tugasmu," sahut Vernon singkat, seakan tak melakukan kesalahan apapun. "Baiklah... baiklah, bicara dengan mu sama saja mencari jalan pintas untuk masuk rumah sakit jiwa," emosi Daniel. Ya! Beginilah Vernon, pemuda itu hanya akan bersikap manis di hadapan sang istri. Jika sudah di luar Mansion, ia kembali pada sifat yang sesungguhnya, sosok pemuda angkuh, dingin tak tersentuh. Namun ia juga bisa bersikap biasa pada sosok pemuda yang sekarang menjabat menjadi Sekretaris nya ini, pemuda itu merupakan sahabat Vernon sedari kecil. Daniel, sebenarnya ia juga mempunyai perusahaan sendiri, walau tak sebesar perusahaan Vernon. Namun ia memilih mengikuti sahabatnya dan mempercayakan perusahaan nya pada sang Ayah. Bagi Daniel, kebiasaan Vernon yang terkesan acuh pada sekitar itu membuat nya selalu emosi, karena tanpa pemuda itu sadari. Dirinya juga ikut terkena imbasnya. "Ver.... bagaimana dengan istrimu? Apa dia baik-baik saja?," Tanya Daniel sekedar ingin tahu. Sambil fakus pada laptop di hadapannya. Ya! Hari ini Daniel sengaja mengerjakan tugas nya di ruangan sang Bos. Sudah terlampau biasa bagi nya. Vernon menghentikan aktivitas nya sejenak. Melepas kaca mata yang bertengger di atas hidung nya. Dan menyandarkan kepalanya di kursi kebesarannya. "Aku kehilangan calon anak ku Niel...," Ucapnya lirih. Daniel tersentak dan segera menghampiri sahabatnya. "Kau harus bersabar, aku tau kau kuat Ver...," Ucapnya tulus, sembari menepuk pelan pundak kiri pemuda yang terlihat masih terduduk lesu tersebut. Vernon hanya mengangguk pelan, dan melanjutkan pekerjaannya. Begitu juga dengan Daniel, ia kembali mendudukkan tubuhnya di depan laptop yang habis ia tinggalkan barusan. *** Maura lelah, ia ingin keluar berbelanja. Seminggu tak menginjak kan kaki di mall, rasanya sudah ketagihan. Namun tiba-tiba, phonsel nya berdering. Ia menggeser lock screen di layar benda tersebut. Sedikit heran karena ada notif masuk dan mengirimkan sebuah Vidio untuk nya. "Paman....? Video apa yang ia kirimkan untuk ku?," Bingung nya, sambil membuka isi file Vidio di phonsel nya. Seketika raut wajahnya berubah pucat dengan mulut terbuka. Ia syok, bagaimana tidak? Jika isi vidio tersebut berisikan tentang penyiksaan Bibi dan keponakannya. Yang di lakukan oleh anak buah pria itu, yang tak lain dan tak bukan adalah Pamanya sendiri. Andai ia bisa, ingin rasanya ia melaporkan tindakan sang Paman. Tapi jika ia melakukan itu, maka pria tersebut tak segan untuk melenyapkan kedua wanita tak bersalah itu. Di tambah lagi, Rehan selalu mengetahui gerak-gerik nya di setiap waktu. Membuat nya tak leluasa untuk bertindak. Selang beberapa menit kemudian, phonsel nya kembali bergetar. Dan kali ini Rehan menghubunginya. Dengan takut Maura mengangkat panggilan itu, "Hai.... keponakan ku yang cantik, bagaimana kabar mu hm? Ha...ha...ha.. ku harap kau tak melupakan misimu," kekehnya dari sebrang. "Pa...Paman,...tolong jangan sakiti Bibi dan keponakan ku," mohon Maura. "Aku bisa membebaskan mereka, asal kau secepatnya mengambil aset perusahaan keluarga mu dan berikan padaku," Maura menggigit bibir bawahnya, bagaimana bisa ia mengambil secepatnya. Apa pria itu fikir melakukan semua itu gampang? Batin Maura geram. Tanpa menjawab ucapan dari sang Paman, Maura menutup sambungan telphone nya sepihak. Meletakkan kasar benda tersebut di atas nakas. "Bagaimana bisa aku melakukan itu, aku belum siap," tangis nya. Keesokan harinya, Maura sengaja menemani sang suami menyelesaikan tugas kantor di ruang kerjanya. Sedikit aneh memang bagi Vernon, pasalnya baru kali sang istri mau menemaninya semalaman. Ia bahagia sekaligus heran. "Sayang....ini sudah malam, tidurlah! Kau pasti sangat kelelahan," tutur sang suami sambil tersenyum tipis. Bukannya pergi tidur, gadis itu malah mendekati sang pemuda dan duduk di pangkuannya. Sontak membuat Vernon terkejut bukan main. "Sa...sayang.....ada apa dengan mu hm?," Groginya. "Aku hanya ingin bersama suamiku, apa tidak boleh?," Cemberutnya, namun tetap melanjutkan kegiatannya. Mengalungkan kedua tangannya di leher sang suami. "Bukan begitu, hanya tak biasanya saja kau begini," lirihnya. "Aku merindukanmu, selama kita menikah rasanya aku tak pernah bermesraan dengan mu," Vernon tersenyum simpul, ia senang. Apakah ini pertanda bahwa sang istri sudah bisa menerima dirinya?. Gumamnya dalam hati. Maura mengedarkan pandangannya di segala sudut ruangan, dan bertanya. "Ver.... ngomong-ngomong, kenapa ada brangkas di sini? Memangnya ada barang yang berharga ya, di dalamnya?," Tanya Maura ingin tahu. "Em...kau benar, Semua aset berharga perusahaan ku ada di sana," sahut Vernon jujur, ia memang tak ingin mempunyai rahasia dengan sang istri. Maura tertawa dalam hati, akhirnya apa yang ia ingin tau sudah di depan mata. Hanya tinggal menanyakan kode rahasia benda itu saja sekarang. "Kau tidak pernah membuka nya?," Tanyanya lagi. "Tentu saja pernah sayang.... Kenapa hm?," "Boleh aku tau kode rahasianya?" Tanpa curiga Vernon memberitahu kan kode untuk membuka brangkas tersebut, tentu saja Maura sudah bersorak kegirangan. Dan sekarang hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk mengambil benda berharga itu dari dalam brangkas tersebut, lalu memberikan nya pada Rehan. Dengan demikian ia akan terbebas dari tekanan pria tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD