Nicko menekan enter untuk menyimpan file kerjaannya di dalam komputer. Setelah itu, ia mengambil gelas yang ada di mejanya. Saat ia akan minum, gelasnya kosong.
Nicko lalu melihat ke arah meja Rhea. Kosong juga. Sudah sejak sepuluh menit yang lalu, Rhea keluar dan tidak kembali ke kantor. Nicko menghela nafas pelan.
"Ke mana dia?" gumam Nicko pelan berbicara sendiri.
Hari ini, di kantor hanya ada Nicko dan Rhea, karena Diana sedang di luar. Nicko lalu berdiri dari tempat duduknya. Ia akan mengambil air di galon. Tapi, saat akan mengambilnya, airnya habis. Nicko akhirnya berjalan keluar kantor mencari galon yang masih ada airnya.
Ia berjalan ke arah ruang tengah di lantai tiga. Ada galon yang masih banyak air. Nicko mengambilnya, dan meminumnya sebentar. Kemudian, ia akan kembali lagi ke kantornya.
Saat berjalan ke arah kantor, Nicko terhenti. Dari koridor yang tidak jauh darinya, ia melihat Rhea nampak berdiri dengan membaca selembar kertas yang dipegangnya. Membuat Nicko penasaran, apa kertas yang dibacanya? Nicko pun berniat berjalan mendekat ke arah Rhea.
Namun, satu langkah Nicko berjalan, ia lagi-lagi terhenti. Nicko melihat dua laki-laki pegawai PT. Baeda sudah mendekat ke arah Rhea lebih dulu. Membuat Nicko memperhatikannya dari jauh.
"Permisi?" sapa salah seorang, dari dua laki-laki yang sudah di samping Rhea. Membuat Rhea yang tadinya fokus, menjadi menoleh ke arah suara yang menyapanya.
"Iya?" jawab Rhea.
"Maaf, apa kamu baru di sini? Aku baru melihatmu," kata laki-laki tadi.
"Oh, iya. Aku dari PT. Xena Abadi. Untuk sementara, diperkerjakan membantu beberapa proyek PT. Baeda," jelas Rhea.
"Oh ... jadi kamu hanya sementara di sini?" ujar laki-laki satunya lagi.
"Betul," ucap Rhea menganggukkan kepala. Nicko perlahan mendekat untuk mendengarkan percakapan mereka, tanpa mereka tahu.
"Kenalkan, aku Anton," ujar laki-laki yang pertama tadi. "Masih single," tambahnya dengan nada menggoda dan menyodorkan salah satu tangannya ke arah Rhea.
Rhea tidak segera merespon. Ia hanya melihat ke arah uluran tangan Anton dengan sedikit bingung. Laki-laki yang satunya lagi, segera menepuk tangan Anton dengan sedikit keras. Membuat Anton mengaduh kesakitan.
"Maaf, ya. Jangan dengarkan dia. Dia memang begitu," kata laki-laki yang menepuk tangan Anton. "Kenalkan, aku Wisnu. Aku juga arsitek di PT. Baeda ini," lanjutnya yang gantian mengulurkan tangan pada Rhea.
"Oh, iya. Aku Rhea," jawab Rhea dengan membalas jabat tangan Wisnu dengan tersenyum manis.
"Dia memang sembarangan bicara," kata Wisnu lagi menunjuk Anton.
"Kenapa kau? Aku juga ingin berkenalan!" tukas Anton pada Wisnu. Kemudian, ia menoleh ke arah Rhea. "Maaf ya. Aku hanya bercanda. Apa, aku membuatmu tidak nyaman?" tanya Anton lagi.
"Ah, tidak kok," jawab Rhea lagi dengan tersenyum manis.
"Akhirnya, ada juga arsitek perempuan di proyek ini," ujar Anton lagi. "Apa, kamu betah bekerja di sini?" tanyanya lagi. Rhea tersenyum menanggapi kalimat Anton.
"Sebenarnya, bukan hanya aku arsitek perempuan yang diperbantukan di PT. Baeda. Ada satu lagi. Namanya Diana dari PT. Megan," jelas Rhea.
"Benarkah? Sepertinya, proyek kali ini sangat menguntungkan, ya?" ujar Anton lagi.
Semuanya kemudian tertawa. Rhea juga sangat mengerti jika itu hanya sekedar candaan agar lebih akrab. Mereka lalu melanjutkan ke dalam obrolan yang lebih dekat, disertai canda.
Namun, berbeda dengan Nicko yang melihat mereka. Nicko menautkan kedua alisnya dan merapatkan gigi gerahamnya. Ia kemudian menghela nafas beratnya dengan penuh penekanan. Lalu, ia berbalik dan kembali ke kantornya.
Nicko yang sudah ada di kantor, segera berjalan ke arah mejanya. Ia meletakkan gelasnya dengan sedikit menghentak dengan keras. Untung saja, gelasnya tebal dan tidak pecah.
Nicko lalu berjalan ke arah lemari. Ia membuka laci lemari itu, dan mencari buku arsitek yang jauh lebih tebal. Kemudian, ia mengambilnya dan membawanya ke mejanya.
Tidak lama setelah itu, Rhea nampak memasuki kantor. Nicko yang baru saja duduk, memperhatikannya. Rhea berjalan ke arah meja kerjanya kembali.
"Rhe? Apa kamu bisa ke sini sebentar?" panggil Nicko, setengah detik setelah Rhea duduk.
"Iya, Pak," jawab Rhea yang berdiri kembali. Ia berjalan ke arah meja Nicko.
"Apa kamu sudah mempelajari semua tata letak yang aku berikan padamu?" tanya Nicko dengan nada dingin.
"Sudah, Pak," jawab Rhea.
"Apa kamu sudah meringkas buku yang aku berikan padamu?"
"Saya sudah mengirimkan ke email Pak Nicko," jawab Rhea lagi.
"Kamu belum selesai mengirim semua ringkasan dalam buku itu. Apa saja yang kamu lakukan sampai hari ini juga tidak selesai-selesai?"
"Pak. Buku itu tebal sekali. Saya butuh waktu untuk mengerti dan mencerna setiap kalimatnya. Belum lagi kalau ada hitungan yang lebih sulit untuk dipahami."
"Sulit? Kenapa tidak tanya padaku?"
"Pak Nicko tidak selalu ada di kantor kan? Tadi pagi saja, Pak Nicko baru kembali dari mengawasi proyek. Mana mungkin saya mengganggu? Saya akan berusaha sendiri," kata Rhea.
"Kalau begitu, kamu bisa meringkas buku ini sekalian," pinta Nicko sambil memberikan buku tebal yang baru ia ambil dari lemari laci tadi. Rhea tentu saja terhenyak melihatnya.
"Pak. Buku yang sebelumnya saja belum selesai. Saya mana ada waktu untuk mengerjakan ini juga?!"
"Tapi sepertinya kamu banyak sekali waktu luang?"
"Apa maksud Pak Nicko?"
"Aku lihat kamu senang sekali keluyuran di luar, dan tidak mengerjakan pekerjaanmu?"
"Pak. Saya keluar tadi karena mencetak hasil dokumen dari beberapa ringkasan yang perlu saya kerjakan," jelas Rhea.
"Benarkah? Tapi, aku hanya melihatmu bercanda dan mengobrol hal yang tidak jelas dengan pegawai di sini," kata Nicko dengan menyandarkan badan pada kursinya.
"Bercanda?" ulang Rhea. "Pak. Delapan jam lebih saya hanya duduk di sini. Pak Nicko pikir, saya tidak butuh ke kamar mandi atau yang lain? Lagi pula, apa salahnya kalau saya bercanda sebentar dengan pegawai di sini. Saya juga ingin menjalin hubungan yang baik dengan teman arsitek yang akan menjalankan proyek bersama nanti," tambahnya.
"Rhe. Setiap tugas yang aku beri adalah tanggung jawab untukmu. Kamu butuh konsentrasi penuh agar bisa memperoleh hasil maksimal. Jauhkan distraksi-distraksi yang mengganggu jalannya pekerjaanmu menjadi tertunda dan tidak tepat waktu. Kamu tidak ingin semua menjadi berantakan, bukan?!"
Rhea hanya diam mendengarkan. Nicko mengatakannya dengan nada tegas. Bahkan penuh dengan penekanan.
"Dulu, aku bisa meringkas buku tebal itu dalam waktu kurang dari tiga hari. Kamu selalu bilang baik pak, baik pak, tapi tidak pernah selesai. Apa mungkin, kamu memang sengaja tidak mau mendengarkanku dari kemarin?" tanya Nicko masih dengan nada yang sama.
"Tidak, Pak," jawab Rhea dengan pelan.
"Kalau begitu, buktikan padaku kalau kamu memang serius di sini. Sudah aku bilang, semua pekerjaan kecil yang aku berikan padamu adalah hal penting. Apa kamu mengerti?!"
"Iya, Pak," jawab Rhea masih dengan menundukkan setengah kepalanya dan dengan wajah datar.
"Sekarang berhentilah main-main dan tunjukkan padaku hasil yang memuaskan dari tugas pertamamu!" pinta Nicko yang mulai merendahkan nada bicaranya.
"Baik, Pak," jawab Rhea lagi.
Rhea kemudian membawa buku tebal yang Nicko berikan padanya. Ia berbalik dan melangkah menjauhi meja Nicko. Nicko memperhatikan Rhea yang sudah berjalan ke arah mejanya.
"Rhe!" panggil Nicko lagi. Membuat Rhea terhenti dan berbalik ke arah Nicko kembali.
"Satu hal lagi," ujar Nicko sembari berdiri.
Nicko kemudian berjalan mendekat ke arah Rhea yang menatapnya. Rhea masih diam sampai Nicko ada di dekatnya. Nicko lebih mendekatkan dirinya pada Rhea.
"Mulai besok, tidak perlu berdandan terlalu cantik saat di kantor. Dan jangan memakai lipstik berwarna merah terlalu tebal seperti itu!" ujar Nicko setengah berbisik pada Rhea.
Setelah mengatakan itu, Nicko kemudian berjalan menjauhi Rhea. Ia keluar kantor kembali. Membuat Rhea mengerjap bingung dan merasa aneh.
Rhea menautkan kedua alisnya. Kemudian, ia mengoles bibirnya dengan satu jari telunjuk, untuk meraba lipstiknya. Apa benar ia memakai lipstik terlalu tebal seperti kata Nicko tadi?