10. Berpisah Denganku Adalah Mimpimu Setiap Hari

1600 Words
Zaka's PoV DI tempat terakhir kali aku berpisah dengan adikku, aku ditinggalkan istriku begitu saja. Zara langsung menghampiri ibunya dengan langkah tergesa-gesa, hingga seperti melupakan dunia. Waktu pertikaian sudah dimulai, aku baru melajukan kursi rodaku ke sumber perkara. "Dia siapa, Ma?" tanya Zara dengan suara bernada tinggi. Yang mungkin akan menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian dari khalayak umum. "Za- Zara?" Nyonya Maya terlihat tertegun, cepat-cepat melepaskan salah satu lengan dari laki-laki berjamban tipis di sampingnya. Wanita itu terlalu lambat untuk meluruskan. "Di-" "Dia adalah teman mama," katanya terbata-bata, sementara aku sedang menghentikan kursi rodaku setelah menyisakan jarak sejauh tiga meter. Yang lensa mataku tangkap, Zara mendadak hanya menatap laki-laki di samping ibunya sepintas sebelum fokus ke ibunya lagi. Dia tahu-tahu sudah membuka mulutnya, seolah-olah hendak tertawa. "Lucu, teman dari mana hingga Mama bisa sampai bermesraan dengannya?" Dibakar kepanikan, ibu mertua terlihat kelabakan. Wanita itu benar-benar kacau selama mencari alasan untuk membela dirinya. "Zara, tenanglah dulu," ucapnya dengan tangan kanan diangkat untuk dihinggapkan di bahu kiri istriku, tetapi ditepis hanya dalam dalam waktu sekejap, "mama bisa menjelaskan." Mata Zara memerah sebelum cairan hangat mencuat keluar secara perlahan, terjun bebas mengikuti arah gravitasi bumi. "Tidak usah dijelaskan, Ma," ucap Zara dengan nada kasar, "segalanya sudah cukup nyata di depan mata kepalaku!" "Zara." "Tunggu, Nak!" Zara segera berbalik dan menghampiriku untuk membawaku meninggalkan bandara secepatnya, terkesan tidak dengan tetesan air matanya. Aku hanya dapat menduga-duga. Mungkin, istriku sedang tidak sanggup untuk melihat wajah ibunya. Masih dalam perjalanan ke rumah, Zara tidak kunjung menunjukkan tanda-tanda kalau akan membaik, bahkan tangisnya masih belum mereda, tetapi malah bertambah parah hingga melahirkan suara terisak-isak. "Hiks ... mama sama seperti papa, Kak," ujarnya dengan tubuhku terus dipeluknya dengan erat. "Dia memiliki laki-laki lain." "Hiks." "Aku hancur, Kak ... keluargaku sudah sangat bobrok." Pelan sekali, salah satu tanganku tergerakkan untuk mengelus-elus punggungnya. Aku berharap, tindakan kecilku barusan dapat membawa perubahan besar. Jujur, sejak mula-mula, aku memang sengaja membiarkan istriku untuk mengungkapkan segala keluh kesahnya agar diberikan kelegaan, sekalipun tidak akan bisa menukar keadaan. "Tidak ada harapan." "Tidak akan bisa terselamatkan." Aku menghela napas. Ikutan bersedih. "Zara, ingatlah selalu, kau masih memiliki aku," ujarku ketika puncak kepala istriku semakin terpelosok di ceruk leherku. "Hiks." Didorong dengan perasaan tidak tega, tanpa harus berpikir berkali-kali, bibirku langsung bergegas meloloskan satu kalimat perintah kepada Pak Seno selaku sopir pribadiku. "Percepat, Pak." "Baik, Tuan." Aku mengetatkan gigi atas dan bawahku. Maksudku sungguh-sungguh baik, tetapi malah berakhir memilukan. Hingga rasa-rasanya, aku mendambakan untuk dapat memutar ulang waktu dan membatalkan rencanaku sehingga istriku tidak perlu terluka seperti sekarang. Tiap detik, aku selalu terdoktrin bahwa dengan selalu berada di sisinya ketika dirinya sedang terpatahkan, maka secara berangsur-angsur emosi bernama cinta akan bersemi di hatinya, tetapi ... ternyata semuanya tidak semudah layaknya reka adegan di dalam bayanganku. *** Pukul tujuh malam sudah di depan mata, Zara tidak hanya melewatkan makan siang, barangkali akan terus mengabaikan cacing-cacing di dalam lambungnya hingga waktu tidak ditentukan. Lima belas menit lalu, aku sudah memesan satu porsi makanan untuk disantap istriku. Berhubung Zara masih belum berkenan untuk keluar dari kamar, aku harus mempersiapkan sendiri di atas piring sebelum kubawakan ke kamar. Usai melesatkan tubuhku hingga berada di dalam ruangan, kedua manik mataku menangkap bayangan tubuh istriku di atas kasur, terlihat sedang berbaring miring, berlawanan dengan arah kedatanganku dan dipeluk selimut cokelat sampai sebatas bawah ketiaknya. Aku menjalanlan kursi rodaku hingga berhenti di sebelah istriku, meletakkan nampan berisi piring dengan dilengkapi nasi beserta lauk-pauk dan sayuran di atas nakas. Dari pengamatanku, pandangan istriku bisa dikatakan sangat kosong, bahkan kemungkinan besar seperti tidak menyadari kehadiranku. Aku harus mengangkat sebelah tanganku untuk menyentuh wanita rapuh di hadapanku dan mengatakan, "Isilah perutmu. Aku sudah memesan makanan untukmu." Lembut suaraku, belum tentu sukses dalam menggugah selera istriku. Aku harus memaklumi. Istriku masih terpukul dengan kejadian beberapa waktu lalu, hingga untuk melupakan semuanya tidak semudah membalikkan telapak tangan. "Atau ... mau aku suapi?" tawarku kemudian. "Tidak perlu, Kak," sahut Zara dengan irama datar, "aku tidak lapar." Melihat istriku kehilangan semangat untuk hidup, kesedihan terus meledekku, seakan-akan sudah kecanduan dan kesusahan untuk terbebaskan. Akan tetapi, berputus asa tentu bukanlah piliahan bagus untukku. Aku tidak akan gentar, masih mengusahakan dengan membujuk istriku hingga berbuah manis. Yang mana, bibirku segera terbuka lagi untuk menuturkan, "Lapar atau tidak, tetap saja ... kau tidak boleh melewatkan makan siangmu. Jika kau sampai sakit, maka aku akan kerepotan." Zara belum berkenan untuk bersuara. Meski sudah lelah karena selalu diabaikan dan dianggap tidak pernah ada, upayaku hanya sebatas tidak memasukkan ke hati. Ada kepedihan di dalam sorot mataku ketika aku mengatakan, "Zara, kau tahu benar kalau aku masih membutuhkanmu." Aku membiarkan istriku menyaksikan betapa sakitnya diriku selama di dalam kalbuku tertanam racun mematikan, dimana penawar dari racun tersebut adalah bisa mengawasi istriku selama menikmati asupan bergizi. "Maksudku ... aku masih menginginkanmu," ucapku untuk mengoreksi pernyataanku sebelumnya. Zara mencoba untuk bangkit dengan selimut masih tersampirkan di sebagian tubuh kurusnya. Jika selalu menolak untuk makan, maka lama-lama badan istriku bisa bertambah tipis, hingga akan terbang kalau tertiup angin. Dia menatapku dengan sendu seraya menggenggam salah satu tanganku. "Maaf, lagi-lagi aku melalaikan tugasku," ujarnya dengan suara bervolume rendah. Aku tersenyum setelah menyadari sesuatu. Bekas cairan bening di kedua pipi istriku teramat kentara. Anehnya, tidak menumbuhkan kesan menggelikan. "Zara berkata benar. Dia masih terlihat cantik meskipun sedang beruraian air mata." Zara meraih piring di atas nakas, mulai memasukkan zat energi ke mulutnya, satu suap demi satu suap. Dari ekspresi wajahnya, cukup menggambarkan betapa puas dirinya dengan cita rasa dari hidangan malamnya. "Eh, di mana milikmu?" tanyanya kepadaku tidak lama setelah memerhatikanku selama beberapa detik. Dia mana mungkin berpura-pura tidak tahu atas kekosongan aktivitasku. "Karena terburu-buru ... aku malah hanya memesan satu," sahutku dengan tangan kiri terangkat untuj sedikit menggaruk sebagian rambut hitam lurus pendekku. Alhasil, mula-mula aku memutar otak. Aku tidak biasa kelupaan. Jadi, malah bingung sendiri. "Mm ... aku akan memesan lagi," ujarku kemudian. "Tidak usah, Kak. Ini sudah lebih dari cukup untuk kita berdua. Toh, lambungku tidak terbiasa dalam menampung makanan dengan porsi berlebih." Aku menang banyak karena bisa disuapi istriku untuk pertama kalinya. Ini benar-benar membuatku sedikit berbesar kepala hingga tidak dapat mencium akan adanya lubang hitam di depanku, sedang menanti kedatanganku dengan penuh suka cita. "Kak, aku sudah menemukan dokter saraf terbaik di sini," ucap Zara, "lebih cepat, lebih baik, bukan?" Dibelenggu rasa kecewa tiada tara, aku terdiam selama beberapa detik. Entah mengapa, bibirku terlalu kelu untuk mengutarakan sesuatu. Jelas, akan sangat masuk akal kalau aku sampai bertanya-tanya di dalam hati. "Apakah cepat-cepat berpisah denganku adalah mimpimu setiap hari?" Melihat suasa hati istriku, aku tidak bisa mendebat, tidak tega untuk memperparah luka istriku. Biarlah. Aku sudah cukup rela misalkan harus tersayat-sayat sendirian. "Iya, terima kasih," gumamku. *** Hari demi hari berlalu dengan cepat, hatiku teramat sedih karena istriku ingin sekali supaya aku bisa segera berjalan sehingga kami berdua dapat bercerai secepatnya. Di hadapan dokter ahli saraf berjenis kelamin laki-laki dengan kedua netra dibingkai kacamata berbingkai hitam, wajah kecewa istriku sungguh dominan selagi duduk di kursi setelah mendengarkan penjelasan mengenai keadaanku secara detail, tetapi dalam bahasa ringan sehingga mudah dimengerti oleh orang-orang awam. "Jadi, belum bisa menjalani terapi, Dok?" tanyanya. "Benar, Bu," sahut laki-laki berjas putih di hadapan kami, "karena kedua kaki kakak Anda masih dalam tahap pemulihan pasca mengalami cedera akibat benturan keras, tentunya memerlukan waktu hingga bisa digunakan untuk menopang beban tubuhnya dan masih belum siap untuk menciptakan banyak gerakan." Aku tidak tahu, antara harus bersedih atau bersyukur atas hasil bacaan CT-scan barusan. Di satu sisi, aku menginginkan untuk bisa berjalan seperti sediakala. Di sisi lain, aku tidak mengharapkan adanya perpisahan antara diriku dengan istriku, tidak pernah siap untuk kehilangan. "Bulan depan, kalian bisa datang ke sini lagi." "Baik, Dok," balas Zara, "terima kasih." Dia tiba-tiba menoleh ke samping kanan untuk menatapku dengan sorot mata bermakna iba, entah gara-gara harus menuai waktu lama untuk bisa bercerai denganku atau benar-benar prihatin atas nasibku. Pada intinya, aku tidak berniat bertanya. Lepas urusan dengan dokter selesai, kami tidak berencana ke mana-mana, melainkan langsung menuju parkiran. Saat akan masuk mobil dan menempati kursi penumpang, aku dibantu sopir baru kami, seorang laki-laki berumur di atas tiga puluhan, berwajah oriental dan berkulit sawo matang. Di dalam mobil, wajahku mendadak berubah murung. Meski Air Conditioner (AC) sudah dinyalakan, dadaku tetap kepanasan, seolah-olah sedang dijemur di bawah terik matahari. "Ayolah, Kak. Kak Zaka tidak boleh patah harapan," ucap Zara dengan kedua tangan diangkat untuk menyentuh salah satu lenganku, berusaha menyalurkan semangat kepadaku. Hingga akhirnya, aku memutar kepalaku hampir sebesar sembilan puluh derajat berlawanan arah jarum jam. "Kau tahu? Kenapa aku tiba-tiba bersedih?" tanyaku dengan nada tajam setelah pandangan kami bertemu di satu titik. Aku sudah cukup mempertimbangkan dalam memilih kalimat, tetapi istriku tidak terlihat tertusuk, malah tidak peka sama sekali. Dia tahu-tahu menatapku dengan tampang polos dan menanyakan, "Bukankah karena Kak Zaka harus menunggu lebih lama untuk bisa berjalan seperti semula?" "Sudahlah. Lupakan," jawabku dengan ekspresi cemberut dan membuang muka ke samping kanan, tiba-tiba malas untuk berinteraksi dengan istriku, termasuk sebatas mendengar suaranya. "Zara, suasana hatiku langsung memburuk hanya gara-gara dirimu enggan untuk mengakuiku sebagai suamimu." Iiih, memalukan sekali ... aku kenapa, sih? Pak Seno tentu diam-diam memperhatikanku melalui kaca spion, tetapi harus menahan untuk tidak tertawa supaya tidak berakhir dengan dipecat olehku. Benar begitu, bukan? Mobil mulai melaju dengan perlahan ketika mencoba keluar dari area rumah sakit, aku hanya menyandarkan punggungku dengan kedua mata terpejam rapat. Di dalam hati, lantunan doaku tercurahkan seketika. Moga aku tidak bertindak memalukan lagi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD