Part 6

1127 Words
KELLY ANDERSON Ternyata Joshua Smith masih tetap tipe pria yang selama ini aku kenal. Jika ia bertitah sesuatu, maka hal itulah yang nanti harus terjadi. Seperti saat ketika ia berkata dua hari lagi kami akan menikah, "Apakah Anda baik-baik saja, Nyonya?" "Iy..iya. Em, maksudku ti..tidak. Hufttt... Aku... Egh, aku sedikit gugup, Bibi Shena. Ini pertama kalinya untukku. Aku harus bagaimana?" "Ah, itu ya? Aku pikir Anda sedang sakit tadi. Tubuh Anda seperti bergetar sendiri, Nyonya. Jadi aku berniat untuk memanggil tuan Smith ke mari." Maka hari itu benar-benar terjadi sesuai dengan apa yang dia inginkan, lalu tubuhku pun terasa begitu lemas sejak tadi pagi. Alasannya, tentu saja karena aku tak pernah membayangkan akan dinikahi oleh Joshua Smith. Aku memang pernah membayangkan bercinta dengannya, namun saat itu aku dalam posisi sedang mengandung putranya. Hormon kehamilan bisa saja menjadi faktor utama mengapa keinginan konyol itu beberapa kali muncul di kepalaku, tapi untuk mengikat janji suci di depan altar, aku sama sekali tak memikirkannya. "Jangan katakan apa pun itu padanya, Bibi Shena. Demi Tuhan aku tak ingin dia bertindak aneh dengan menggendongku ke atas altar atau memakai kursi roda. Itu sangat memalukan," ujarku membuat Bibi Shena akhirnya tersenyum juga. "Iya, aku tahu itu sangat memalukan untukmu. Kita berdua sudah sering melihat mendiang Nyonya Barbara diperlakukan seperti itu bila ia tidak ingin pergi ke rumah sakit, tapi aku selalu berharap tuan Smith tidak melakukannya lagi," jawab Bibi Shena membuat keningku berkerut, "Kau penasaran? Itu karena aku tak ingin dia menyamakan kalian berdua, Kelly. Em, maaf jika aku lancang memanggilmu seperti tadi. Tapi aku sungguh tidak ingin kau dijadikan sebuah pelarian, hanya sebagai pemberi keturunan lagi untuknya dan tentu saja sederet hal buruk lainnya," lanjutnya sembari memegangi kedua pundakku. "Bibiii... Jo tidak seperti itu. Percayalah padaku. Beberapa hari ini dia sudah mulai memperlakukanku dengan sangat baik, bahkan kemarin ia membiarkan aku menghabiskan waktu bersama Jose seharian. Kau juga ada bersamaku, bukan?" Lalu aku pun kembali mengingatkan Bibi Shena tentang kejadian kami kemarin sore, agar ia tak lagi memikirkan sisi buruk Jo, kendati itu tak benar-benar keluar dari lubuk hatiku. Ocehan Bibi Shena entah mengapa tak lantas hilang begitu saja dari pikiranku dan membuatku menerawang beberapa detik. Untung saja suara uncle Nick tiba-tiba terdengar, setelah ia lebih dulu membuka pintu ruang tunggu pengantin yang saat ini kutempati, "Hallo, Sweetheart. Mereka menyuruhku masuk untuk menjemputmu. Oh, tidak. Apakah kau akan menjadi seorang istri beberapa jam ke depan? Astagaaa...! Aku bahkan tak pernah memikirkan untuk mengajak Carla menikah sepertimu." Berangsur-angsur suasana buruk tadi pun berubah menjadi sebuah kegembiraan, "Uncle Nickkk...! Aku sangat merindukanmu. Kapan kau datang dari Arizona? Bibi Carla dan Claritta mana? Kenapa kalian tidak memberiku kabar, hem? Ah, senangnyaaa..." "Kami terburu-buru, Sweetheart. Calon suamimu itu yang menyuruh orang untuk menjemput kami di Arizona, karena ia ingin aku yang mengapitmu menuju ke depan altar nanti." "Ah, ya. Maafkan aku, Uncle. Aku tak bermaksud untuk melupakan kalian. Pernikahan ini sangat terburu-buru. Terima kasih Uncle sudah datang ke sini, dan emmm... Emmm... To..tolong berikan aku izin untuk menikah dengannya, Uncle." Tapi lagi-lagi aku kembali merusak tawaku sendiri, ketika aku berkata demikian. Dengan senyumnya yang masih terpatri di wajah, "Oh, my Sweetheart. Seharusnya bukan kau yang meminta izin seperti ini padaku. Kau wanita dan aku juga tahu tuanmu itu pasti sudah memaksamu untuk mengganti posisi Nuel, bukan?" Uncle Nick menangkupkan kedua tangannya di pipiku sembari berkata demikian "Aku tak pernah memaksa keponakanmu, Mr. Nick. Karena kami saling mencintai, jadi kupikir sebaiknya jangan menunda terlalu lama. Lagi pula Jose butuh kasih sayang dari kedua orang tuanya, dan seperti yang sudah kukatakan padamu di telepon kemarin, Kelly adalah ibu biologisnya." Namun aku tak sempat membalas sepatah kata pun, saat suara Jo sudah lebih dulu terdengar. Tentu saja aku segera bertanya padanya, "Jo? Kenapa kau di sini?" Karena menurut isi di buku tata perayaan perkawinan yang tadi sempat k****a sebentar, ia seharusnya menungguku datang di depan altar. Sembari mengedipkan sebelah matanya padaku, Jo pun menjawab pertanyaanku, "Aku ingin tahu apa yang sedang kau lakukan, Baby. Tadi para petugas liturgi berkata jika lima menit lagi acara kita di mulai. Mereka berencana akan memberitahu hal ini padamu, tapi aku mengambil alih tugas itu. Well, aku adalah orang baik, bukan? By the way, kau sangat cantik dan juga seksi, Baby. Aku sudah tak sabar ingin menerkammu lagi." Ia bahkan menyempatkan diri untuk merayuku, dengan membisikkan serentetan hal yang sukses membuat bulu halus di area tengkuk belakangku berdiri. Ternyata apa yang dilakukan oleh Jo, kurasa juga berdampak yang sama pada uncle Nick, ketika ia berkata ingin meninggalkan aku dan Jo berdua saja, "Ehemmm...! Apakah aku sebaiknya menunggu di luar ruangan ini saja, Sweetheart? Kurasa calon suamimu ini perlu menuntaskan sesuatu yang masih menganjal dalam dirinya." Untung saja Jo cepat-cepat mengajak adik kandung mendiang ibuku itu untuk kembali berkelakar, "Tidak-tidak. Kami akan segera menikah, Bung. Jadi jangan pergi dengan tangan kosong dari sini, karena aku bisa gila nanti." "Gila? Kurasa bukan hanya kau yang gila, Tuan Smith. Tapi keponakanku juga akan ikut gila jika kalian tidak segera menikah. Benar kan, Sweetheart?" "Uncle Nick! Jangan bicara lagi!" "Baiklah. Aku tidak akan bicara lagi, Baby." "Barusan yang kau lakukan adalah berbicara, Mr. Smith. Benar kan, Sweetheart?" "Astagaaa... Berhenti berbicaraaa...!" Bahkan mereka sempat menjadikan aku sebagai bahan lelucon yang sama sekali tidak lucu dan juga menertawakanku. Akan tetapi aku sama sekali tak mau ambil pusing dengan ulah yang mereka sudah lakukan padaku. Kedua sangat pas menjadi sepasang teman baik, menurutku. Jika salah satu dari mereka berjenis kelamin wanita, aku bahkan akan dengan senang hati mengundurkan diri dan menjadi perantara agar dapat bersama. Terdengar konyol, bukan? Ah, tapi itu sungguh menyenangkan. Kami lalu mengobrol dengan tidak tahu malu hampir sekitar lima menit, sampai akhirnya seseorang datang dan mengagetkan kami bertiga, "Maaf, Tuan. Anda diminta untuk segera berdiri di depan altar." Sebelum pergi, lagi-lagi Jo masih saja membuatku kesal dengan sejumlah kata-kata yang sudah ia ucapkan berkali-kali, "Persiapkan dirimu, Baby. Jangan menjatuhkan cincinku dan jangan lupa juga membalas ciumanku, saat kita diminta untuk berciuman. Kau paham?" "Ya, Tuhannn... Kau sudah mengatakan itu sejak kemarin, Jo! Kenapa kau mengatakannya lagi di depan Uncle Nick, hem? Kau sungguh menyebalkan!" Setelah aku menjawab sembari berencana akan melemparkan buket bunga pengantin kami ke arahnya, Jo pun benar-benar pergi dari hadapanku, namun itu tidak membuat bayang-bayangnya juga ikut serta. Joshua Smith memang sudah berusia empat puluh lima tahun. Saat pertama kali datang ke mansion miliknya, mengandung Jose lalu hampir lima tahun lamanya menjadi seorang Nanny, aku sama sekali tak pernah melihat Jo melakukan hal-hal konyol di depan mataku dan sejujurnya ini membahagiakan untukku. Aku berharap sejak hari ini, aku masih bisa terus membuatnya tertawa setiap saat, dan semoga saja harapan sederhanaku itu dapat tercapai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD