Perseteruan

1164 Words
Rhea melangkahkan kakinya memasuki kantor departemen arsitek di lantai tiga PT. Baeda. Di dalam, sudah ada Diana yang menghadap komputernya. Rhea berjalan masuk dengan melihatnya sebentar. Sedangkan Diana terus fokus di depan layar komputernya. Saat Rhea melewatinya, Diana melirik ke arah Rhea. Rhea langsung duduk dan segera menyalakan komputernya juga. "Kamu, pagi sekali datang? Padahal, ini masih setengah delapan," kata Diana pada Rhea. "Aku harus berangkat pagi karena naik angkutan umum. Tidak bisa dipastikan kapan datang kalau tidak pagi," jawab Rhea. "Oh ...." Diana mengkerucutkan bibirnya sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Kamu sendiri, sepertinya datang lebih pagi lagi. Padahal kamu berangkat dengan mobil sendiri?" Rhea ganti bertanya "Aku harus segera menyelesaikan laporan dari hasil dokumentasi kemarin," jawab Diana. Rhea menautkan kedua alisnya mendengar ungkapan Diana itu. "Jadi, kemarin proyeknya berjalan lancar?" tanya Rhea dengan ragu-ragu. "Ada sedikit kendala di beberapa interior. Tapi, pak Nicko sudah mengatasinya dengan baik," jelas Diana lagi. Mendengarnya, Rhea menjadi segera ingin melakukan tugas lapang. Itu adalah salah satu keinginannya bisa bekerja di sini, bukan? Rhea hanya menghela nafas dan berharap, kesempatan ini bisa datang padanya. Tidak lama setelah itu, Nicko datang. Ia memasuki kantor dan melihat Rhea dan Diana sudah di meja kerjanya masing-masing. Membuat Rhea dan Diana juga menoleh ke arah Nicko. "Kalian pekerja baru, datang pagi-pagi sekali?" sapa Nicko pada keduanya, sembari terus berjalan ke arah meja kerjanya. "Pak Nicko, dokumen yang saya kirim apa sudah benar semua?" tanya Diana segera membicarakan soal pekerjaan. Membuat Rhea juga melebarkan telinga untuk mendengarkan. "Ada beberapa yang kurang. Nanti kamu bisa mengecek ulang," kata Nicko. "Baik, Pak." "Oh iya, Di? Apa laporan untuk interior utama sudah dikerjakan?" tanya Nicko lagi. "Tinggal saya cetak, Pak," jawab Diana lagi. "Bagus. Segera cetak dan nanti aku akan memeriksanya," kata Nicko lagi. "Sekarang akan saya cetak di ruang sebelah, Pak. Karena mesin cetak di sini masih rusak," kata Diana seraya berdiri dengan semangat. Rhea yang melihatnya, menjadi semakin ingin melakukan tugas seperti Diana. Nicko juga sepertinya sangat sibuk dengan proyek yang berjalan. Membuat Rhea menjadi terkucilkan. "Rhea?" panggil Nicko tiba-tiba. Membuat Rhea segera beranjak dengan antusias. "Iya, Pak?" jawab Rhea dengan melebarkan kedua mata, penuh harap. "Bisakah kamu ke sini sebentar?" panggil Nicko yang fokus melihat layar komputernya. "Baik, Pak." Rhea segera berdiri dan berjalan cepat, menunggu perintah apa yang akan diberikan padanya. "Ada apa, Pak?" tanya Rhea dengan semangat setelah sudah di samping meja Nicko. Nicko masih kelihatan konsentrasi di depan layar komputer. Ia kemudian mengambil cangkir yang ada di mejanya. Kemudian, memberikannya pada Rhea. "Tolong ambilkan air untukku," pinta Nicko dengan masih menatap penuh komputernya. Rhea tercekat akan perintah Nicko tersebut. Ia mengerjapkan kedua matanya tidak habis pikir. Rhea menatap Nicko berusaha memberi kode jika ia sedang membantah dan kesal. Namun, Nicko sama sekali tidak menoleh ke arahnya. Ia masih menyodorkan gelas pada Rhea yang berdiri di sana. Rhea akhirnya mengambil gelas dari Nicko dengan kasar, dan menuruti perintah Nicko tidak ikhlas. Rhea berjalan ke arah galon air minum dengan kesal. Ia menuangkan Nicko air galon untuk Nicko. Lalu, ia kembali lagi ke meja Nicko dan memberikan gelas yang sudah terisi air pada Nicko. "Ini, Pak," kata Rhea menyodorkan gelasnya kembali. Nicko yang masih konsentrasi, menerima gelasnya kembali. "Terima kasih," jawab Nicko, kemudian ia langsung meminumnya. Setelah Nicko meminum air dari Rhea, ia terkejut bukan main. Air yang diambilkan Rhea untuknya adalah air panas. Membuat lidah Nicko kesakitan dan setengah melepuh. Rhea masih berdiri di samping meja Nicko memperhatikan Nicko. "Rhe! Kamu mau membuat lidahku terbakar, ya?!" seru Nicko masih kepanasan. "Maaf. Sepertinya, saya salah mengambilkan pak Nicko air," jawab Rhea dengan santai. Nicko lalu meletakkan gelas air di mejanya kembali. Ia menghela nafas dan menahan sesuatu dari dalam dirinya. "Rhe, bisakah kamu tidak mencampurkan masalah pribadi dengan masalah pekerjaan?" ujar Nicko pada Rhea. Membuat Rhea terhenyak akan kalimat Nicko. Ia melebarkan kedua matanya dan menatap ke arah Nicko heran. Tidak terima dengan ungkapannya. "Pak. Kenapa pak Nicko berbicara sembarangan seperti itu?! Saya tidak pernah mencampurkan masalah pribadi ke dalam pekerjaan!" sanggah Rhea. "Benarkah? Kenapa kamu sangat membenciku?" tanya Nicko yang menyedekapkan kedua tangannya. "Kenapa pak Nicko bisa berpikir begitu?!" "Lihat! Kamu selalu meninggikan suara saat berbicara denganku. Tadi malam juga, kamu seperti itu. Apa kamu lupa, kalau aku adalah atasanmu di sini?" "Nada bicara saya memang seperti ini. Pak Nicko hanya berasumsi sendiri." "Juga terlihat jelas dari pandangan matamu saat menatapku. Kamu tidak bisa mengelak kalau kamu sedang membenciku," kata Nicko lagi. "Sekarang, kenapa itu menjadi hal yang penting? Kalau memang benar saya membenci pak Nicko, apa salahnya?" "Apa katamu?" "Banyak bawahan yang membenci atasannya. Dan itu adalah hal yang wajar." Rhea menaikkan kedua tangannya, dengan bahunya secara bersamaan. "Bawahan yang membenci atasannya itu, urusan pekerjaan. Bukan urusan pribadi," balas Nicko. "Pak. Apa pak Nicko tidak bercermin mengatakan begitu? Pak Nicko sendiri juga membenci saya karena urusan pribadi kan?" "Apa maksudmu kali ini?" "Dari awal, pak Nicko memang sengaja tidak memberi kesempatan saya untuk belajar dengan baik di sini kan? Pak Nicko hanya sedang mengerjai saya saja." "Aku tidak mengerti kenapa kamu berbicara seperti itu?" "Pak. Saya di sini untuk belajar tentang arsitektur. Membuat rancangan, mengawasi jalannya proyek, dan membuat laporan," kata Rhea. "Memang benar. Lalu, apa masalahnya?" Nicko balik bertanya. Tepat pada waktu itu, Diana yang baru mencetak laporannya, masuk kembali ke kantor. Dari arah pintu masuk, Diana sudah bisa mendengar perseteruan antara Rhea dan Nicko. Diana hanya diam dan berjalan mendekat ke tempat duduknya. "Selama saya menginjakkan kaki di sini, saya merasa tidak mengerjakan hal yang penting," kata Rhea pada Nicko. Membuat Diana melirik ke arah Rhea dan penasaran akan perbincangan mereka berdua. "Saya hanya belajar materi tata letak, yang terkadang sangat jauh dari tugas lapang. Dan juga, banyak sekali buku arsitek yang pak Nicko berikan pada saya itu, adalah materi kuliah dulu," lanjut Rhea lagi. Diana yang jelas-jelas mendengar Rhea mengatakan itu pada Nicko, tentu merasa senang. Ia merapatkan bibirnya dan menyunggingkan satu senyum kecilnya. Dalam hatinya, ia juga merasa puas. "Memangnya kamu di sini sudah berapa lama?" tanya Nicko lagi. "Pak Nicko tidak perlu saya menjawabnya. Pak Nicko tahu sendiri kalau saya baru tiga hari di sini," kata Rhea. "Rhe! Percayalah padaku. Semua yang kamu lakukan itu pasti ada gunanya. Untuk bisa menjadi arsitek yang baik, tidak harus selalu buru-buru terjun ke lapang," kata Nicko dengan menautkan kedua alisnya. "Teori juga sangat penting. Banyak arsitek yang gagal karena mereka tidak mengerti teori yang benar!" Nicko menggunakan nada tegas kali ini. Membuat Rhea diam mendengarnya. "Semua yang kamu kerjakan, tidak akan menjadi sia-sia. Sekecil apapun bangunan yang retak, akan menjadi masalah pada penghuninya. Dan di sanalah tanggung jawab besar dari seorang arsitek. Jangan menganggap remeh setiap detail hal kecil pada arsitek. Kamu mengerti?!" kata Nicko masih menggunakan nada yang sama. Butuh waktu beberapa lama bagi Rhea untuk bisa menjawabnya. "Ya. Saya mengerti," jawab Rhea yang terdengar tidak ikhlas. Ia bahkan menjawab sambil memalingkan wajah dari Nicko. Diana, masih melihat ke arah mereka dengan menaikkan kedua alisnya. Ia melihat hubungan yang tidak baik antara Nicko dan Rhea, membuatnya merasa semakin senang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD