Nicko membuka pintu apartemennya. Begitu dibuka, seorang anak kecil langsung berlari ke arahnya. Membuat Nicko tersentak dan otomatis menangkapnya.
"Om Nicko!" seru anak kecil itu.
"Nathan! Kapan kamu ke sini?" tanya Nicko langsung menggendong anak kecil tadi.
"Sudah lama. Aku dan papa menunggu om Nicko pulang," jawab Nathan kecil.
"Sekarang, mana papamu?" tanya Nicko sembari berjalan masuk ke dalam rumah setelah menutup pintu.
"Memasak di dapur!" Nathan menunjuk ke arah dapur yang langsung kelihatan dari ruang tamu apartemen Nicko.
"Hai Nick! Baru pulang? Kau masih saja suka lembur," kata papa Nathan.
"Akhir-akhir ini, banyak masalah di kantor."
"Om Nicko! Aku mau main robot yang om Nicko belikan waktu itu!" seru Nathan memotong percakapan dua orang dewasa di sana.
"Mainlah. Ada di sebelah kamar om," jawab Nicko seraya menurunkan Nathan dari gendongannya.
"Yeee!" seru Nathan berlari ke arah yang Nicko tunjuk.
"Apa yang kak Edwin lakukan di hariku yang lelah ini?" tanya Nicko yang duduk di kursi meja makan yang dekat dengan dapur.
"Apa lagi? Aku memasak makanan enak untukmu," jawab Edwin dengan menunjukkan spatula kayu yang ia bawa. Nicko menghela nafasnya.
"Berhentilah mengacau di rumahku. Terakhir kali kak Edwin memasak, salah menaruh gula dan garam."
"Maaf. Waktu itu, aku tidak melihat tulisannya di wadah bumbu."
"Sekarang katakan dengan sebenarnya tujuan kakak ke sini? Tidak mungkin kalau ke sini hanya untuk memasak, kan?"
"Tentu saja tidak. Nathan merindukan om-nya. Dia ingin tidur di tempatmu malam ini," jawab Edwin. Nicko kembali menghela nafasnya.
"Pasti bukan hanya itu. Bukankah dua hari yang lalu, Nathan sudah bertemu denganku di rumah kakak?"
"Jadi aku ketahuan ya?" kata Edwin dengan menyengirkan bibirnya. "Baiklah ... Baiklah. Aku akan langsung pada intinya. Kau tahu saat kau ke rumah, ada temannya mama Nathan kan?"
"Tahu. Kenapa?"
"Kau juga tahu, waktu itu dia datang bersama adik perempuannya kan?"
"Sudah tentu. Ada apa memangnya?"
"Nah! Waktu adiknya melihatmu, dia tertarik padamu. Katanya, kau adalah tipenya. Mama Nathan dan temannya sepakat menjodohkannya denganmu. Mereka sudah merencanakan untuk mempertemukannya denganmu," jelas Edwin. Nicko mendecakkan lidah.
"Kenapa selalu bertindak sembarangan tanpa menunggu persetujuanku? Kakak sudah tahu apa jawabanku bukan?"
"Nick. Pikirkanlah baik-baik. Usiamu sudah kepala tiga. Kau juga sudah menduda selama lima tahun. Selama lima tahun, kau terus saja gagal dengan perjodohan yang aku lakukan."
"Karena tidak ada yang cocok."
"Nick. Aku tahu, bukan karena tidak cocok. Perjodohan selama ini, itu karena sikapmu yang sengaja membuat para gadis pergi menjauhimu. Seperti yang terakhir kalinya, kau sengaja tidak datang di hari janjianmu dan pasanganmu."
"Itu karena aku sedang lembur," jawab Nicko santai sambil meminum air putih di gelas yang ada di depannya.
"Mana ada lembur di hari Minggu?"
"Aku tidak berbohong!"
"Sudahlah, Nick. Aku tahu, kalau sebenarnya kau tidak bisa melupakan Rhea," kata Edwin. Membuat Nicko tersentak kaget akan kalimat Edwin itu. Ia sampai, tersedak dan terbatuk-batuk tanpa alasan.
"Tapi ini sudah lima tahun berlalu. Rhea mungkin saja sudah memiliki pasangan, bukan?" lanjut Edwin.
"Siapa bilang aku tidak bisa melupakannya?!" sanggah Nicko tidak terima.
"Nathan menemukan foto-foto pernikahanmu di dalam kamarmu. Aku sendiri kaget melihat kau masih menyimpannya," kata Edwin lagi. Mendengarnya, Nicko semakin terhenyak.
"Nathan sedang menyentuh barang-barangku, dan kak Edwin hanya diam saja?!" seru Nicko kelihatan kesal.
"Sudahlah," potong Edwin untuk kedua kalinya. "Tidak perlu meributkan soal itu lagi. Dia hanya anak kecil. Tidak tahu apa-apa," kata Edwin. "Yang penting sekarang, kau harus melupakan Rhea. Dia tidak akan pernah kembali padamu."
"Jangan bicara sembarangan!" tukas Nicko.
"Kalau begitu, temuilah adik teman istriku nanti," pinta Edwin lagi. "Tenanglah. Dia berbeda dengan yang sebelumnya. Aku bahkan sudah membelikan dua tiket bioskop, agar kau bisa mengajaknya nonton berdua. Ini, untukmu."
Edwin mengambil dua tiket dari dalam sakunya pada Nicko. Nicko kembali hanya menghela nafas. Ia kemudian berdiri dan segera berjalan menjauhi kakaknya dengan malas.
"Ke mana kau?! Ambillah dulu tiket ini!" seru Edwin.
"Aku tidak akan membutuhkannya!" jawab Nicko sembari terus berjalan ke arah kamarnya. Sedangkan Edwin, hanya menggelengkan kepalanya beberapa kali.
"Sampai kapan dia akan menduda seperti ini?" gumam Edwin pelan.
***
"Bisa dilihat, bahwa struktur jendela pada apartemen ini, mengarah ke sungai dan pepohonan. Itulah yang menjadi konsep kita kali ini. Menyatu dengan alam."
Rhea sedang melakukan presentasi di depan pak Krisna, dan arsitek yang lain. Ia menjelaskan soal rencana bangunan pada proyek yang akan berjalan. Yang tidak ada dalam ruang presentasi itu, hanya Anton dan Wisnu.
"Kenapa mengambil tema alam? Selain banyak peminatnya, tentu saja karena kita mengincar satu kesatuan harmoni."
Dalam presentasi itu, Nicko tidak sadar bahwa perhatiannya lebih tercurah pada Rhea, bukan pada materi presentasinya. Jujur saja, ia baru pertama kali melihat Rhea menjelaskan sesuatu dengan percaya diri seperti ini. Selain itu, pembawaannya juga sangat bagus.
Membuat Nicko terpana. Entah, kenapa Nicko enggan memperhatikan situasi lain, selain presentasi yang dilakukan Rhea.
"Bagus. Bagus sekali!"
Suara pak Krisna, membuyarkan fokus Nicko dari mantan istrinya. Sesaat kemudian, disertai dengan tepuk tangan. Membuat Nicko baru sadar, jika presentasi Rhea baru saja selesai. Ia pun ikut tepuk tangan membarengi yang lain.
"Terima kasih. Terima kasih banyak, Pak," jawab Rhea dengan tersenyum manis di depan semuanya.
Nicko masih terpesona memandangi Rhea. Apa lagi, ketika Rhea tersenyum manis seperti itu, membuatnya jauh lebih cantik dari yang biasanya.
"Aku menunggu laporannya!" ujar pak Krisna.
"Baik, Pak. Akan segera saya kerjakan," jawab Rhea. Pak Krisna kemudian pergi meninggalkan ke empat arsitek di dalam ruangan. Sedangkan, Rhea dan yang lain segera membereskan dokumen mereka masing-masing.
"Maaf, apa aku boleh tahu, siapa kamu?" tanya Candra yang mendekati Rhea.
"Apa maksud Pak Candra?" tanya Rhea tidak mengerti.
"Rhe. Melihatmu presentasi di depan tadi, kamu benar-benar berubah menjadi orang lain. Aku tidak bisa mengenalimu," ujar Candra.
Membuat Rhea tersenyum tersipu dibuatnya. Nicko yang tengah membereskan dokumen itu, kelihatan tidak peduli, tapi telinganya benar-benar terbuka lebar. Sedangkan Diana, hanya bersikap tak acuh.
"Pak Candra bisa saja?"
"Rhe. Ngomong-ngomong, kamu tahu kalau ada reuni di fakultas kita. Apa kamu tahu?"
Mendengar Candra mengatakan hal itu, membuat Diana langsung menoleh ke arah Candra cepat. Ia memang tahu kalau Candra dan Nicko dari satu universitas yang sama. Sedangkan, sekarang ia baru tahu kalau ternyata Rhea juga termasuk alumni yang sama.
"Iya. Aku tahu dari obrolan grup," jawab Rhea.
"Kebetulan. Apa kamu mau ikut? Kita bisa pergi bersama kan?" tawar Candra. Kali ini, Nicko yang menoleh ke arah Rhea cepat.
"Kalau aku tidak ada keperluan, aku pasti ikut," jawab Rhea.
"Kalau nanti para alumni melihatmu ada di sana, mereka semua pasti bereaksi sepertiku. Tidak bisa mengenalimu."
"Kenapa memangnya?"
"Orang-orang bilang, jurusan arsitek itu adalah jurusan yang sangat sulit. Banyak yang menua lebih cepat saat mereka bekerja. Tapi, kamu malah semakin muda. Bahkan, sepertinya rambutmu bertambah tebal dari beberapa tahun yang lalu," speak yang dilakukan Candra. Rhea lalu memegangi rambutnya dan tertawa.
"Pak Candra juga kelihatan semakin tampan sekarang," balas Rhea bermaksud bercanda.
"Benarkah? Bagaimana menurutmu? Bagaimana kalau kita pergi bersama di reuni kampus nanti?"
Candra dan Rhea berjalan ke arah keluar gedung presentasi itu. Diana mengikutinya dari belakang. Sedangkan Nicko, masih tertinggal di sana, sembari memperhatikan mereka dari belakang.
Di kepala Nicko, mendadak sedang terpikirkan sesuatu. Ia segera mengambil ponsel dalam sakunya. Kemudian, ia mengusap layar ponselnya untuk berusaha menghubungi seseorang. Setelah menempelkan ponsel di telinga, Nicko hanya tinggal menunggu.
"Halo, Nick?" Suara seorang laki-laki dari dalam ponsel Nicko.
"Halo, Kak Edwin? Kak, sepertinya aku butuh tiket yang kakak tawarkan kemarin."